3. Derelict

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Derelict :

(person) orang terlantar / gelandangan






Badanku sakit semua. Mati rasa seperti habis disetrum dengan tegangan tinggi. Perlu waktu beberapa menit sampai bisa kurasakan lagi tiap senti syaraf juga kelima indera. "Uukkhh!!" baru kata itu yang berhasil kukeluarkan.

Tak lama aku bisa merasakan semua badanku berfungsi dengan baik.

Kuperhatikan sekeliling tempatku berada. Sejauh mata memandang yang kudapatkan hanyalah hologram.

Sepertinya aku berada di sebuah taman. Kenapa kubilang sepertinya? Karena tempat ini meskipun kubilang taman tapi tidak mirip taman sama sekali.

Sekeliling memang pohon, tapi bukan pohon asli. Melainkan hologram yang menyerupai pohon. Kemudian bunga, bangku taman, bahkan burung-burungnya.

Begitu kusentuh, semua itu nampak nyata. Ia keras sebagaimana mestinya sebuah dahan pohon, ia gemerisik sebagaimana mestinya daun kering. Semua memang nyata saat kusentuh, tapi beda dengan mataku. Apa-apaan ini?

Mirip seorang anak kecil, rasa keingintahuanku sangat besar. Aku meneliti pohon besar di hadapanku. Di bagian akar tergeletak begitu saja sebuah kartu ukuran postcard.

Begitu kuraih kartu itu bereaksi. Ada bunyi SYUNG! Kemudian pohon mendadak mengecil, dan lenyap begitu saja ke dalam kartu. Kini pohon itu berbentuk kartu, bukan ... kartu ini adalah pohonnya. Bukan ... aduh, adakah yang bisa menjelaskan ini?

"Heh, gelandangan!" teriak seorang berseragam tak jauh dari taman. Ia memegang pentungan hologram. Meskipun itu hologram tapi pasti sakit kalau benda itu mengenai kepala. Apalagi hologram itu nyata, sama seperti pohon ini, kan?

Entah teriakan itu untukku atau bukan, tapi kedua kaki ini bergerak begitu saja kala pria berseragam itu mendekat. Benar saja, dia mengikutiku. Yang dipanggilnya gelandangan adalah aku. Sial, larinya cepat juga.

"Berhenti! Kau tidak memakai Bar Kebaikan? Apa kau dari Dunia Bawah?"

Dia ini bicara apa sih?

Pria berseragam ini tangguh juga, dia tidak berhenti walau aku memutar-mutar tempat aneh ini sampai berkilo-kilo. Aku memang ahli dalam hal lari, akulah atlet jadi-jadian. Tapi pria ini sepertinya atlet betulan. Dia akan mendapatkanku sebentar lagi.

"Kenapa mengejarku? Salahku apa?" rengekku sambil tetap berlari.

"Kau gelandangan, tidak ada ampun untuk gelandangan."

"Aku bukan gelandangan!"

"Kalau begitu tunjukkan Bar Kebaikanmu."

"Apa itu?"

"Karena kau tidak bisa menunjukkannya, aku harus menangkapmu."

"...ukh!"

Kejar-kejaran masih berlangsung. Aku menabrak banyak orang. Melewati banyak tempat yang terbuat dari hologram. Semua benda di sini dari hologram, kecuali para manusia, tentu saja.

Aku kehilangan akal, aku masuk ke sebuah toko buku. Daripada kubilang toko buku, ini lebih mirip toko kartu. Yang dijejerkan adalah kartu-kartu. Bisa kutebak, pasti kartu dengan gambar buku.

Aku menabrak seorang wanita. Dia oleng sedikit sebelum akhirnya kutangkap lengannya agar tidak jatuh. Wanita itu menatapku dengan mata bulat, yang pertama karena kaget, yang kedua karena marah sudah membuat barang-barangnya berantakan.

"Hei, apa yang kau lakukan?" protes wanita itu.

Eh?

Apa aku tidak salah lihat. Wanita itu ... Ronnie? Bukan, bukan, Ronnie itu laki-laki. Dia setinggi badanku, rambutnya tidak panjang, tidak punya bentuk pinggul seperti biola dan tidak punya payudara menonjol. Orang ini wanita tulen, bukan Ronnie. Tapi wajahnya ... benar-benar Ronnie, sahabatku. Apa maksudnya ini?


"Apa lihat-lihat? Kau sedang dikejar polisi, ya?"

Oh, Tuhan ... bahkan cara mengerutkan dahinya pun sangatlah Ronnie. Apa ini ... Ronnie versi wanita? Kuakui Ronnie memang manis kalau kubayangkan sebagai wanita. Tapi ....

"Pak, Pak, disini! Orang yang kau cari ada di si---"

Aku membekapnya sebelum kalimat itu selesai. Karena wajahnya mirip Ronnie tentu saja aku membayangkan sahabatku itu, tapi wanita ini tidak punya tenaga seperti Ronnie. Ia lemah, begitu kudorong ke tembok, tubuhnya seperti melayang. Dan begitu kubekap mulutnya, ia tidak bisa mengeluarkan suara apapun karena tanganku lebih besar daripada mulutnya. Nah loh ... apalagi sekarang?

"Ronnie ... ini kau Ronnie?" aku berbisik sebab derap langkah polisi yang mengejarku kedengaran dari teras toko buku yang berisikan wanita ini. Ralat, sekarang ada kami.

"Hmp hmp hmp ...."

Ah, dia kan sedang kubekap.

Aku melepasnya, tapi tidak kulepaskan doronganku dari tubuhnya yang lebih pendek itu ke tembok.

"Puah! Kau gila ya, kau mau poin kebaikanmu berkurang, kau mau dilempar ke Dunia Bawah?" wanita itu menggumamkan hal yang tidak kumengerti.

"Kamu bicara apa? Kamu benar Ronnie? Tapi kenapa kamu jadi wanita?"

"Apa yang kau pikirkan, sih? Aku ini memang wanita. Kau tidak lihat tubuhku sangat-sangat wanita."

Wanita ini menonjol-nonjolkan bagian dadanya. Karena aksinya itu aku sampai melepaskan kuncian tubuhku darinya. Aku tidak begitu suka berinteraksi dengan wanita.

"Aku ingin tahu, apa maksudnya Bar Kebaikan? Si gila itu mengejarku dan mengatakan itu terus," ucapku.

"Kau tidak tahu Bar Kebaikan? Memangnya kau dari dunia mana? Kau alien?"

"Jawab saja!"

Wanita itu mengacungkan pergelangan tangannya. Di sana menggantung gelang hitam dengan panel di tengahnya. Di panel tersebut terdapat beberapa titik menyala seperti sebuah sinyal yang terdapat di layar ponsel. Juga beberapa tombol yang ganjil di sisi lainnya.

"Ini Bar Kebaikan, semua orang memakainya. Yang tidak memakainya akan ditangkap dan dibuang ke Dunia Bawah," jelas wanita ini cukup meyakinkan.

"Apa itu Dunia Bawah?"

"Ya, Tuhan ... kau benar-benar bukan berasal dari dunia ini, ya?"

Ya memang, aku bukan berasal dari dunia serba hologram ini. Dunia yang aneh.

"Itu dunia mengerikan yang berisi para pecundang hasil buangan dari dunia ini. Seharusnya kau tahu sedikit tentang itu."

Aku menggeser badanku dari jendela karena si polisi itu memutuskan kembali ke toko buku ini.

"Sebenarnya kamu ini siapa?" dia bertanya.

"Nanti akan kujelaskan, kalau aku lolos dari si gila itu."

Polisi masuk ke toko buku. Aku sembunyi dalam meja kasir yang sempit. Si polisi berbincang dengan wanita mirip Ronnie tersebut.

"Kau lihat gelandangan masuk kemari, Nona?" sahut pak polisi gila.

"Tidak ada yang seperti itu di toko buku."

"Katanya ada yang lihat gelandangan itu masuk kemari."

"Tadinya iya, tapi sepertinya dia sudah lari. Kalau pun ada, aku pasti akan memberitahumu."

Bagus, rupanya wanita itu tahu cara berakting.

"Begitu ya, maaf Non, sudah mengganggu!"

Pak polisi berlari kembali keluar toko. Aku mengintip jendela dan melihat si gila itu menghilang di belokan. Aku bisa bernapas lega sekarang.

"Kau berhutang padaku," wanita itu mengejutkanku di balik meja kasir.

"Aku tahu, aku akan membalas budi dua kali lipat atas ini."

"Balas budi, siapa yang menginginkan itu."

"Lalu kau ingin apa? Uang?"

"Di sini kami tidak menyelesaikan masalah dengan uang. Aku mau minta poin kebaikanmu."

"Poin ... apa?"

"Ah, aku lupa. Kau, kan, tidak punya Bar Kebaikan. Sini ikut aku!"

Wanita itu beranjak. Ia memintaku menunggu di sebuah pintu bertuliskan only staff. Tak lama ia kembali dengan sebuah gelang yang mirip seperti miliknya. Ia menyodorkannya padaku.

"Gelangku sempat rusak, tadi pagi aku membetulkannya ke teknisi dan sudah benar. Sekarang aku pakai punya kakakku. Karena sepertinya kau benar-benar gawat, sementara pakailah punyaku," perintahnya.

"Ambil begitu saja? Kamu tidak akan minta nyawaku sebagai gantinya, kan?"

"Sudah ambil saja, karena kau orang aneh pertama yang kutemui, akan kujelaskan cara kerjanya."

Wanita itu memasangkan gelang bernama Bar Kebaikan di pergelangan tangan kananku.

"Yakin dipasang di kanan? Aku ini kidal, loh!" seruku mendapat delikan kesal.

"Peraturannya dipasang di kanan."

Ada bunyi KLIK! saat benda itu menempel pas di tanganku. Dan panel menyala begitu saja saat denyut nadiku sampai pada permukaan gelang. Bar-ku terisi 7, sedangkan milik wanita itu hanya 5.

"Nah, karena aku sudah berbuat baik, berikan poin kebaikanmu padaku," ucapnya.

Meskipun dia bilang begitu, tapi aku tidak tahu caranya. Cuma memutar-mutar gelang seperti orang bodoh.

"Sini! Tekan tombol yang paling kanan ini lalu arahkan dengan gelangku. Nanti poin kebaikanmu akan berkurang satu, dan punyaku akan bertambah satu. Paham?"

"Wow, menarik ya? Memangnya apa gunanya bar ini?"

"Ada 10 bar. Karena punyamu baru dan standarnya adalah 7, jadi poin kebaikanmu adalah 7. Kalau kau bersikap baik pada orang lain, poinmu akan ditambahkan. Begitu juga sebaliknya, kalau orang lain bersikap baik padamu, poinmu yang akan berkurang. Kau harus mempertahankan poinmu agar di atas angka 2, karena kalau kurang, para polisi akan bisa melacaknya dan menahanmu. Yang parahnya lagi kau akan dibuang ke Dunia Bawah."

"Apa itu Dunia Bawah?"

"Huh! Kau harus memberiku poin lagi, kau benar-benar merepotkan karena aku harus bicara panjang lebar untuk menjelaskan."

"Okelah, kuberikan kau 2 poin!"

"Janji!"

"Asalkan jawabanmu memuaskan."

Aku dan dia memilih duduk di kursi hologram. Sudah kubilang ini nyata. Empuknya juga nyata.

"Dunia ini terbagi atas dua dunia. Dunia Atas dan Dunia Bawah. Kita berada di Dunia Atas, dimana semua hal bisa didapatkan dengan mudah dan canggih. Di sini tidak mentolerir adanya kejahatan, karena sekali kau melakukannya kau akan kehilangan 5 poin kebaikan. Tidak masalah kalau poinmu di atas 8, tapi kalau kurang kau akan langsung berurusan dengan militer yang akan menyeretmu ke Dunia Bawah.

"Dan Dunia bawah, itu kebalikan dari Dunia Atas. Di sana masih berlaku sistem konvensional dan kuno. Di sana semua hal sulit didapat dan angka kriminalitasnya sangat tinggi. Hal apapun didapatkan dengan cara jahat. Tidak heran kalau di Dunia Bawah sering terjadi pembunuhan dan kanibalisme. Itulah kenapa para penjahat buangan dari Dunia Atas menganggap Dunia Bawah adalah neraka tempat eksekusi mati.

"Karena perbedaan itulah Dunia Atas menciptakan benteng yang tidak bisa ditembus Dunia Bawah. Karena kalau seseorang melewati perbatasan, mereka akan ditembak mati," terang wanita mirip Ronnie.

"Duniamu mengerikan sekali. Tidak ada kebebasan melakukan segala hal. Dan gelang ini adalah buktinya."

"Jangan mencela duniaku, bagaimana dengan duniamu? Kau janji akan menjelaskan padaku."

"Baiklah, duniaku adalah campuran dari Dunia Atas dan Dunia Bawah. Semua orang dibebaskan untuk melakukan suatu hal tanpa terkecuali. Tapi tentu saja, kami memiliki hukum sendiri dimana kejahatan tidak dibenarkan dan menghukumnya dengan adil."

"Huh, terdengar sangat tidak masuk akal."

"Justru duniamu yang tidak masuk akal."

"Baiklah, pria dari dunia lain. Lalu apa tujuanmu datang ke Dunia ini. Apa kau ingin menguasai dunia ini?"

"Cih, aku tidak berminat sama sekali dengan dunia aneh. Aku punya tujuan lain. Ini menyangkut temanku yang sudah mati. Aku bisa menghidupkannya kembali asalkan membawa temanku itu ke pohon bercahaya."

"Oh, dan temanmu itu ...."

"Kamu!"

"Aku? Kamu bercanda, ya?"

"Kamu punya wajah seperti temanku. Hanya saja temanku itu pria. Aku tidak mengerti, mungkin di sini Ronnie di-set jadi perempuan."

"Menggelikan. Kamu pikir aku akan percaya?"

"Kau harus percaya dan membantuku, aku ingin temanku hidup lagi."

"Pertama, aku ini bukan temanmu, aku bukan Ronnie atau apalah namanya tadi. Kedua, tidak ada pohon seperti itu di sini. Ceritamu mirip seperti dongeng."

"Huh, justru dunia inilah yang seperti dongeng. Apa-apaan pembagian dunia yang tidak idealis itu. Pembagian seperti itu hanya akan membuat kebencian pada Dunia Atas. Lihat saja, suatu hari Dunia Bawah akan melakukan kudeta dan mengambil alih Dunia Atas."

"Heh, kenapa kau jadi menyumpah seperti itu. Kau dipihak Dunia Bawah, ya?" ia berkacak pinggang.

"Makanya kubilang aku tidak peduli. Aku cuma ingin temanku hidup lagi. Kau tinggal membantuku menemukan pohon itu, lalu datang bersamaku. Setelah itu aku tidak akan mencampuri duniamu lagi."

"Berapa kali harus kubilang, aku bukan temanmu. Aku bukan Ronnie. Namaku Vaya. Vaya Taliva!"

Eh?

"Lama-lama kau membuatku kesal, lebih baik kupanggil lagi polisi itu kemari."

Wanita itu membalikkan badan. Namun, baru saja selangkah, aku sudah memanggilnya.

"Vaya? Kau bilang namamu Vaya?"

"Ya, aku Vaya. Bukan Ronnie!"

Bercanda, pasti dia bercanda. Mana ada kebetulan yang mengerikan seperti ini.

Vaya adalah wanita yang disukai Ronnie. Dia wanita berwajah tirus dengan mata menyipit tanpa kelopak mata, bibirnya berbentuk hati dan tipis, rambutnya gelombang sepinggang warna hitam pekat. Dia satu-satunya wanita yang disukai Ronnie sejak SMP.

Coba bayangkan ini, wanita di hadapanku ini punya wajah Ronnie tapi nama dan badan milik Vaya.

"Mau kuceritakan hal lucu? Vaya Taliva adalah orang yang disukai Ronnie. Bisa dibilang kau gabungan dari keduanya."



ilustrasi




note : kemiripan hanyalah fiktif belaka, mohon dengan bijak bisa memaklumi

Jangan lupa like dan komen kalau kamu suka.

Story ini update setiap Rabu dan Sabtu.

Pastikan kamu datang lagi di waktu tersebut.

Hope you like it 😉





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro