Pintu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gue mendesah keras saat terbangun dari tidur, secara otomatis, tangan gue meraih ponsel yang berada di dekat bantal dan melihat jam yang tertera disana-jam delapan lewat lima.

Hari ini hari sabtu dan gue udah janji sama Safira, pacar gue, buat ngajak dia jalan-jalan ke kota tua. Jarang banget kami bisa jalan-jalan berdua kayak gini, dia yang sibuk kuliah di Jogja dan gue yang stay di Bandung bikin kami gak pernah ketemuan secara langsung akibat sibuk dengan tugas dan kegiatan mahasiswa kampus. Setelah beberapa bulan melewati masa LDR an dia akhirnya pulang kemarin dan ngasih ide buat refreshing.

Gue melangkah bangun dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk bersiap. Dalam beberapa menit, gue udah berpakaian serapi yang gue bisa lalu turun ke ruang tamu.

"Ma, Anto pergi dulu ya," ujar gue agak keras.

Ibu gue yang lagi minum teh sambil baca majalah itu mendongak. "Mau kemana kamu?"

"Jemput Safira, Ma, kayak biasa."

"Hoh, oke, hati-hati ya," ujar ibu gue melempar senyum lalu kembali serius dengan majalahnya.

Gue bersiul pelan ketika masuk ke dalam mobil dan mengendarainya menuju rumah Safira. Rumahnya ada di beberapa gang setelah gang rumah gue, gak terlalu jauh, tapi lumayan kalo lo cuman jalan kaki untuk ke sananya.

"Udah siap, Saf?" tanya gue melalui earphone yang menempel di telinga.

"Udah, gue tinggal masukin barang-barang ke tas," jawabnya setelah tiga deringan. "Lo udah sampe mana?"

"Lima menit lagi nyampe, tunggu aja."

"Sip." Terdengar suara restleting yang ditarik. "Gue tunggu."

Gue senyum tanpa menjawab lalu memutuskan sambungan.

*

"Sebenernya di kota tua ada apa aja, Saf? tumben lo tertarik untuk jalan jauh kayak gini."

Safira mengulas senyum lebar, matanya berbinar semangat ketika natap gue. "Disana keren banget katanya, seru."

"Kata siapa?"

"Temen gue yang tinggal gak jauh dari sana," jawabnya. "Dia bilang es selendang mayangnya enak banget."

"Lah," Gue seketika mengangkat alis heran. "di tempat kita juga ada banyak kali, Saf."

"Kita bisa naik sepeda ontel sambil liat-liat peninggalan jaman Belanda disana, To...." ujar Safira lagi seakan tidak mendengar ucapan gue.

"Di Bandung juga ada banyak," celutuk gue lagi gak mau kalah.

"Banyak bule ganteng...." lanjutnya lagi dengan nada yang fix mengkhayal. ".... gue dari dulu pengen banget kenalan sama bule."

Gue berdehem. "Oh ... jadi itu tujuan lo?"

"Eh?"

Gue menggelengkan kepala lalu tersenyum geli saat melihat mukanya yang bingung perlahan berubah agak merona saat balik natap gue. "Terserah apa kata lo deh, Saf."

"Apa sih, To?" tanyanya mengalihkan pandangannya. "Lo bikin gue...."

"Apa?" tanya gue sambil memperhatikan jalanan yang mulai meregang.

"Gak, gue gak mau bilang."

Senyum gue tambah lebar. "Oke deh, Saf."

Selama sisa perjalanan gue dan Safira nggak mengobrol lagi, cewek itu memilih untuk menatap jendela dan mulai terkantuk-kantuk. Gue melihat sekilas cewek itu membentur jendela mobil beberapa kali dan beberapa kali mengaduh pelan sebelum akhirnya tertidur lagi.

Saat kembali memfokuskan diri, jalan yang berada di depan mobil gue sudah dipenuhi dengan mobil dan motor-motor lain yang tiba-tiba saja sudah berderet dan menyisakan sedikit celah untuk bergerak. Gue mengerutkan kening bingung, nggak biasanya jalan yang gue pilih bisa rame begini.

Gue mengetuk-ngetukkan stir mobil selama setengah jam terakhir dan menoleh ke samping untuk melihat sebuah mini market yang tampak mengundang untuk didatangi. Gue mengacak rambut pelan lalu membelokkan mobil ke mini market.

Mungkin gak ada salahnya buat istirahat sebentar.

~°~

"Saf, bangun, Saf." Gue menepukkan tangan gue ke pipi Safira. "Gue mau ke minimarket dulu nih."

"Hng?" Safira membuka matanya perlahan dan menguceknya sekilas, cewek itu memandang ke sekeliling tanpa sadar sebelum akhirnya menatap ke arah gue. "Udah sampe?" tanyanya dengan nada mengantuk.

"Belum. Gue mau beli minuman sama snack di dalem, lo mau?"

Safira terdiam selama beberapa saat lalu mengangguk. "Gue mau fresh tea sama lays rumput laut, To."

"Sip, lo tunggu sini ya."

Cewek itu mengangguk sambil tersenyum sekilas sebelum gue menutup pintu mobil dan berjalan memasuki minimarket.

Sejuknya pendingin ruangan segera menyambut gue ketika melangkah melewati pintu kaca, kaki gue langsung mengarah pada rak-rak yang menyajikan makanan ringan dan lemari pendingin yang terlihat mengembun. Tangan gue bergerak untuk mengambil pesanan Safira lalu memasukkannya ke dalam keranjang yang gue ambil tadi.

Kaki gue kembali melangkah untuk menyusuri beberapa rak lagi hingga akhirnya mengambil sebotol coca cola dan roti sobek cokelat-keju. Gue membawa semua makanan ringan itu ke kasir untuk membayarnya.

"Total Rp. 34.250,00," ujar mbak kasir itu dengan nada yang khas.

Gue segera mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari dompet dan menyerahkannya pada mbak kasir itu. Sembari menunggu proses pembayaran, gue mengetuk-ngetuk lantai minimarket dengan pelan, memperhatikan sekeliling minimarket yang baru gue sadari hanya berisi gue, mbak kasir, seorang cewek yang berjalan tak tentu arah dan sesosok cowok lain yang berpakaian seragam petugas minimarket.

"Kembaliannya." Suara mbak kasir segera menyadarkan gue untuk mengembalikan pandangan dan menerima kembalian serta plastik belanjaan. "Terima kasih sudah berkunjung, datang kembali ya."

Gue hanya tersenyum sekilas untuk menanggapi ucapan mbak itu, menaruh kembalian ke saku belakang jins lalu segera melangkah menuju pintu keluar.

"Apa-apaan." Gue bergumam pelan saat melihat pintu yang gue masuki sebelumnya sekarang berupa dinding polos tanpa pintu.

Mata gue menoleh ke kasir dan tidak menemukan mbak kasir yang sebelumnya ada di sana juga pegawai lain yang sebelumnya berdiri di dekat gudang minimarket. Gue cuman bisa melihat kumpulan rak-rak minimarket yang, sepertinya, memanjang dan seorang cewek yang melangkah pasti menuju ke arah gue

"Woi! ngapain lo disini?" tanyanya tanpa segan, menghardik gue.

Gue mengangkat alis heran dengan sapaan cewek itu yang tiba-tiba, tapi tetap menjawab. "Entahlah. Gue juga bingung. Tadi rencananya gue mau keluar, tapi pintunya ngilang, udah 15 menit gue begini. Lo sendiri kenapa di sini?"

"Sama kayak lo, mau keluar tapi pintunya ngilang. Gue bahkan udah 20 menit ada di sini. Heran gue, perasaan pas di luar tadi minimarket ini kelihatan kecil, kenapa sekarang pas di dalemnya gede banget," katanya jengkel.

Gue cuman mengangkat sedikit bahu sebagai tanggapan.

"Ayo bantu gue nyari pintu keluarnya," katanya lagi tanpa menunggu jawaban lalu mulai melangkah menjauh sehingga gue mengikutinya.

*

Sudah lebih dari 5 menit, gue dan cewek yang mengenalkan dirinya sebagai Queen itu berkeliling di minimarket. Wajah Queen terlihat sangat kusut akibat tidak dapat menemukan pintu keluar yang dia inginkan, sejak terakhir berjalan, mulutnya juga bergumam beberapa kali seperti sedang mengutuk sesuatu.

"Lo mau milih pintu yang mana?" tanyanya menatap gue.

Gue memperhatikan dua pintu yang sudah tersedia di depan kami, dua pintu yang tiba-tiba terlihat ketika kami berjalan melewati deretan rak berisi bungkusan permen, makanan instan seperti indomie dan spagheti serta beberapa bumbu dapur yang disusun berulang-ulang.

"Gue yang kiri," jawab gue akhirnya.

Cewek itu mengangguk. "Oke, kalo gitu gue yang kanan. Duluan ya."

Gue mengangguk dan melihat dia melangkah tanpa ragu memasuki pintu yang terlihat bersinar saat dibuka. Menghilang bersamaan dengan pintu itu yang langsung lenyap tanpa jejak.

Gue menghela napas pelan lalu menatap pintu yang tersisa di depan, merasa sedikit ragu walaupun pada akhirnya gue mangangkat tangan untuk meraih handel pintu lalu menurunkannya untuk membuka pintu itu sepenuhnya.

Gelap. Ruangan yang berada dibalik pintu itu cukup gelap tanpa adanya penerangan yang dapat gue liat sejauh mata memandang.

Tangan gue terulur untuk meraba ke depan, berjaga-jaga kalo misalkan ada sesuatu yang harus gue hindari supaya tidak tertabrak. Yah ... bukannya apa-apa, gue cuman males kalo tiba-tiba aja wajah gue yang udah pernah bonyok dulu harus bonyok lagi lantaran gak merhatiin jalan di depan gue.

Selama beberapa saat gue terus melangkah ke depan tanpa memperhatikan apa yang berada di kanan kiri gue yang sepertinya lapang. Salah satu tangan gue masih memegang plastik belanjaan yang gak pernah gue lepasin sedikitpun, minuman dingin yang gue ambil terasa mulai mengembun hingga menembus plastik yang membungkusnya. Safira. Dia gimana sekarang?

Gue menggelengkan kepala lalu memejamkan mata, gue gak boleh pikirin dia dulu, gue harus fokus untuk keluar supaya bisa ketemu sama dia langsung, bukan begini. Bisa-bisanya gue terjebak di dalam ruang gelap yang tanpa ujung ini, harusnya gue gak perlu masuk aja sekalian tadi.

Terdengar suara desingan yang tiba-tiba terdengar di telinga gue. Suara derakan halus kemudian menyusul dan memunculkan deretan dan barisan cermin yang diterangi beberapa lampu di beberapa tempat. Gue hanya bisa terdiam saat gue melangkah ke sana dan memperhatikan cermin-cermin itu yang mulai menampilkan kilasan video pendek kehidupan gue sebelum jadian sama Safira.

Salah satu cermin memperlihatkan ibu gue yang menangis ketika ditinggal bokap akibat overdosis, gue yang masih berumur 6 tahun cuman bisa berdiri di sampingnya dan ikut menangis, belum mengerti dengan apa yang terjadi.

Cermin lain memperlihatkan gue dan temen-temen gue saat smp dulu sedang menyoba-nyoba rokok. Gue batuk saat pertama kali nyoba tapi pada akhirnya bisa lancar ketika melihat temen-temen gue yang tetep santai.

Gue kembali melangkah dan melihat cermin-cermin yang menampilkan diri gue pertengahan SMA ikut tawuran dan mulai terjun dalam dunia obat-obatan. Terhasut akan keindahan semu yang berasal dari setiap narkoba yang gue hirup dan suntik ke pembuluh darah.

Ibu gue nangis untuk kedua kalinya saat gue masuk ke rumah sakit akibat pingsan saat tawuran. Kekebalan tubuh menurun, efek dari hidup gue yang berantakan.

Gue memejamkan mata lagi. Melihat semua video ini kembali mengingat diri gue yang tanpa sadar mengulang apa yang telah dialami oleh bokap dulu dan ketidakbecusan gue sebagai anak dari single parent, ngebuat ibu gue nangis.

Gue kemudiam beralih ke cermin yang menampilkan gue yang mulai menjalankan rehabilitasi dan pertemuan gue dengan Safira. Satu-satunya pecandu cewek seumuran gue dan pemberontak. Kebetulan, kami juga dibimbing oleh orang yang sama sehingga akhirnya kami selalu ketemu dan menerima pelatihan yang sama.

Kami saling share pengalaman dulu, dia yang sering kabur dari rumahnya karena orangtuanya dinas ke luar negeri serta ikut sahabatnya clubbing dan gue yang secara bertahap masuk ke dunia obat-obatan.

Safira keluar dari pusat rehabilitasi lebih dulu dari gue kemudian disusul gue 3 bulan setelahnya. Kami jadian dan bersama-sama mengejar ketertinggalan kami saat di SMA, belajar intensif untuk melanjutkan pendidikan ke universitas impian masing-masing.

"-Anto?" Sebuah suara lembut yang gue kenali tiba-tiba tertangkap telinga gue. "Ngapain lo tiduran di sini?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro