13. Love and Friendship

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dante tak terlihat kaget sama sekali ketika sore itu aku datang ke rumahnya. Surprise 'kan? Perlu seharian penuh untuk ngubek-ngubek ruang kesiswaan demi bisa mendapatkan alamatnya. And, thanks God, I found it...

"Kok kamu nggak kaget kalo aku ke sini?" tanyaku spontan.

Dante mengernyit.

"Emang kenapa aku mesti kaget?" ia ganti bertanya.

Aku terdiam. Iya juga sih, kenapa dia mesti kaget. Somplak gue!

"Lagian aku udah punya firasat kalo kamu bakal datang kemari," jawabnya seraya mengajakku keluar.

Ia tidak menyilakanku duduk di ruang tamu. Tapi mengajakku ke taman, di samping teras rumah. Rumah Dante tidak begitu besar. Tapi begitu nyaman, simple dan ... menenangkan. Dari info yang ku dapat, keluarga Dante baru membeli rumah ini sejak beberapa minggu yang lalu.

"Thanks karena sudah memuji rumahku. Tapi keluarga kami tidak membelinya. Rumah ini warisan dari nenekku, dan sekarang kami menempatinya kembali," ucap Dante enteng sambil terus ngeloyor menuju bangku taman.

Aku nyaris memekik. Sialan, dia 'kan bisa membaca pikiranku!

"Ada kepentingan apa kemari?" ia duduk di salah satu kursi yang terlihat tua tapi nyentrik. Aku menyeret kakiku dan duduk di kursi depannya. Tidak di depannya pas, kami terhalang oleh meja besar dari semen.

"Kamu 'kan bisa membaca pikiranku. Mestinya kamu sudah tahu maksud kedatanganku kemari," jawabku agak sewot.

"Emang," Dante menjawab enteng.

Aku nyaris menjambak rambutku sendiri karena kesal. Datang ke sini adalah bunuh diri!

"Kalo sudah tahu kenapa masih nanya?" aku makin sewot.

Tatapan Dante datar.

"Aku nggak bisa," jawabnya.

"Nggak bisa untuk apa?"

"Untuk permintaan tolongmu,"

"Jadi beneran kamu sudah tahu maksud kedatanganku kemari?"

Dante mengangguk dengan tenang. Wuiihh....

Sejak mengetahui 'kemampuan' Dante, aku jadi berpikir bahwa mungkin saja dia bisa membantuku dan juga membantu Leo untuk mencari tahu penyebab kematiannya. Dante punya kemampuan 'melihat' masa depan. Jadi mungkin saja ia bisa 'melihat' masa lalu Leo sekaligus bisa mengetahui penyebab kematiannya, hingga hantu keren itu bisa pergi dengan tenang. Jujur aku suka Leo di sisiku.Kami bersahabat, kami dekat. Ketika aku galau, ia membantuku. Ketika aku stres karena banyak tugas, ia juga membantuku. Kami mengobrol tentang banyak hal. Dan jika dia benar-benar pergi, aku pasti kehilangan dia.

Lagi.

Tapi, ia tak punya teman selain aku. Ia hantu yang kesepian. Dan aku tak tega melihatnya gentayangan terus seperti itu terus. Dia harus pergi dengan tenang...

"Kamu bener. Hantu dan manusia memang nggak bisa bersama selamanya. Alam kalian berbeda,"
"Eh?" aku mengernyit.

"Kamu menyukainya 'kan? Hantu itu," ia kembali menambahkan.

Aku melotot.

Sialan, datang ke sini benar-benar bunuh diri!

"Lalu kenapa kamu nggak bisa membantunya?" aku berusaha menahan kekesalanku.

Dante menarik nafas sesaat.

"Aku memang bisa melihat beberapa hal di masa depan, tapi tidak dengan masa lalu," ucapnya lagi.

Aku terdiam.

"Tapi ..." Kata-kata Dante terputus. "Mungkin aku bisa membantumu mencari tahu apa yang terjadi pada Leo beberapa tahun yang lalu. Itupun kalo kamu nggak risih berada di sisiku. Kita bisa sama-sama mencari tahu ke sekolah Leo dan menyelidiki siapa aja yang ikut pendakian dengannya," ia melanjutkan lagi.

Aku terdiam sesaat.

"Kenapa kamu mau membantuku?" tanyaku.

"Bukan membantumu, tapi membantu temanmu. Ingat, bukan kamu aja yang pernah punya teman hantu. Aku juga pernah, malah beberapa kali. Dan aku selalu membantu mereka untuk nggak gentayangan lagi," jawab Dante tenang.

"Kalo gitu, ayo kita berteman," ceplosku. Aku tak sanggup memikirkan sesuatu lebih lama di kepalaku, atau, Dante akan kembali membaca pikiranku.

Dante terdiam.

Ia menatapku, dalam.

"Kenapa kamu ingin berteman denganku?" ia bertanya.

"Karena aku nggak pernah takut padamu," jawabku, cepat.

"Bahkan jika aku bisa mengetahui apa yang kamu pikirkan?"

"Yup, bahkan jika kamu bisa membaca pikiranku, aku nggak takut padamu," jawabku lagi.

Dan di luar dugaan.

"Oke," itu jawaban Dante.

Dan, begitu saja. Kami sepakat bersahabat. Dengan cara yang hanya 'begitu saja'.

***

Leo tak berada di kamarku ketika aku sampai di rumah. Sebaliknya, Fifi yang ada di sana. Menungguiku di sofa yang biasa di duduki Leo, sambil mengutak-atik smartphone-nya.

"Hai, yang lain mana?" sapaku. Fifi tersenyum.

"Mereka di rumah Jihan," Jawabnya. Aku menaruh tas ku di laci lalu ikut duduk di sampingnya dengan santai.

"Ada sesuatu?" tanyaku langsung.

Fifi menatapku. Perlahan ia mengangguk.

Aku menegakkan punggungku. Mulai khawatir.

"Ada apa?" tanyaku.

Fifi terdiam sesaat.

"Ki, boleh aku nanya sesuatu?" ia terlihat ragu-ragu. Aku mengangguk.

"Mmm, jangan marah ya?"

Aku menggeleng.

"Apakah kamu dan Rangga punya hubungan yang lebih dari sahabat sebelum aku berpacaran dengannya?"

Aku membalas tatapan Fifi dengan bingung.

"Maksudnya?"

Fifi terdiam. Ia membuang pandangannya ke luar jendela, sesaat, lalu kembali menatapku. Tampak ia sedang mengatur kata-kata.

"Kamu menatapnya dengan cara yang berbeda, Ki. Begitu pula sebaliknya, Rangga juga menatapmu dengan cara yang berbeda. Cara yang aneh, unik, dan terkadang ... tak dapat ku pahami. Aku senantiasa memperhatikan interaksi di antara kalian. Dan kalian benar-benar ... dekat. Ia tak sungkan memelukmu, ia tak sungkan mencubit pipimu, mengacak-acak rambutmu, menyuapimu makan, bahkan terkadang, menggendongmu. Aku nggak bermaksud berburuk sangka padamu, Ki. Tapi, benarkah di antara kalian nggak ada apa-apa selain persahabatan?"

Ulu hatiku terasa di tonjok.

Aku terdiam.

Perlahan aku tersenyum, lalu menggeleng.

"Nggak ada apa-apa di antara kami selain persahabatan, Fi. Persahabatan di antara kami sudah terjalin sekian lama. Itulah kenapa interaksi di antara kami benar-benar sudah kayak saudara. Bukankah aku sudah pernah bilang padamu, dulu waktu kami masih SD, kami bahkan sering mandi bareng, ganti baju bareng, ia bahkan sering maen ke sini, di kamar ini. So, berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang ... nggak jelas. Energimu bisa terkuras sia-sia. Yakin deh, kami hanya bersahabat. Jika kamu keberatan dengan interaksi di antara kami, kami bisa menguranginya kok,"

Fifi menggeleng.

"Enggak, aku nggak bermaksud gitu, Ki," sergahnya.

"Ya udah, pokoknya yakin aja sama kami, Oke?" tegasku.

Fifi manggut-manggut.

"Tapi kamu nggak punya perasaan cinta padanya 'kan?" tanyanya langsung.

Ulu hatiku serasa di tonjok, dua kali!

"Dia mencintaimu, Fi," jawabku.

"Itu nggak menjawab pertanyaanku,"

Aku terkekeh.

"Bahkan jika aku memang mencintainya, apakah mungkin kamu akan membiarkanku merebutnya darimu?" aku terus terkekeh.

Fifi mengangkat bahu.

"Jika kita mencintai cowok yang sama, mungkin kita harus bersaing secara sehat, itu baru namanya adil," jawabnya.

Aku tergelak.

Kau yang menang. Kau sudah mendapatkan Rangga...

"Omong kosong. Rangga mencintaimu, Fi. Kamu juga mencintainya. So, apa masalahnya? Kalian tuh cocok satu sama lain. Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh. Cepet tua nanti," aku bangkit, sekedar merapikan tempat tidurku untuk mencari sesuatu yang .... menyibukkan diriku.

"Ya, kamu bener, Ki. Mungkin aku yang terlalu paranoid," jawabnya.

"Udah deh. Ntar sore ke Mall yuk, lama nih kita nggak hang out bareng?" aku mengalihkan pembicaraan.

Fifi tersenyum.

"Oke," jawabnya.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa seperti seorang pengkhianat....

***

Aku sedang duduk tercenung di depan meja belajarku dengan mata tertancap pada buku matematika yang halamannya tak berubah sejak 15 menit yang lalu, ketika sepasang tangan menutup mataku dari belakang. Aku sempat kaget.

Kehangatan tangan yang sama...

Aroma cologne yang sama...

"Rangga, berhenti deh maen-maen kayak gini," desisku.

Rangga terkikik. Aku berbalik dan menatapnya.

"Kok tahu sih kalo itu aku?" ucapnya seraya menghempaskan tubuhnya di tempat tidurku lalu mengutak-atik boneka Tazmania di sebelah bantalku.

"Iya tau aja," jawabku. "Masuk darimana? Kok tiba-tiba saja kayak hantu?" tanyaku.

"Tuh," Rangga menunjuk jendela kamarku yang telah terbuka.

"Kok aku nggak dengar?" tanyaku lagi.

"Kamu ngelamun terus sih," ia tampak sebal. Aku melirik jam di dinding.

"Ya ampun, ini udah jam 10 malam. Untuk apa kamu ke sini?" aku nyaris berteriak.

Rangga kembali mengangkat bahu, cuek.

"Aku nggak bisa tidur, Ki. Kulihat dari kamarku kalo lampu kamarmu masih nyala. Dan kalo lampunya masih lama, bisa dipastikan kamu masih terjaga. So, aku maen ke sini deh." Jawabnya.

Aku beranjak dan duduk di sofa dekat jendela.

"Rangga," Panggilku lirih.

"Hm?" Rangga memainkan boneka di tangannya.

"Aku mau ngomong sesuatu, serius,"

"Oke," Ia menjawab tanpa melihat ke arahku.

Aku kembali mengumpulkan keberanianku.

"Tolong jangan datang ke kamarku lagi," ucapku kemudian.

"Oke, mulai kapan?"

"Besok,"

"Sampai kapan?"

"Selamanya,"

Rangga tampak terpaku mendengar jawabanku. Raut mukanya terlihat kaget. Pemuda itu bangkit, duduk di ujung ranjang, lalu menatapku.

"Emang kenapa?" Ekspresi kaget tampak terlihat jelas di raut mukanya.

Aku menyandarkan punggungku ke sandaran sofa lalu menekuk kedua lututku hingga menyentuh dada dan perutku, lalu memeluknya.

Hening sesaat.

"Aku nggak enak sama Fifi, Ga," jawabku kemudian.

"Kenapa?"

"Dia pacarmu. Dan aku sahabatmu. Tapi, terkadang kamu memperlakukanku dengan berlebihan. Di depannya pun, kamu nggak sungkan untuk godain aku, mengkhawatirkanku, memelukku, mencubit pipiku, menggelitik aku, mengacak-acak rambutku, bahkan kadang-kadang menggendongku. Dan sekarang, kamu bahkan berada di kamarku di jam 10 malam. Bayangkan bagaimana perasaannya jika dia mengetahui semua ini,"

"Tapi kamu 'kan sahabatku, Ki,"

"Dan Fifi sahabatku dan juga pacarmu,"

"Lalu?"
Kami berpandangan. Hening sesaat.

"Aku nggak memintamu untuk memutuskan persahabatan kita, Ga. Sungguh bukan begitu. Hanya saja, terkadang interaksi kita memang berlebihan. Kita seperti sepasang kekasih padahal jelas-jelas bahwa Fifi lah pacarmu. Kamu memperlakukanku dengan begitu manis. Kamu bahkan mencurahkan perhatian yang berlebihan padaku. Sungguh, Ga. Aku nggak mau Fifi salah paham dan menganggap yang tidak-tidak tentang kita," Jelasku lagi.

"Maksudmu, karena aku berpacaran dengan Fifi, maka aku nggak bisa maen ke sini lagi, nggak bisa godain kamu lagi, nggak bisa merhatiin kamu lagi. Begitu?"

Aku mengangguk.

"Aku hanya ingin menjaga perasaan Fifi, Ga. Dia pasti terluka jika kamu memperlakukanku dengan berlebihan. Dan sepantasnyalah, kamu memperlakukanku dengan biasa. Tak ada perhatian, tak ada kontak fisik. Kita masih tetep bisa ngobrol 'kan?" ucapku lagi.

Rangga tampak mematung sesaat sebelum akhirnya ia bangkit, melangkah menuju jendela dan menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang dengan sesaat.

Pemuda itu berbalik, menatapku dengan dalam. kedua matanya yang bening indah seakan mengunciku.

"Aku nggak bisa, Ki," jawabnya kemudian.

"Aku nggak bisa menjauhimu, aku nggak bisa untuk berhenti memperhatikan dan mengkhawatirkanmu," lanjutnya.

"Mengapa?" suaraku terdengar lirih.

"Karena aku brengsek," jawab Rangga, ada luka di sana, di kedua mata indah itu.

"Aku brengsek, Ki," ia mengulangi kalimatnya.

Aku menunggu ia menyelesaikan kalimatnya, tanpa mampu bergerak sedikitpun.

"Aku brengsek karena mencintaimu sementara aku malah berpacaran dengan sahabatmu,"

Mencintaimu?

Aku tak salah dengar 'kan?

Aku.

Syok.

Kalimat itu meluncur dari bibir mungil Rangga dan segera membuatku membeku.

Hening lagi.

Aku tak mampu berkata-kata.

Dan Rangga hanya menatapku nyaris tanpa berkedip.

"Ketika bertemu Fifi, aku begitu terpesona padanya. Dia manis dan begitu menyenangkan hingga aku mengirabahwa aku jatuh cinta padanya. Tapi ternyata aku salah. Sejak aku resmi pindah kemari lagi, pesona Fifi mulai tak tentu arah bagiku. Sebaliknya, kamu-lah yang menyita seluruh perhatianku. Aku memikirkanmu hampir setiap detik. Aku mengkhawatirkanmu dan ingin memastikan bahwa kamu selalu baik-baik aja. Dan, aku senantiasa ingin di sampingmu, mengobrol denganmu, menghabiskan waktuku bersamamu. Entahlah, tapi dengan bersamamu, duniaku terasa ... lengkap. Sekarangaku sadar, Ki. Bukan Fifi yang aku cintai, melainkan kamu. Maaf jika aku terlambat menyadarinya..,"

Aku terpaku.

Rangga juga.

Kami berpandangan tanpa mampu bergerak.

Dia terlihat bingung.

Aku juga.

Dan, kami sama-sama tak tahu harus berkata apa.

***

30-08-2014

0.01

Wiwin W.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro