VII. Until Morning Comes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tekan 🌟 di pojok kiri dulu, ya 💜
Happy reading...



👑👑👑


Bulan telah menggantikan posisi matahari saat keduanya berhenti di depan komidi putar, wahana terakhir yang ingin Caramel nikmati sebelum mereka bertolak menuju mansion. Zico menolak mentah-mentah ajakan untuk mengelilingi kuda-kuda yang menggantung bersama. Tidak mungkin tubuh jangkungnya menaiki kuda kecil itu dan berputar bersama seorang gadis di sampingnya. Membayangkan saja sudah membuat romanya berbaris.

“Kau ingin ke mana lagi?”

Suara berat itu sukses menjadikan mereka pusat perhatian di depan wahana karena decakan gemas pengunjung lain. Zico merotasikan netra sebelum menggamit lengan gadis yang mengulum bibir, menahan tawa sekuat mungkin saat dipuji ‘Pasangan suami istri muda yang manis sekali’. Langkah sepatu berbeda ukuran itu terparkir di depan mesin berisi banyak boneka.

“Kau mau mencobanya, Alxa?” Caramel melirik Zico yang menatap puluhan benda feminin dengan tatapan datarnya. Penasaran dengan lilitan otak di kepala bersuriai hitam yang ia kira tidak mungkin pernah memainkan permainan paling menggaruk jiwa di hadapan mereka.

“Aku bisa mendapatkan boneka itu tanpa bersusah payah.” Begitu yang terucap dari sepasang bibir tipis Zico sebelum mendapat interupsi di lengan. Alis tebal nan hitam yang terukir indah terangkat satu.

“Kau tidak ingin menguji seberapa hebatnya dirimu sebagai lelaki biasa?”

Tepat dugaan. Pertanyaan yang mengandung tantangan benar berhasil membawa pribadi jangkung itu menggerakkan capit mesin boneka.

“Coba ambil yang di tengah." Caramel menunjuk boneka hiu berukuran sedang berwarna biru.

Zico melakukan semuanya dalam diam. Bahkan, saat boneka itu terangkat dan kembali jatuh saat nyaris dimiliki, lelaki yang mengerutkan kening itu hanya berdesis. Caramel tidak menggerutu, apalagi mengkritik saat boneka itu kembali jatuh. Tawanya justru berderai hingga menarik satu sudut bibir Zico. Lanjut suara pekikan lirih terdengar saat sebuah boneka berhasil keluar dari kotak kaca setelah dua kali percobaan gagal.

Caramel tidak menampik fakta bahwa Zico terlalu tenang untuk ukuran lelaki yang gagal mengeluarkan boneka di percobaan pertama dan kedua. Bahkan, wajah sedingin es itu tidak banyak menabur protes saat mereka berkeliling taman bermain berulang kali. Tidak pernah sekali pun terbayang, jika Zico yang tadi meminta tubuhnya terpaku di kursi panjang wahana bianglala, kini datang dengan gumpalan gulali awan.

“Sebagai bentuk terima kasih, kau berhak mendapatkan suapan pertama.” Caramel penuh antusias saat mengulurkan secubit gulali. Lengannya bergerak-gerak menarik atensi Zico yang memandang lurus. Tingkah pribadi jangkung ini seolah Caramel yang memaksanya membeli gulali.

Pada hitungan ketiga dalam hati, suapan pertama itu telah masuk ke rongga mulut sang empunya. Sekilas Caramel terkejut kala birai dingin Zico sedikit menyapu jarinya. Seraya memangkas jarak menuju mobil, gadis itu memeluk boneka di lengan kiri dan memegang tungkai gulali dengan tangan yang sama. Jemari tangan kanannya mencubit ringan awan buatan itu, lantas memejamkan mata tiap kali rasa manisnya menjejak lidah.

Zico menekan remot kontrol hingga lampu mobil berkedip dan bersuara singkat, lanjut mendarat nyaman di balik kemudi diikuti Caramel. Deru halus mobil terdengar bersamaan atap metalik yang terbuka. Keduanya sepakat dalam keheningan untuk membiarkan angin malam membuai di sepanjang gilisan aspal menuju mansion.

“Gulalimu tidak akan terbang,” gumam Zico tanpa menyembunyikan kegelian dalam bariton saat Caramel menghalau terpaan angin dengan tangan mungil. Tawa feminin nan lembut sontak kembali berderai, tak terhitung sudah berapa kali intonasi cerahnya menyapa ketajaman rungu Zico.

Saat besi beroda empat mulai memasuki kawasan hutan, atapnya kembali tertutup. Perjalanan kali ini tidak sepanjang saat pertama kali Caramel dibawa oleh Axel. Padahal, kedua putra Alxavander sama-sama memacu pedal gas di atas rata-rata, penyebab Caramel takut kehilangan gulali awannya karena terbawa angin. Tiba-tiba saja deru halus mobil terhenti, menandakan bahwa kendaraan hitam mengkilat ini telah sampai di pelataran garasi. Momen menyenangkan memang begitu mudah terbawa ke penghujung oleh guliran waktu.

Suara gema musik di aula mansion mengiringi langkah pendek Caramel yang berdampingan dengan tungkai panjang Zico. Di ujung lorong di mana ruangan mereka bersisian, lelaki berbalut suit hitam menyandarkan postur tegap di dekat pintu toska. Birai kecilnya melepas senyum pada kedua penghuni mansion yang berjalan mendekat.

Zico berjalan cepat guna melingkarkan lengan kekar di belakang pundak kokoh sang adik. Tepukan maskulinnya menarik senyum di wajah pualam Caramel yang memilih kembali ke ruangan diam-diam, tidak ingin mengganggu keharmonisan kedua saudara sedarah itu.

“Caramel,” panggil Thunder menghentikan gerakan tangan mungil yang berniat memutar kenop.

“Ya?”

“Pantas saja aku tidak melihatmu di pestaku.” Pernyataan itu sontak membuat Caramel menggaruk pipi yang tidak gatal. Samuderanya terangkat lurus, mendapati pribadi dingin yang ia kira sudah pergi, ternyata masih betah menancapkan alas kaki di lantai.

Atensi Caramel kini ditarik oleh si bungsu yang membentangkan kedua lengan, membuat tubuh mungil sebatas dagu itu berjalan ragu. Zico melabuhkan obsidiannya lurus pada sepasang samudera yang mengintip dari balik bahu tegap sang adik.

“Selamat ulang tahun, Thunder. Maaf, aku belum sempat menyiapkan hadiah untukmu.” Suara lembut yang sejak tadi menyentuh gendang telinga Zico teredam oleh dada bidang Thunder. Tiga detik setelahnya, ujung sepatu kets itu berbalik arah sebelum menghilang di balik pintu hitam.

“Terima kasih. Jangan pikirkan tentang kado, Cara. Sekarang, ikut aku ke taman.”

Semilir angin malam menerbangkan helaian surai cokelat sepunggung yang mulai terlepas dari ikatan, sementara punggung tegap di hadapan Caramel masih terus menapak pasti. Keadaan mansion kembali tenang, pun keberadaan Thunder menjadi rambu berakhirnya pesta. Lelaki itu mendaratkan tubuh pada kursi panjang taman, menarik lembut pergelangan tangan Caramel agar duduk di sisinya.

Bentangan gigi putih nan rapi dengan sepasang gigi kelinci, serta kerutan di mata ketika sang empunya tersenyum adalah salah satu hal yang disukai Caramel. Pribadi jangkung dengan pribadi antonim Zico mengeluarkan sebuah rangkaian berlian kecil dari balik kantong jas. Tanpa banyak bertanya, ia melingkarkan benda itu di pergelangan kanan Caramel.

“Thunder?” Benak Caramel dibuat banting tulang dengan perbuatan Thunder. Padahal, lelaki itu yang berulang tahun. Mengapa justru dirinya yang diberi hadiah?

“Aku senang karena di ulang tahunku yang sekarang tidak membosankkan. Setidaknya kehadiranmu di mansion ini membuat hari-hari kami jadi lebih berwarna,” tutur pemilik lengkung senyum bunny.

Kalimat sederhana yang ternyata bereaksi berlebihan di dalam diri Caramel. Sedikit banyak membuat hatinya lebih lapang walau tidak seluas langit dan menjalarkan kehangatan sampai ke relung hati. Apakah ini yang dinamakan dari lisan jatuh ke hati?

“Kau tidak suka?” Suara bariton yang lebih ringan dari milik Zico membawa Caramel kembali menatap realita. Menatap dengan sorot lugu yang sedikit terkena bumbu kecemasan.


“Aku suka. Ini cantik sekali, sungguh,” jawabnya seraya memindai kilauan berlian putih dengan model daun lengkap dengan sulur, “tapi tidakkah ini berlebihan untukku yang baru kau kenal, Thunder?” lanjutnya.

Sepersekian detik memabukkan saat Thunder hanyut dalam tatapan lembut gadis yang kini duduk menyerong. “Tidak, Caramel. Aku bahkan lupa kalau kau belum seminggu di mansion. Sepertinya itu salah satu bakatmu.”

“Justru suatu kekurangan jika membuat orang lupa.” Kening yang terhias poni menyamping berkerut bingung.

Thunder menelan saliva berat. Dalam satu jam, pribadi lembut itu mencetak rekor mendekap Caramel lebih dari satu kali. Tidak memikirkan bagaimana sang empunya kelimpungan terkepung denyut jantung yang berdebur seperti ombak. Tubuh maskulin itu bahkan tidak goyah saat kedua tangan Caramel mendorong bagian dada kuat-kuat.

Caramel ingin menutup mata bahwa Thunder sama sepertinya. Namun, fakta yang lewat beberapa detik lalu merontokkan kepercayaan diri yang biasanya selalu menjadi teman setia.

Ia mengerjap merasakan napas dingin menyapa leher. Suara tarikan napas dalam yang dilakukan secara berulang membawa logikanya menjalar ke mana-mana akan kondisi kesehatan Thunder. Hingga pada tarikan napas paling dalam, refleksi Zico datang dengan tatapan setajam elang.

Semua terjadi secepat kilat. Thunder melepas pelukan paksa saat cengkeraman Zico merenggut kain di tengkuknya. Tubuh itu terseret ke belakang sejauh sepuluh meter.

Berdasarkan tingkat kesadaran yang diperkirakan mencapai setengah dari seratus, Caramel kini diseret menjauh. Tergopoh menyamakan langkah dengan produksi sengal yang kentara. Aura Zico terasa pekat ketika paras rupawan itu mengeraskan rahang.

Dalam sekali sentakan tidak terlalu keras, penderitaan kedua tungkai pendek Caramel akhirnya berakhir ketika Zico membuka pintu kamarnya.

Obsidian setajam elang mulai mengintimidasi membawa penghakiman. Seolah sedang berusaha melucuti sisa-sisa keberaniannya yang masih ada.

“Tetaplah di dalam sampai waktunya kuliah.” Suara berat penuh keseriusan cukup membungkam Caramel. Tubuh femininnya di dorong mundur hingga melewati papan kayu toska.

“Jika kau berani keluar, maka aku akan memberimu hukuman.”

Kemudian, suara gemeletuk kunci yang terdengar dari luar. Menghentikan laju karbon dioksida yang seharusnya keluar saat itu juga dari bangir mungil Caramel.





~To Be Continued~

👑👑👑

Coba tukeran posisi sama Caramel. Kalau kalian yang ditatap gitu sama Zico gimana? 🌚

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro