16. Farewell Kiss

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fifi menatapku dengan mata berkaca-kaca. Ada luka di sana. Tapi ia tahu bahwa aku juga merasakan hal yang sama. Terluka. Dan pedih.

"Oke, apa yang ingin kamu jelaskan?" Fifi berkata sambil mengatupkan giginya. Jelas bahwa ia sedang menahan amarah.

Aku menggeleng.

"Nggak ada... Nggak ada yang bisa ku jelaskan. Apa yang kamu lihat, itulah yang terjadi," jawabku lirih.

Tangis Fifi pecah. Ia sempat menutup mukanya dengan kedua tangannya. Dan aku membiarkannya. Membiarkan ia menangis selama sekian detik sampai tenang.

Setelah memergoki aku dan Rangga berciuman di kamarku, Fifi segera berlari meninggalkan kami. Aku segera mengejarnya. Bukan karena aku harus menjelaskan sesuatu padanya, tapi karena aku wajib mengejarnya. Karena dia adalah sahabatku, itu saja.

"Kenapa kamu lakukan ini padaku, Ki? Kalian berciuman, kamu menciumnya, pacarku," ia bergumam di sela-sela tangisnya.

Tenggorokanku kering.

"Sejak kapan kalian berhubungan di belakangku?"

"Aku tidak punya hubungan dengannya," ucapku tegas.

Fifi tersenyum sinis.

"Oh, yang benar aja? Kalian berciuman, pasti kalian punya hubungan khusus. Dan mungkin itu alasannya karena beberapa waktu yang lalu ia minta putus denganku,"

Ucapnya dengan amarah tertahan.

"Aku tidak punya hubungan apapun dengannya atau bahkan berselingkuh dengannya. Aku hanya akan minta maaf soal ciuman itu, tapi tidak dengan yang lainnya," aku nyaris berteriak frustasi.

Kami kembali bertatapan.

"Kamu mencintainya 'kan?"

"Ya," jawabku cepat.

Fifi tampak tertegun dengan jawabanku.

"Kalo begitu kenapa waktu itu kamu bohong padaku. Kamu bilang kamu tak mencintainya?"

"Karena aku ingin menjaga perasaanmu, karena kita bersahabat, itu saja," jawabku.

Fifi mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Ia membuang tatapan ke jalan raya sesaat sebelum kembali menatapku.

"Sejak kapan?"

"Sejak SD," jawabku lagi. Fifi tampak terpukul dengan jawabanku. Aku tak punya pilihan lagi, tak ada gunanya aku menyembunyikan semuanya.

"Aku mencintainya sejak kecil. Dan jika kamu mau tahu, dia adalah cinta pertamaku,"

Air mata Fifi kembali menitik. Dan aku tahu bahwa akupun mengalami hal yang sama karena pipiku pun telah basah oleh air mataku.

"Kenapa kamu nggak ngomong dari dulu, Ki?"

Aku terkekeh sinis.

"Kamu pengen aku ngomong kayak gimana, Fi? Semua terjadi dengan cepat. Rangga balik ke Indonesia, berkenalan denganmu, dan setelah itu kalian jadian. Kamu mau aku ngomong, 'helo, Fi, yang kamu pacari itu sahabatku sejak kecil dan cinta pertamaku', gitu?"

Fifi terduduk lemas di pot taman pinggir jalan. Akupun ikut duduk, tak jauh darinya. Sesaat tatapan kami mengarah ke orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan. Kami bersitegang tanpa menghiraukan mereka.

"Tetap saja yang kamu cium itu pacarku, Ki," ia kembali menggumam.

"Ya, aku tahu itu dan aku sudah mengaku bahwa aku salah. Aku sudah minta maaf. Dan aku hanya akan minta maaf untuk itu, bukan untuk yang lainnya," balasku.

"Bahkan meskipun kamu sudah merebut pacarku?"

"Aku tidak merebut dia darimu,"

"Tapi kemungkinannya, dia akan meninggalkanku demi dirimu, begitu 'kan?"

Aku menarik nafas panjang.

"Bahkan jika itu terjadi, bukankah kita sudah sepakat untuk bersaing secara sportif seandainya kita mencintai cowok yang sama? Jika memang begitu, harusnya kamu rela bila dia memilihku,sama seperti aku merelakannya ketika kau berpacaran dengannya," jawabku tegas.

Fifi menatapku dengan tajam. Ia bangkit.

"Oke, jika dia meninggalkanku demi dirimu, ambil saja. Dan persahabatan kita berakhir," ia beranjak, meninggalkanku dalam diam.

Dan aku tak berusaha mengejarnya lagi.

Ketika aku bangkit dan berniat melangkahkan kakiku kembali ke rumah, tampak Rangga tengah menungguku dan menatapku dengan tatapan sayu.

Aku melangkah mendekatinya.

"Selesaikanlah urusanmu dengannya. Setelah urusan kalian selesai, baru kita bicara," tanpa menunggu Rangga berkata-kata, aku meninggalkannya.

***

Kereta baru berangkat 15 menit lagi. Jadi aku memilih duduk-duduk sebentar di bangku yang berada di peron dan membiarkan Leo mondar-mandir di sekelilingku.

"Kamu yakin akan berangkat ke Jogja sekarang ini?" ia kembali bertanya dan aku juga kembali mengangguk.

Hantu itu berdiri sesaat di sampingku.

"Ki, kamu nggak harus memaksakan diri. Jika ... suasana hatimu ... masih kacau, kamu bisa menunda keberangkatanmu. Oke? Aku nggak keberatan menunggu lagi. Yang penting, kamu baik-baik aja dulu, ya?"

Kalimat Leo terdengar cemas. Aku mendongak dan balas menatapnya.

"Aku baik-baik aja. Urusanku dengan Rangga dan Fifi akan kuselesaikan nanti aja sepulang dari Jogja, oke," aku menegaskan dengan kalimat lirih agar orang-orang di sekitarku nggak mengira bahwa aku lagi ngomong sendiri.

Raut muka Leo tampak ingin protes lagi. Tapi aku segera menunjukkan jempol tanganku lalu memberinya isyarat dengan membuat lingkaran dari jempol dan jari telunjukku, yang menunjukkan bahwa aku baik-baik saja.

Aku kembali menyandarkan punggungku ke sandaran bangku dan menatap orang-orang yang berlalu lalang. Sebelum akhirnya pandangan mataku kembali tertuju pada 2 buah tiket kereta yang berada dalam genggaman tanganku yang lain.

Aku tersenyum miris. Tak dapat ku percaya aku membeli 2 tiket. Tadinya tiket itu kuperuntukkan untukku dan juga untuk Leo. Tapi sesaat aku lupa bahwa Leo adalah hantu. Dan dia tidak butuh tiket kereta. Haha, LOL!

"Kebetulan. Tiketnya buat aku aja," suara itu muncul bersamaan dengan adanya tas ransel yang mendarat begitu saja di dekat kakiku.

Aku menoleh. Dan sosok itu sudah duduk di sampingku. Kedua mataku mengerjap. Dante...

"Kok ... di sini?" tanyaku tanpa sadar. Dante menatapku dengan datar.

"Aku akan ikut kamu ke Jogja," jawabnya.

Aku menatapnya dengan bingung.

"Kok kamu tahu kalo ... aku akan ke Jogja?"

Dante menyipitkan matanya ke arahku seolah mengatakan 'gue cenayang, dan gue bisa baca pikiran loe, oke? Ada masalah?'

Aku nyengir. Rasanya seperti maling yang ketahuan sewaktu menjalankan aksinya.

"Jadiii, maksudnya nih, kamu mau pergi ke Jogja berduaan sama dia, gitu?" Dante menunjuk ke arah Leo dengan tatapan kesal.

"Dan kamu pikir, kalo sampek ada apa-apa sama kamu, makhluk ini -- " ia kembali menunjuk ke arah Leo,"-- bisa melindungimu, gitu?"

Aku tak menjawab.

"Sori, tapi aku meragukannya, seratus persen!" lanjut Dante lagi. Leo tampak sewot.

"Iya, iya, aku memang nggak bisa melindunginya andaikan aja dia dapat bahaya. Puas?" ucapnya dengan nada menyindir.

"Puas," jawab Dante pendek dan cuek.

Aku masih bengong. Menatap Dante dan Leo secara bergantian, lalu kembali menatap Dante lagi dengan was-was.

"Kamu membaca pikiranku lagi?" akhirnya aku menanyakannya.

"Enggak, anggap aja kita punya telepati yang bisa konek secara otomatis hingga aku bisa mengetahui isi hati kamu, begitu aja. Udah, nggak usah dibahas lagi," jawabnya sambil membuang tatapanya ke arah orang yang berlalu lalang.

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku merasa takjub.

"Kita ini ibarat satu tim, Ki. Mestinya kamu nggak berniat ke Jogja sendirian. Kan aku masih bisa bantu," ia protes tanpa menatap ke arahku.

"Sori, aku cuma nggak mau kamu..."

"Aku nggak akan tewas dengan kemampuanku, oke. Aku tahu kapan menggunakannya dan kapan harus menahannya. It's simple. Dan yang jelas, aku bisa menjaga diri, yuk," Dante bangkit. Meraih tas ranselnya ke punggung lalu beranjak. Langkahnya terhenti ketika ia menyadari bahwa aku masih mematung di tempat dudukku. Ia berbalik dan menghampiriku.

"Kelamaan deh kamu," ia meraih tanganku dan menarik tubuhku hingga aku bangkit.

"Iya, tunggu," aku meraih tas ranselku lalu berjalan di belakang Dante. Dan langkah kakiku berubah kaku ketika aku menyadari ia masih menggandeng tanganku hingga kami mencapai pintu kereta. Genggaman tangan Dante kuat dan ... hangat. Seketika perasaanku campur aduk. Antara kaget, takjub, malu, tertegun, entahlah, gak bisa lagi dijelaskan dengan kata-kata.

"Tunggu, Leo gimana?" tanyaku sambil menoleh ke belakang. Dan kulihat Leo masih ditempatnya semula.

"Dia 'kan hantu. Dia nggak perlu naik kereta. Dia bisa nyampek Jogja dengan ... terbang," jawab Dante, setengah bercanda. Aku ganti menatap Dante. "Oh ya?" dan ketika aku kembali menatap Leo, ia melambaikan tangannya ke arahku sambil berteriak. "Sampai ketemu di Jogja," Dan cling! Dia hilang ....

***

Setelah sampai di Jogja, aku segera menuju apartemen kak Jefry. Aku sudah tahu tempatnya karena sebelumnya Sonya pernah mangajakku ke sana.

Tadinya aku sempat mengira bahwa kedatangan kami ke sana dan pertemuan kami dengan kak Jefry akan berlangsung dramatis. Tapi ternyata tidak. Kak Jefry menyambut kedatangan kami dengan tangan terbuka.

"Sonya sudah menelponku. Dia bilang bahwa kamu bakal datang kemari. Masuklah," ia menyilakan kami masuk ke apartemennya. Aku melirik Dante yang ternyata juga tengah melirik ke arahku. Ia mengangguk. Dan akhirnya aku mengikuti kak Jefri. Pemuda itu tampak berbeda. Wajahnya kusut, matanya sayu, tampak ada lingkaran hitam di bawah matanya. Kelihatan kalau ia kelelahan dan kurang tidur. Sempat aku berpikir. Astaga, dia benar-benar beda dengan Leo meskipun mereka seumuran. Kak Jefri sudah kelihatan lebih tua, sementara Leo, masih seperti seumuran kami.

Aku dan Dante duduk di kursi yang berada dekat pintu keluar, sementara kak Jefry duduk di seberang kami. Mukanya pucat, tapi ia masih sempat tersenyum, beberapa kali.

"Apakah dia...." kalimat kak Jefry terhenti sesaat, "Leo," lanjutnya dengan terbata-bata. "Ikut kemari?" Pertanyaannya ragu-ragu.

"Sonya sudah menceritakan semuanya pada kak Jefry?" tanyaku.

Kak Jefry mengangguk pelan.

Aku melirik Leo yang berdiri dekat jendela. Hantu itu menggeleng.

"Tidak, kak. Dia tidak ikut kemari. Maksudku, belum," aku berbohong.

Kak Jefry manggut-manggut.

"Aku sudah siap, Ki. Apa yang ingin kamu ketahui dariku?" kak Jefry tampak pasrah.

Aku menggeleng.

"Bukan aku, kak. Leo-lah yang ingin tahu. Dia bilang, ia akan terus gentayangan jika ia tak tahu apa yang menyebabkan kematiannya," jawabku.

"Ya, Sonya sudah cerita semua,"

"Kak Jefri nggak menganggapku gila 'kan?"

Kak Jefry menggeleng.

"Aku percaya padamu. Karena cepat atau lambat, dengan cara apapun, hal ini tetap akan terbongkar," Jawabnya.

Aku membenahi posisiku dudukku.

"Jadi, sebenarnya apa yang terjadi antara kak Jefry dengan Leo beberapa tahun yang lalu? Apa yang menyebabkan Leo tewas?" tanyaku langsung.

Siku kak Jefry bertumpu pada pahanya. Beberapa kali tangannya mengacak-acak rambutnya dengan putus asa.

Aku melirik ke arah Dante, was-was saja jika ia sampai menggunakan kekuatannya untuk membaca pikiran kak Jefri. Tapi aku lega ketika menyaksikan tatapan matanya yang datar. Ia terlihat santai dan percaya bahwa kak Jefri akan mengakui perbuatannya tanpa ia harus campur tangan.

"Aku memang bersalah, Ki. Akulah yang menyebabkan ia tewas," ucapnya dengan suara gemetar. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Aku menelan ludah. Sumpah, bukan ini yang ingin aku dengar.

Leo tampak terpaku. Ia menatap kak Jefry nyaris tanpa berkedip.

"Akulah yang mendorongnya ke jurang," lanjutnya. Aku melorot lemas di kursiku.

"Kenapa kak?" tanyaku.

Ia menggleng-geleng dengan frustasi.

"Waktu itu aku masih muda, Ki. Aku egois. Aku begitu marah ketika cewek yang kucintai ternyata malah berpacaran dengannya. Aku membencinya. Karena itulah aku menyiapkan rencana itu sekian lama. Aku mengajaknya mendaki, dan ketika dia lengah, aku mendorongnya. Tubuhnya terjun ke jurang, menghantam bebatuan, dan ... ya Tuhan, Ki, aku benar-benar nggak percaya bahwa aku tega melakukannya. Aku benar-benar kejam," air mata kak Jefry menitik. Dan hatiku ikut sakit.

"Bertahun-tahun aku hidup dengan rasa bersalah ini, Ki. Aku benar-benar tersiksa. Aku sempat ingin mengakui perbuatanku dan menyerahkan diriku ke polisi, tapi nyaliku terlalu ciut. Aku memendam semua rahasia itu sendirian, dan jujur, aku sudah nggak kuat, Ki," kalimat kak Jefry terdengar bergetar.

"Makanya ketika Sonya menelponku dan menanyakan soal Leo, akhirnya aku sadar bahwa sudah waktunya bagiku untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku. Laporkan saja aku ke polisi. Aku tak keberatan," lanjutnya.

"Teman-teman kakak tak tahu?"

Ia menggeleng.

"Mereka tak tahu apa-apa,"

"Lalu kenapa pihak sekolah seperti menutup-nutupi khusus ini?"

"Karena mereka nggak mau nama sekolah tercemar dengan adanya berita bahwa salah satu siswa mereka tersesat di hutan dan tak dapat ditemukan. Itu saja," kak Jefry menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Aku melihat ke arah Leo. Dan ia tampak tertegun.

"Aku berharap ia ada di sini agar aku bisa meminta maaf secara langsung padanya," kak Jefry melanjutkan.

"Dia ada di sini kok, sejak tadi. Dia sudah mendengarkan semua pengakuan kak Jefry," ceplosku.

Kak Jefry terkesiap. Ia menatap ke sekeliling apartemennya.

"Benarkah kamu di sini, bro?" kak Jefry seperti bicara pada angin.

"Aku minta maaf, bro. Aku salah. Aku yang mencelakaimu. Aku akan bertanggung jawab dengan perbuatanku. Jadi, maafkanlah aku dan ... pergilah dengan tenang," air mata kak Jefry kembali menitik.

Aku menatap Leo yang masih berdiri laksana patung.

"Leo," panggilku lirih. Ia menoleh ke arahku.

"Cukup, Ki. Ini sudah cukup. Jangan diteruskan lagi. Sekarang aku sudah ingat semuanya. Yang penting bagiku adalah aku tahu penyebab kematianku, jadi bilang padanya bahwa aku memaafkannya dan ... aku tak mau ia berakhir di penjara," ucap Leo.

"Bagaimanapun juga dulu kami bersahabat, Ki," ia melanjutkan, getir.

Tatapan mataku kembali beradu dengan kak Jefry.

"Dia sudah memaafkanmu, kak. Tapi ia tak mau kau berakhir di penjara. Dia hanya butuh tahu apa yang menyebabkan kematiannya. Itu saja," jelasku.

Kedua mata kak Jefry mengerjap. Setengah tak percaya.

Aku mengangguk.

Memastikan itu padanya.

***

Ketika kami meninggalkan aparteman kak Jefry, lelaki itu masih nampak terpukul. Tampak jelas bahwa ia masih menyimpan rasa bersalah yang teramat dalam. Tapi, bukankah Leo sudah memaafkannya? Jadi, hanya butuh waktu saja baginya untuk benar-benar menjadikannya kenangan, lalu memulai hidup baru yang lebih baik.

Hari itu juga kami langsung cabut dari Jogja dan kembali pulang dengan kereta. Sepanjang perjalanan aku tertidur pulas karena kelelahan. Aku baru terbangun ketika Dante menyentuh pundakku dengan lembut dan mengatakan bahwa kami sudah sampai.

"Leo mana?" aku menatap sekelilingku ketika menyadari bahwa sosok hantu itu tak ku temui sejak dari apartemen kak Jefry, di stasiun, di kereta, lalu sampai sini, di peron stasiun lagi ...

"Tuh," sahut Dante pendek seraya menunjuk arah belakangku dengan dagunya. Aku berbalik dan sosok itu sudah ada di belakangku hanya dalam sekedipan mata.

"Kalian bicaralah dulu, aku akan membeli sesuatu," Dante beranjak meninggalkan kami seolah memberi waktu pada kami untuk berpamitan.

Berpamitan?

Astaga, hatiku berdesir memikirkanya...

"Jadi, kamu bener-bener akan pergi? Sekarang juga?" aku bertanya tak sabar.

Leo tersenyum dan mengangguk.

"Selamanya?"

Ia kembali mengangguk.

"Dengan tenang?"

Dan ia kembali mengangguk.

"Apa kita nggak akan bisa ketemu lagi?"

Leo tak menjawab. Ia menatapku dengan agak ragu.

"Mungkin sesekali aku akan mengunjungimu," jawabnya kemudian.

Kedua mataku melebar karena antusias.

"Oh ya? Kapan?"

"Mmm, mungkin ketika kamu menikah? Atau ketika kamu punya anak? Atau ketika kamu punya cucu? Atau ... ketika kamu sudah beranjak tua," jawabnya lagi.

"Janji?" tegasku.

Leo hanya tersenyum. Aku tahu ia takkan pernah bisa menjanjikan apa-apa.

"Kak Jefry bilang, kamu punya pacar ketika meninggal. Apa kamu tak ingin menemuinya? Mengetahui kabarnya?" tanyaku lagi.

Leo menggeleng, lagi.

"Nggak perlu, Ki. Dia masa lalu. Dan aku tak berhak lagi tahu tentang keadaannya. Toh itu nggak penting lagi bagiku, atau bahkan baginya," jawabnya.

Aku manggut-manggut.

Ku arahkan tatapanku ke ujung sepatuku yang kotor terkena debu.

Hening sesaat.

"Oh ya? Kamu nggak pamitan pada Dante?" aku mendongak dan menatapnya.

"Sudah," ucapnya.

"Kapan?"

"Ketika kamu ketiduran di kereta. Aku sudah berpamitan dengannya dan mengucapkan terima kasih padanya," lanjutnya.

Aku manggut-manggut.

Hening lagi.

"Ki, sebelum pergi. Ada yang harus ku beritahukan padamu," kembali Leo tampak ragu-ragu. Aku tersenyum kecut. "Oke," jawabku pendek.

"Sepertinya aku jatuh cinta padamu, Ki,"

Kalimat itu membuatku tertegun. Tadinya aku mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku di aspal, tapi kalimat yang meluncur dari bibir Leo membuat gerakan itu terhenti. Dan secara otomatis tatapan mataku beradu dengan mata Leo. Mata yang indah, bening, tapi ... tak hidup.

"Aku jatuh cinta padamu sejak kita bertemu dan tersesat di hutan. Perasaan ini jelas-jelas tak pantas kumiliki karena aku hanyalah makhluk yang tak hidup lagi. Tapi setidaknya, sebelum aku pergi, kamu tahu bahwa ... kamu punya penggemar dari alam lain," Leo bermaksud melucu, tapi aku tak mampu tersenyum.

"Aku sempat berpikir untuk mengurungkan niatku mencari tahu sebab kematianku agar aku bisa terus bergentayangan di sisimu, bersahabat denganmu. Tapi jelas itu tak diperbolehkan. Aku hantu, dan aku harus kembali ke tempatku, cepat atau lambat. Tapi semoga kamu nggak melupakanku, Ki,"

Bibirku kelu tanpa tahu harus mengucapkan apa.

Ah, andaikan Leo adalah cenayang seperti Dante, tentu ia akan tahu bahwa aku sempat mencintainya, walau sesaat, dan sempat juga merasakan patah hati untuk yang pertama kalinya...

"Aku juga menyayangimu, Leo," akhirnya aku mampu mengucapkan kalimat itu walau susah payah.

Leo tersenyum.

"Terima kasih," jawabnya.

Tiba-tiba ia membungkuk, lalu mengecup keningku.

Dan tubuhku seperti membeku. Aku merasakannya!

Bibirnya yang dingin, di keningku....

"That's the best thing that I can do, Ki," Ia berbisik.

"A farewell kiss," lanjutnya.

Tatapan kami kembali beradu. Aku merasakan kedua mataku basah.

"Selamat tinggal," ucapnya lirih.

Aku mengangguk dan tersenyum hambar.

"Selamat tinggal," balasku.

Perlahan sosok Leo memudar hingga akhirnya lenyap sama sekali.

Lagi-lagi ada yang terasa sakit di sini, di hati.

Aku menghembuskan nafas dengan maksud mengurangi rasa sakit itu.

Aku memang akan kehilangan sosok hantu keren itu.

Tapi setidaknya, aku lega karena dia sudah bisa pergi dengan tenang.

"Sudah?" Dante seperti berada di sisiku secara tiba-tiba. Aku mengucek-ucek kedua mataku lalu mengangguk.

"Butuh tisu?"

Aku menggeleng tanpa melihat ke arahnya.

"Aku sudah memanggil taksi untukmu,"

Aku mendongak.

"Taksi? 'Kan mahal?" protesku.

"Biar kamu bisa nyampek rumah dengan cepat. Kamu kelelahan," jawabnya.

"Tapi ..."

"Aku yang bayar. Udah deh nggak usah rewel, yuk," Dante beranjak. Aku mengekor di belakangnya dengan langkah berat.

"Kamu sendiri pulangnya gimana?" tanyaku.

"Aku bawa sepeda motor. Ada diparkiran. Akan ku ambil setelah aku nganterin kamu ke taksi," jawabnya.

Langkah Dante semakin cepat. Atau aku yang lambat?

"Kiki...?" Dante memanggil namaku dan berbalik dengan tiba-tiba ke arahku.

Aku ingin menjawab tapi lidahku terasa berat untuk digerakkan. Kakiku juga berat. Serasa membawa beban ratusan kilo.

Yang kuingat selanjutnya adalah, kepalaku nyaris saja menghantam pot di pinggir jalan jika saja Dante tak segera menangkap tubuhku yang limbung.

Aku ambruk.

Tak sadarkan diri.

Kelelahan luar biasa...

Lelah fisik dan mental!

***

11-09-2014

23.58

WW

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro