Sekarang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau masih sering menatap seseorang itu, memperhatikan dia dan pasangannya dari jauh dengan rasa nyeri yang masih mengiringi. Tapi
kali ini seseorang yang lain menghampirimu, mendatangimu dengan kelembutan yang tersembunyi dan perlahan-lahan menyembuhkan rasa nyeri itu.

Kali ini kau memutuskan untuk mengalihkan pandanganmu dari seseorang itu, mengubur segala kenangan mengenai seseorang itu di
dalam dirimu. Sebuah senyum tulus akhirnya tersungging di bibirmu ketika menatap seseorang yang lain itu kembali menghampiri dengan wajah datar yang khas. Seseorang itu mengulurkan tangannya padamu.

Pada awalnya kau menatap uluran tangannya dengan pandangan ragu tapi pada akhirnya kau tersenyum kecil, menerima uluran tangannya dan kemudian mengikuti seseorang itu membawamu pergi.

Mungkin pada akhirnya kau bisa mendapatkan kebahagiaan dari seseorang yang lain.

Semoga beruntung, Tra.

.

Citra melangkahkan kakinya terburu-buru melewati orang-orang yang berdesakan di jalanan kota. Berkali-kali dia mengecek jam tangan dan melihat waktu yang tertera disana, sekarang
hanya tersisa lima menit lagi sebelum dia benar-benar terlambat untuk masuk ke kelas.

Dalam hati dia mulai merutuki kebodohannya yang bisa-bisanya bergadang semalaman untuk
menonton secara maraton CD-CD yang dikumpulkannya selama seminggu terakhir. Citra sudah tidak bisa lagi menahan hasrat untuk
menonton film yang sudah begitu jarang dia lakukan akhir-akhir ini akibat Galih yang semakin sering menghabiskan waktunya bersama Saka, pacarnya.

Dia berdecak pelan ketika merasakan ponselnya mulai bergetar di saku jaketnya,
menandakan seseorang–yang kemungkinan besar Galih–meneleponnya. Dia pada akhirnya membiarkan ponsel itu terus berdering karena masih sibuk untuk berjalan cepat diantara banyak orang.

Beberapa menit berjalan Citra akhirnya tiba di depan universitas, dengan langkah secepat mungkin dia berjalan melewati mahasiswa lain
yang masih berjalan santai dan mengobrol dengan teman masing-masing tanpa beban, jelas sangat berbeda dengan situasinya yang sedang berada di ujung tanduk.

Dia menghentikan langkahnya ketika tiba didepan pintu kelas yang sudah tertutup rapat, dari luar dia dapat mendengar dengungan samar suara dosen yang sedang menjelaskan materi. Dia sedikit menjijitkan kedua kakinya untuk mengintip dari kaca persegi kecil dan memandang berkeliling melihat sebagian besar mahasiswa lain sedang sibuk memerhatikan dosen yang mengajar–Ibu Ratih.

Pandangannya berhenti pada Galih yang balik memandangnya dengan sorot mata lega.

'Dasar,' ucapnya tanpa suara sebelum mengalihkan pandangannya lagi kearah dosen.

Citra berhenti mengintip lalu membuka ponselnya yang terasa
bergetar di saku jaket.

Galih: Lo dari mana aja?

Citra: Gue bangun kesiangan. Aman gak kalau masuk kelas selarang?

Galih: Mendingan jangan. Moodnya Bu Ratih lagi jelek banget, lo gak liat pas Wira sama Ibnu di bentak di depan kelas gegara telat 5 menit doang.

Citra mendesah pelan. Terus gue mesti gimana?

Dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam jaket lalu mulai berjalan menjauh dari sana menuju taman, memutuskan untuk menyendiri
selama beberapa saat dan menunggu bel pergantian jam pelajaran berdering.

Setibanya di taman dia melangkahkan kakinya memutari air mancur kecil yang terletak ditengah-tengah taman lalu mendudukkan diri di salah satu kursi. Matanya mulai terpejam menikmati angin dingin yang berhembus melewatinya dan mulai merasakan kantuk.

Citra kembali membuka matanya dan melihat tetesan hujan mulai turun membasahi wajahnya yang mendongak. Dia mendecakkan lidah lalu meraih tasnya untuk mencari tempat berteduh.

Dia berjalan cepat, mengangkat salah satu tangan dan melihat jam
yang tertera disana. Masih setengah jam lagi sebelum bel pergantian pelajaran berbunyi.

Cukuplah. Dia segera melangkahkan kakinya melewati lorong universitas yang mengarah ke perpustakaan.

"Loh, Citra? tumben lo kesini."

Citra nyengir sambil terkekeh pelan saat dia melangkah memasuki perpustakaan. "Iseng, Kak, tadi telat masuk."

"Oh..." jawab kakak kelas merangkap penjaga perpustakaan itu menganggukkan kepala. "Kalo lo mau, ada beberapa novel baru tuh di rak paling pojok."

"Wah, seriusan?"

"Iya, buruan ngecek sana."

Citra mengacungkan jempolnya lalu segera melipir dari sana. Cewek itu menyapukan pandangan pada judul di bagian samping kover dan sesekali mengecek sinopsis, membuka beberapa lembar dan akhirnya mengambil dua novel teenlit.

Dia mengempaskan dirinya di salah satu kursi yang berjejer lalu mulai membaca novel pilihannya. Suasana tenang dan rasa hangat yang berputar disekelilingnya perlahan membuatnya kembali merasa mengantuk, tulisan yang tercetak
pada buku yang dibaca mulai terlihat mengabur dan pegangannya mulai goyah.

Dia segera menepuk kedua pipinya sekeras mungkin lalu membuka ransel untuk meraih sebotol minuman, meneguknya sebanyak mungkin untuk mencegahnya dari rasa kantuk. Matanya kembali bergerak untuk membaca novel yang dipegangnya.

Menikmati waktu yang tersisa sebelum melanjutkan jadwal kuliahnya yang berantakan.

.

Citra melangkah keluar dari perpustakaan bersamaan dengan bel pergantian kelas. Mahasiswa yang sebelumnya berada di dalam kelas sekarang bergerak keluar bersama dengan teman masing-masing sehingga membuat lorong kelas berubah menjadi keramaian yang cukup padat.

"Tra!" Seseorang memanggilnya dengan suara yang cukup keras diantara dengungan obrolan mahasiswa lain.

Cewek itu segera menoleh ke sumber suara dan dapat melihat kilasan berwarna rambut coklat panjang bergerak kearahnya dengan menyusup di antara para mahasiswa lain. Dalam beberapa detik Galih akhirnya menghentikan langkah ketika sampai di depannya.

"Ada apa, Gal?" tanya Citra ketika
melihatnya sedikit terengah-engah.

Galih memukul lengannya pelan lalu menatapnya dengan pandangan merajuk. "Lo enak banget gak masuk pelajarannya Bu Ratih tadi."

"Kenapa emang?" tanya Citra penasaran, tumben-tumbennya dia melihat Galih merajuk. "Lo dapet masalah?"

"Iya," jawab Galih perlahan yang sekarang menatapnya menuduh. "Dan itu gara-gara lo tahu."

Dia mengerutkan keningnya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Gara-
gara gue? emang gue salah apa sama lo?"

Galih menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendesah cukup keras. "Masa lo lupa, jidat? kita kan satu kelompok sejarah. Kemarin lo sama gue kan ngerjain tugas itu maraton dari siang sampai malam di rumah lo, dan karena laptopnya punya lo, jadi lo yang harusnya bawa hasilnya."

Citra terdiam setelah mendengar penjelasan yang cukup panjang dari Galih, memprosesnya selama
beberapa saat sebelum menjawabnya dengan menganggukkan kepala. "Oh iya."

Galih merengut melihat tanggapannya yang terkesan acuh tak acuh.

Citra tertawa kecil. "Ya elah, Gal, gue seriusan lupa.... kalo gak lupa pasti gue bawa kok."

Gadis berambut coklat itu masih merengut kepadanya, jelas terlihat tidak puas dengan jawaban satu-satunya yang dia punya. Lagian gue gak sepenuhnya salah kan?

"Ya udahlah, lupain aja yang tadi," ucap Galih akhirnya sambil menggerakkan tangannya berulangkali. "Lagian habis ini ada jam kosong."

Citra menatapnya terkejut. "Habis ini kita ada kelas kosong?"

Galih mengangguk, sebuah senyum lebar dan mata yang berbinar riang menggantikan raut mukanya yang sebelumnya mengerut. "Pak Tanto gak masuk, sakit."

"Lo tahu dari mana, Gal?" tanyanya lagi untuk memastikan.

"Dari Bu Ratih. Dia ngasih tahu sebelum keluar kelas tadi."

Cewek itu menganggukkan kepalanya mengerti, berarti hari ini dia hanya tinggal menghadapi kelas matematika Pak Eko.

Syukurlah.

Mereka berdua kembali melanjutkan obrolan ringannya sambil melangkahkan kaki menuju kafetaria. Terlihat beberapa mahasiswa lain sudah berkumpul disana dan mulai mengantri mengambil makanan yang tersedia kemudian mencari tempat duduk. Citra memilih untuk mengambil makanan terlebih dahulu sehingga Galih bisa mencari tempat duduk untuk mereka.

Cewek itu ikut mengantri di antara mahasiswa lain dan mengambil jatah makanannya; nasi, sayur asem, ikan goreng dan sambal terasi serta kue pisang sebagai makanan penutup. Sekolahnya menerapkan menu makan siang yang berbeda untuk setiap harinya. Setelah mengambil semuanya dia kembali ke tempat duduk yang diarahkan Galih dengan melambaikan tangannya.

Citra meletakkan nampannya dan duduk diseberang Galih, cewek di depannya itu kembali asik membuka ponselnya dan senyum-senyum melihat entah apa yang tertampil di layar ponselnya, pesan dari Sai, mungkin.

"Lo gak ngambil makanan, Gal?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Gue udah bawa bekal," ucapnya sambil menunjukkan kotak bekal yang isinya terlihat lebih menggiurkan dibanding makan siang Citra. Sebuah senyum terlukis di bibirnya ketika dia meraih sendok dan menyuapkan makanan kedalam mulutnya "Gue juga udah bawa buat Saka loh."

"Nah, buat gue mana? sahabat lo sejak masih orok gak dibuatin juga nih?" tanya Citra mengangkat sebelah alisnya.

"Ngapain? lo aja gak pernah ngasih apa-apa ke gue," jawab Galih kalem.

"Gitu ya, sekarang lo jadi tega sama gue." Citra menyuapkan satu sendok besar ke mulutnya. "Lo lupa siapa yang ngenalin Saka?"

"Sebodo."

Setelah selesai makan mereka membeli minuman kaleng dan beranjak dari kafetaria. Beberapa saat berjalan Galih tiba-tiba saja menghentikan langkahnya dan menepuk dahinya lumayan keras.

"Tra, sori, kayaknya gue lupa bawa kamera Saka dari kafetaria tadi," ucap Galih dengan nada terburu-buru. "Duluan ya."

Citra hanya menganggukkan kepalanya dan melihat Galih segera berlalu dari hadapannya. Cewek itu mendesah pelan lalu melanjutkan langkahnya menuju taman belakang yang sebelumnya sempat dia kunjungi.

Taman itu cukup ramai, ada beberapa mahasiswa lain yang sedang bersantai dan menghabiskan
waktu disana bersama pacar mereka masing-masing. Citra berusaha mengabaikan semua itu dan memilih untuk duduk disalah satu bangku yang terhalang oleh semak-semak yang cukup lebat, tempat sempurna untuk.menyendiri.

Selama beberapa menit dia menatap langit dan memikirkan cowok yang masih sering muncul di benaknya, sorot mata hangat dan senyum lebar tanpa beban yang sering terukir di bibirnya. Cowok itu akan menemaninya dan membuatnya tertawa ngakak setiap kali mereka jalan bareng.

"Jadi lo sekolah disini?" tanya seseorang tiba-tiba, mengagetkannya.

Dia segera menoleh untuk menatap seorang laki-laki asing yang entah dari kapan sudah duduk disampingnya, memberi tatapan
datar yang terlihat familiar. "Lo siapa?" tanyanya balik tanpa mengacuhkan pertanyaan cowok itu.

"Mario."

Sebuah kerutan muncul di keningnya, namanya tidak terlalu asing. "Apa kita pernah kenalan?"

Cowok itu mengeluarkan dengusan yang cukup keras setelah mendengar pertanyaan Citra, sebuah senyum samar muncul di sudut bibirnya ketika dia menatap geli. "Ternyata lo punya ingatan berjangka pendek ya?" ujar cowok itu terdengar menyindir dibalik nada bicaranya yang datar.

Citra mengerutkan keningnya tidak paham. "Maksud lo apa?"

Dia tidak menjawab, tangannya malah bergerak merogoh ke dalam saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah ponsel, jari-jarinya dengan cepat menekan-nekan layar ponsel itu lalu mendiamkannya selama beberapa saat. Ponsel Citra bergetar.

Cewek itu gantian merogoh saku jaketnya dan melihat nama yang terpasang di layar ponsel yang sekarang menyala, Mario, nama cowok itu.

"Sudah ingat?" tanyanya menatap.

Citra menggelengkan kepala dan mulai berusaha mengingat-ingat cowok yang sedang duduk di sebelahnya. Kepalanya terangkat untuk menatap cowok itu balik, memandang figur wajahnya dengan cermat untuk mencari petunjuk. Wajah baby face dengan mata coklat dan rambut coklat kemerahan, tubuhnya tidak terlalu tinggi dan sekilas aku dapat melihat sebuah noda samar di jaketnya.

"Ah!" Citra menepukkan kedua tangannya ketika bisa.mengingatnya. "Lo cowok yang pernah gue tabrak ya?"

Dia mengangguk.

"Kok lo bisa ada di sini?" tanyanya heran. "Lo ... stalker?"

Dia memutar bola matanya. "Gue juga sekolah di sini," jawabnya akhirnya. "Bisa dibilang gue juga senior lo walau beda fakultas."

"Seriusan? gue pikir lo lebih muda."

Cowok itu mendecak jengah tanpa berkata apa-apa lagi.

"Kak Mario pengen diganti rugi sekarang juga?" tanya Citra tiba-tiba menawarkan. "Gue kosong sampai jam satu siang."

Dia melirik jam tangannya sebentar lalu menganggukkan kepalanya. "Oke."

Mereka berjalan kaki menuju kafe yang terletak tidak jauh dari universitas, berjalan beriringan memasuki kafe yang terkenal di
kalangan para mahasiswa dan pekerja kantoran yang biasanya berkunjung untuk makan siang atau bercengkrama dengan orang lain. Saat ini kafe itu belum terlihat ramai seperti biasanya, hanya ada beberapa orang saja yang mengisi tempat duduk ataupun berada di sekitar rak yang tersedia.

Citra segera mengedarkan pandangannya ke sekitar kafe tersebut lalu menghentikan pandangannya ke salah satu rak makanan ringan yang memajang
snack kesukaannya. "Kak Mario ambil aja yang pengen dibeli, nanti gue yang bayar," ujarnya cepat pada cowok itu sebelum melangkah menjauh.

Tangan cewek itu dengan lincah meraih beberapa bungkus makanan ringan lalu beralih ke mesin minuman otomatis yang terletak dibalik rak berisi kumpulan roti isi. Aku mengambil salah satu gelas stereofoam berukuran sedang dari tempat yang tersedia lalu mengisinya dengan soda bervariasi rasa.

"Lo beli sebanyak itu?" tanya seseorang tiba-tiba dengan nada heran. Citra dapat merasakan
sepasang mata coklatnya menatap kedua tangannya yang penuh dengan dua bungkus besar makanan ringan, satu pack kentang goreng berlapis saus keju dan satu gelas sedang
minuman dingin.

"Iya," balas Citra kaku. "Kenapa?"

"Gak apa-apa," jawabnya sambil menggeleng samar.

Mereka segera berjalan mendekati kasir lalu menyerahkan makanan dan minuman itu untuk di jumlah. Citra dapat melihat Mario hanya membeli satu porsi katsu dengan nasi dan segelas kopi hangat, jumlah yang sangat sedikit dibanding jenis makanan yang dia pilih. Tanpa berkata apa-apa mereka memilih untuk duduk di bangku tinggi yang berhadapan langsung dengan kaca kafe lalu mulai menyantap makanan.

"Kak Mario cuman beli itu?" tanya Citra padanya untuk memastikan. Cewek itu perlahan membuka salah satu bungkus kripik yang dia beli beli lalu mulai memakannya.

Cowok itu mengangguk, dia terlihat menikmati makanannya dan sesekali meminum kopinya.

"Kak Mario suka kopi?" tanyanya lagi.

Dia kembali mengangguk tanpa berkata apa-apa.

Citra terdiam selama beberapa saat untuk menatapnya lalu kembali bertanya, "kak Mario memang selalu pendiam kalau sedang makan, ya?" tanya cewek itu penasaran. "Apa kakak gak pengen ngobrol sama gue?"

Dia mengangguk dan kemudian melanjutkannya dengan menggelengkan kepalanya untuk menjawab kedua pertanyaannya.

"Ka–"

"Panggil gue Mario," ucap cowok itu memotong pertanyaannya tiba-tiba. "Rasanya aneh kalau denger lo manggil gue kakak berulangkali."

Citra mengerjapkan matanya setelah mendengar ucapannya, sebuah senyum bermain di bibirnya ketika memandang kakak kelasnya yang kembali menyantap makanan dengan semburat merah tipis di tulang pipinya.

"Kak Mario ternyata pemalu ya?" ujarnya dengan nada polos, ucapan itu meluncur keluar dari mulutnya tanpa bisa dikendalikan. "Wajah lo memerah tadi...." sepertinya gue tertular kebiasaan Galih.

Cowok itu memutar bola matanya, menolak untuk memberi Citra tanggapan lebih yang diharapkan darinya.

Cewek itu tertawa.

Tanpa terasa dia sudah menghabiskan satu setengah bungkus makanan ringan dan setengah minuman soda. Selama hampir satu jam tadi Citra berusaha menghabiskan waktunya dengan mengobrol walaupun hanya dibalas beberapa kata saja, membuat cowok itu mendecakkan lidah atau mendenguskan tawa–kesal, mungkin.

Saat kembali mengarahkan pandangan ke jendela kafe dia dapat melihat dua sosok yang sangat dikenali berjalan berdampingan menuju salah satu meja yang dibayangi kanopi, mereka terlihat begitu bahagia dengan saling melempar senyum ke arah satu sama lain. Dua orang yang paling cewek itu hindari semenjak putusnya hubungan singkatnya dengan Ary dan satu-satunya penyebab munculnya denyutan nyeri di dada ketika melihat mereka berdua.

"Kak Mario," panggil Citra masih mengarahkan pandangan matanya ke arah dua orang yang duduk beberapa bangku di depan kami. "Apa yang lo lakuin kalau orang yang lo suka udah punya orang lain di sisinya?"

Cowok itu terdiam selama beberapa saat sebelum menjawab. "Gue akan berusaha untuk melupakannya," jawabnya akhirnya.

"Kenapa?"

"Karena udah gak ada gunanya lagi untuk memikirkan seseorang yang jelas-jelas gak membalas perasaan lo, mikirin dia terus menerus malah buat lo jadi terpuruk."

Cewek itu terdiam mendengar penjelasan kakak kelasnya yang sekarang memasang wajah datar setelah menjawab pertanyaan itu. Apa dia marah?

"Kak Mario penah ngalamin hal yang sama?" tanyanya lagi.

"Enggak." Jawabnya langsung. "Gue gak pernah memaksakan diri untuk menyukai seseorang yang masih terikat perasaan dengan orang lain."

Citra kembali mengerutkan keningnya, merasakan sindiran lagi dibalik kata-katanya yang bernada
datar. Dengan cepat dia segera menolehkan kepala untuk mengeluarkan beberapa protes
yang sudah tertahan di lidahnya, ingin memancing perdebatan yang membuat dirinya teralih dari pemandangan yang tersaji dihadapannya, tapi dalam sekejap dia hanya bisa terdiam saat merasakan sesuatu yang lembab dan hangat sudah menempel erat di dahinya dan mengusapnya lembut.

Citra masih merasa beku di tempat saat akhirnya Mario menjauhkan wajahnya.

"Lo paham maksud ucapan gue?" tanyanya dengan raut wajah serius.

Citra terdiam selama beberapa saat, masih kaget dengan apa yang dilakukan cowok itu barusan. Salah satu tangannya terangkat untuk
menutupi mulut lalu mengangguk cepat, jantungnya terasa berdegup keras saat tangan Mario meraih tangannya yang terkepal di atas meja, menggenggamnya.

"Ayo balik."

Cewek itu kembali mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi membiarkan cowok itu membawanya keluar dari kafe kembali ke universitas.

Ini pasti mimpi.

.

.

.

.

.

"Jadi, lo jawab apa ke dia?" tanya Galih dengan mata yang berbinar. Saat ini dia dan Citra sedang berada di kamarnya, memulai acara menginap yang akhirnya kembali terlaksana akibat Citra yang
beberapa jam lalu mendatanginya dengan raut wajah shock di tengah kencannya bersama Saka.

Sebagai sahabat yang baik, Galih segera menyuruh Saka pulang dan menyambut cewek itu dengan tangan terbuka di rumahnya. Mereka saat ini sudah bersiap-siap untuk tidur, Citra menelungkup di kasur sambil memeluk bantalnya sedangkan Galih masih duduk dan melepas kunciran rambutnya agar bisa tidur nyaman.

Sebelumnya Citra sudah menjelaskan kronologi awal saat dia pertama kali bertemu dengan cowok itu, Galih sangat bersemangat untuk mendengarkannya.

Citra menggeleng pelan untuk menjawab. "Gak, gue belum jawab apa-apa ke dia," jawabnya membenamkan wajah ke bantal. "Lagipula gue juga gak terlalu ngerti sama maksud ucapannya sebelum dia cium."

"Mario nyium lo?" tanya Galih terkejut, tidak biasanya teman cowoknya itu bertindak agresif dengan melakukan tindakan berani di tempat umum. Mata Galih terlihat semakin berbinar-binar ketika dia ikut menelungkup di samping Citra, berkata dengan bersemangat. "Berarti dia serius, Tra!"

"Ya, karena itu–" Citra tiba-tiba menghentikan ucapannya, sepasang mata hitamnya tiba-tiba saja memandang sahabat baiknya itu dengan tatapan tajam. "Dari mana lo tahu namanya Mario?"

Galih terdiam, mulutnya terkatup rapat tanda bahwa dia tidak akan memberikan jawabannya.

"Gal?"

Gawat. Cewek berambut coklat itu menundukkan kepalanya dan mengarahkan manik matanya ke arah bed cover yang saat ini terlihat lebih menarik dari sebelumnya.

"Gal...." Citra tiba-tiba saja terasa dua kali lebih besar dari biasanya di sampingnya. "Jelasin ke gue. Sekarang."

Galih mengangkat wajahnya lalu memberikan Citra senyum terbaiknya, berusaha meluluhkan
hati sahabatnya itu untuk menganggap ketahuannya mengenai Mario hanyalah angin lalu.

Tapi tidak berhasil.

Kampret.

Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang lumayan buruk bagi Galih, mak comblang Mario dan Citra.

~*~

Fufufu, adakah yang minat vomment? *dibuang

Makasih yang sudah mau membaca sampai sini :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro