V. Agremeent

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tekan  🌟  di pojok kiri dulu, ya 💜
Happy reading...

_

______________________

Sebelumnya di Cwtch

“Kami hanya butuh bantuanmu agar Zico mau meminum esktrak dari darah binatang ini.” Robert mengangkat sebotol kristal berisi cairan merah gelap.

Aku mual!
_______________________

👑👑👑

Semilir angin memainkan kemeja hitam bermotif kotak yang terpasang kosong tanpa kancing yang mengaitkan diri. Lengan terbalut kemeja sampai siku terulur menyentuh ilalang yang sibuk mengikuti tiupan angin. Gulungan otaknya mereka ulang.

Caramel tidak ingat jelas saat jemarinya bergerak menyetujui kontrak konyol itu. Tentu saja konyol, siapa juga yang akan percaya jika mendengar cerita tentang vampir. Adanya orang-orang akan mencerca dirinya bermimpi di abad-20.

Sebenarnya di bawah pohon apel adalah tempat yang nyaman untuk mengistirahatkan penat, mungkin dirinya akan menjadikan tempat ini sebagai tujuan favoritnya. Tanpa sadar Caramel menggigit birai bawah, bahkan hati kecilnya mulai terbuai kenikmatan penuh fantasi. Bisa saja ia menolak, tetapi sebagian pribadinya yang lain menginginkan untuk tinggal lebih lama.

Caramel mendesah lirih sebelum menjadikan rumput yang dirawat dengan baik sebagai pengganti ranjang empuk. Bangir mungilnya menghirup oksigen sedalam mungkin, kalau bisa sampai seluruh ruang dalam paru-paru terisi agar tidak terbuang sia-sia usahanya dalam menenangkan diri. Lensa samudera itu menyipit menangkap bayangan lelaki yang memangku hewan berbulu putih di bingkai jendela. Sedikit banyak membuat sisi dalam dirinya kembali mereguk keingintahuan.

Sepasang kets putih bergerak mendekat pada sosok yang masih tenggelam dalam ketenangan, seraya tangan kekarnya mengelus permukaan berbulu yang menggeliat nyaman di atas pangkuan.

“Lucu sekali kucing itu,” ujar Caramel menyadarkan lelaki berlensa obsidian yang kini mempekerjakan ujung matanya.

“Aku tidak ingin diganggu, Shin.” Suara berat itu mengalun tepat menyentuh inti rungu Caramel. Mempermainkan degup organ vital saat nama belakangnya disebut begitu saja.

“Kau ... tahu namaku? Apa kau Zico Alxavander?” tanya gadis berlensa samudera yang membola.

Pasalnya baru kali ini ada seseorang memanggil namanya—walau hanya nama marga—sebelum ia mengenalkan diri. Caramel menyipitkan netra, tidak berniat terpaku sepenuhnya, hanya saja semua terjadi secepat angin menerbangkan helaian dandelion. Tiba-tiba, ia tertarik terlalu dalam pada pribadi yang memakai kemeja navy, sedang kaki jenjangnya dibalut celana pensil berwarna hitam.

Lelaki itu, Zico, begitulah keenam saudaranya memanggil lelaki bersurai hitam dengan rahang tegas yang indah. Tatapan tajamnya terarah pada hamparan taman di sayap kanan, mungkin pelangi yang terbentuk oleh jajaran tulip beragam warna yang diimpor dari negeri Kincir Angin itu nampak menarik. Namun, makhluk berbulu lembut yang kini bermanja di atas pangkuannya lebih dalam mengait atensi Caramel.

“Siapa namanya?” tanya Caramel setelah kucing berbulu putih itu membuka mata, menampilkan sepasang lensa merah muda yang dipenuhi binar.

“Moo.” Zico menjawab tanpa menoleh. Namun, lelaki yang setia menaikkan tungkai kanan dan menggantung tungkai kirinya di bingkai jendela sama sekali tidak protes saat hewan lucu itu beralih ke pelukan gadis berlensa samudera.

Dengan pandangan yang mengawang jauh, tangan mungil Caramel memeluk Moo yang kembali melelapkan diri. Dalam diam, gadis yang hanya sebatas pinggang Zico saat lelaki itu bertandang di bingkai jendela, menikmati hening yang terasa membunuh bagi penikmat keramaian. Lantas, rerlintas di memorinya untuk memastikan sesuatu.

“Aku tidak tahu kau mau mendengarku atau tidak,” jeda sejenak saat Caramel menilik Zico yang nampak tidak acuh dari ujung matanya, “tapi mungkin kau bisa memberi pandangan.”

Tidak ada respons berarti dari lelaki di hadapannya. Kedua lengan Caramel lantas bertumpu pada bingkai kosong di dekat tubuh Zico, lalu memantulkan tubuh. Seketika membuat sisi alfa lelaki itu berpendar saat tapaknya tergelincir di tembok. Namun, Caramel tidak ingin berhenti di sana. Maka, dalam percobaan ketiga, gadis bercepol itu berhasil memetik buah kegigihannya. Jangan kira Zico mengulurkan tangan, nyatanya manik sekelam langit malam itu hanya menatap awas sedari tadi. Mungkin jika Caramel menggelinding keluar dari bingkai barulah ia akan bergerak.

“Aku ingin kau jujur. Acara apa yang sebenarnya sedang aku ikuti sekarang?”

Zico mendadak memutar leher ke sisi kiri dengan kedua alis yang terangkat satu. “Apa manusia selalu menganggap dirinya yang paling superior? Hingga tidak mempercayai kehadiran makhluk selain mereka.”

Dari sini saja Caramel paham bahwa paras tampan itu bukan hanya cangkang kosong. Ada otak brilian yang bersarang di balik kerangka tengkoraknya. “Sulit sekali mempercayai tokoh-tokoh yang biasanya hanya ada dalam fiksi.”

“Apa yang kau dengar itu nyata. Jika tidak, kasus di Seoul tidak mungkin terjadi dan kau tidak akan berakhir di sini.” Ucapan logis Zico menenggelamkan pemilik surai cokelat dalam kebungkaman. “Kau menandatangani perjanjian konyol itu?”

Sejenak, Caramel tidak mengerti bagian mana yang konyol di saat perjanjian itu menguntungkan pribadi bertubuh jangkung nan atletis ini. “Aku setuju, perjanjian itu konyol bagiku yang tidak percaya keberadaan vampir. Kenapa kau juga berpikir perjanjian itu konyol?”

Zico kembali mengalihkan atensi, melekatkan atensinya pada Caramel hingga gadis itu menyapu pandang untuk mengurangi kegugupan. “Kau pikir aku senang menjadi vampir terkutuk itu?”

“Vampir terkutuk bagaimana?” Suara lembut itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Bukan isi kalimat Zico yang membuat Caramel membeku sepersekian detik. Namun, tatapan nyalang dan intonasi yang sedikit naik alasannya.

Zico menarik sudut bibir samar sebelum menghela napas berat. “Lupakan.”

Birai merah muda alami Caramel mengulas senyum kecil. “Tentu. Aku tidak ingin memaksakan orang lain.”

Bagai angin lalu, tubuh jangkung itu melompat turun setelah merebut hewan mungil kesayangannya secepat kilat. Belum sempat Caramel menyebar protes, samuderanya membola ketika punggung tegap Zico menghilang begitu saja.

Apakah itu teleportasi? batin gadis itu linglung.

●○●

Caramel menggenggam erat sebotol kristal berwarna merah gelap seraya membawa langkah menuju balkon yang menghubungkan kamarnya dengan kamar Zico. Kepalanya terasa berat, seolah memuat perkakas besi yang membuat ia ingin berbaring saja. Namun, malam ini Zico harus meminum vitamin.

Jemarinya mengetuk pelan pintu balkon yang didesain dari kaca. Organ vital yang bersarang di balik dada seakan melepaskan diri saat paras rupawan itu muncul begitu saja di balik pintu, bahkan belum ganjil ia mengetuk hingga hitungan ketiga.

“Alxa, waktunya minum vitamin,” ujar Caramel seraya mengangkat botol di tangannya tinggi-tinggi.

Sang empunya lantas menggeser pintu hingga terbuka. Senyum Caramel mengembang saat Zico mengambil dan membuka tutup vitaminnya tanpa protes. Ia kira butuh banyak tenaga untuk menghadapi lelaki dingin ini, ternyata lelaki ini tidak seperti yang benak Caramel pikirkan.

“Wah!” Gadis berbalut piama rilakuma refleks meletakkan tangan di bibir. Bunga mirip mawar berkelopak biru yang tertanam indah di dalam pot mendadak menerbitkan bibit baru dan melebarkan kelopaknya dalam sekejap. Sepasang kaki telanjang Caramel berjengit, tidak menyangka akan menyaksikan pertumbuhan bunga secepat kereta bawah tanah Seoul.

Teringat sesuatu, sebuah perempatan mengukir keningnya yang terekspos. Tubuh mungil itu bahkan berjongkok meneliti perkembangan bunga biru yang mengalami musim semi lebih awal. Saat ia menegakkan punggung, satu sudut birai Zico tertarik. Obsidiannya tak berkedip membalas ketegangan penuh horor milik samudera yang membola.

“Jangan memaksaku untuk meminumnya lagi.”

Demi apa pun, Caramel ingin meremat botol kristal kosong yang kembali mendarat di tangannya. Menatap punggung tegap Zico yang menghilang diikuti suara khas kunci yang diputar membuat rahangnya menganga.



~To Be Continued~

👑👑👑

Terserah Zico, deh. Orang ganteng, kan, bebas 🌜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro