20. Connection

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhirnya, kami berempat kuliah di tempat yang sama. Seperti rencana semula, aku, Jihan dan Dante memantapkan diri untuk kuliah di kampus yang sudah kami idam-idamkan sejak es-em-a. Sebuah kampus terbesar di kota kami. Sementara Rangga, awalnya ia berniat mengambil beasiswa ke Universitas Indonesia, tapi karena sekarang ia pacarku, ia lebih memilih untuk mengikutiku. Dia bilang, dia akan lebih bahagia jika berada dekat dengan diriku. Romantis banget.

Kami mengambil fakultas yang berbeda. Jika aku dan Jihan tertarik untuk mengambil fakultas ekonomi, Rangga memilih fakultas hukum, sementara Dante, ia memilih berada di fakultas kedokteran.

Menyenangkan ketika lambat laun, kami mulai bisa membangun sebuah persahabatan baru antara kami berempat. Dan lebih menyenangkan lagi ketika hubungan Dante dan Rangga yang dulunya sempat dingin, kini sudah semakin membaik. Tidak akrab sih, tapi setidaknya, mereka sudah bisa saling mengobrol tanpa harus saling adu argumen.

Terkadang kami bahkan hang out berempat. Jalan-jalan ketika malam minggu, nonton film di bioskop bareng-bareng, atau bahkan sekedar nongkrong di alun-alun kota. Tidak bisa di sebut double date sih karena Jihan dan Dante kekeuh untuk tidak saling tertarik.Aku sempat terpikir untuk mencomblangi mereka, tapi Jihan berkoar bahwa, bahkan jika Dante adalah lelaki terakhir di muka bumi ini, dia tidak akan pernah bisa jatuh cinta padanya. Sementara Dante, seperti biasa, ia hanya akan menatapku dengan sorot mata yang seolah mengatakan : hentikan ide gilamu itu, selamanya!

Dante, kadang aku tak mengerti dengan dirinya. Aku bahkan sempat merasa bahwa kami sama-sama punya telepati. Selama kami kuliah, kami semakin sering berkomunikasi hanya dengan tatapan mata, walau hanya secara tak sengaja. Jelas ia bisa membaca isi hatiku, dan seolah-olah aku pun sekarang punya kemampuan untuk membaca isi hatinya. Karena itulah aku tak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan karena mengirimkan seorang sahabat yang unik dan baik seperti dia.

Aku rutin mengunjungi kak Jefry di penjara setiap sebulan sekali. Kadang di temani Jihan, kadang dengan Rangga, kadang juga di temani Dante. Kak Jefry tetap menyambut kedatanganku dengan ramah meski akulah orang yang telah menyebabkan ia di penjara. Tapi sungguh, ia tak punya dendam sama sekali denganku. Yang tetap ia tolak adalah, memberitahuku alamat Sonya yang baru. Ya, aku masih hilang kontak dengannya, sejak pertemuan kami terakhir kali di masa es-em-a. Dia sengaja menghindar dariku sehingga enggan untuk ditemukan. Itulah mengapa ia selalu mewanti-wanti pada kak Jefry agar tidak memberitahuku di mana ia tinggal sekarang.

"Tak perlu mencarinya, Ki. Dia sudah melanjutkan hidupnya dengan baik. Kamu juga, lanjutkanlah hidupmu dengan baik," itu yang selalu kak Jefry katakan jika aku menanyakan alamat Sonya dengannya. Mungkin dia memang masih marah padaku.

Aku juga belum dapat menemukan kembali keberadaan Fifi dan Olla. Mereka benar-benar hilang di telan bumi...

***

Rombongan pecinta alam kami sampai di kampus sekitar pukul 4 sore setelah menghabiskan 3 hari 2 malam melakukan pendakian ke gunung.

Dengan tas ransel yang berada di punggungku yang beratnya nyaris mencapai 10 kilo, aku turun dari kendaraan bak terbuka dengan susah payah. Ketika menapak tanah, kakiku seperti mau remuk berkeping-keping. Capek sekali.

Aku menatap ke penjuru parkiran. Mobil Rangga belum kelihatan.

"Belum di jemput Rangga, Ki?" tanya Yohan, ketua klub pecinta alam kami. Aku menggeleng.

"Mau pulang bareng aku? Kan kita searah,"tawarnya lagi. Aku tersenyum dan menggeleng.

"Nggak usah deh. Lagian aku masih ada kepentingan lain kok," jawabku. Yohan manggut-manggut seraya pamit undur diri duluan.

Aku melangkahkan kakiku melewati parkiran tersebut untuk selanjutnya menuju gedung yang berada di sebelahnya. Gedung fakultas kedokteran.

Firasatku mengatakan Dante masih ada di ruang praktek anak-anak FK. Karena memang begitulah kebiasannya.

Setelah menaiki tanggaaku segera menuju ruang praktek tersebut. Aku bersyukur karena ruangan itu terletak di lantai satu. Coba kalau ada di lantai 4 atau 5, aku pasti sudah jatuh pingsan di anak tangga.

Ketika sampai di ruangan tersebut, pintu tampak terbuka sedikit. Dan aku segera nyelonong masuk begitu saja, seperti kebiasaanku. Dan senyumku segera merekah ketika aku melihat Dante ada di sana, mengutak-atik beberapa peralatan medis sambil sesekali membaca sesuatu dari phonselnya.

"Baru pulang ya, Ki?" ia menyapa duluan, dengan tatapan tetap ke arah phonsel.

"Hm," jawabku pendek seraya melepaskan tas ranselku lalu menjatuhkannya ke sebelah pintu.

Dante mendongak.

"Kamu baik-baik saja? Belum di jemput Rangga?" ia bertanya.

Aku duduk di salah satu ranjang pasien.

"Aku nggak baik. Dan ya, Rangga belum menjemputku," jawabku.

Dante meletakkan alat yang sejak tadi ia utak-atik, mengambil phonsel untuk selanjutnya ia letakkan di sakunya, lalu beranjak mendekatiku.

"Oke, jadi di mana yang luka?" ia menebak.

Aku melepaskan jaketku hingga menyisakan t-shirt hitam tanpa lengan, lalu menunjukkan sebuah perban darurat di lengan atasku sebelah kanan.

"Aku mengalami kecelakaan kecil dan ini - tergores ranting," jawabku.

Dante menatap sekilas ke arah lukaku, lalu beranjak menuju lemari kecil berisi obat-obatan. Sesaat kemudian ia kembali dengan membawa pinset, perban baru dan juga obat-obatan.

"Luka ini sudah dua hari yang lalu 'kan?" ia bertanya sambil melepas perban di lenganku. Aku sempat meringis kesakitan, lalu mengangguk.

"Obat-obatan kami terbatas. Nggak infeksi 'kan?" aku bertanya.

Dante menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari luka tersebut.

"Aku bersyukur Rangga masih baik-baik saja sampek sekarang," gumamnya.

Aku mengernyit.

"Maksudnya?"

Dante tak segera menjawab karena terlalu serius membersihkan lukaku.

"Jika saja itu aku, punya pacar kayak kamu yang hobi banget mendaki, hobi banget menerjang bahaya, dan sering pulang dalam keadaan terluka, aku pasti sudah berkali-kali terkena serangan jantung karena mengkhawatirkanmu," jawabnya.

Aku tertawa.

"Kamu 'kan cenayang, nggak mungkin kena serangan jantung," jawabku. Dante mengangkat bahu.

"Setidaknya, kurangilah dulu hobimu untuk mendaki. Ingat, sebentar lagi kamu menikah, Ki. Jaga diri kamu baik-baik," Dante memperingatkan.

Aku kembali tertawa.

"Hellloooo, aku baru akan bertunangan, belum menikah, oke?" jawabku.

"Ya tetap saja bertunangan pasti ending-nya menikah,"

"Iya, tapi itu masih lama," jawabku.

Dante menatapku. Dan kembali dari tatapan itu, aku mengerti maksudnya.

Jangan banyak bicara. Diamlah sampai aku selesai merawat lukamu.

Aku kembali terkekeh.

"Siap, pak dokter," jawabku. Dan Dante segera melanjutkan pekerjaannya membersihkan dan merawat lukaku.

Ya, bulan depan, tiga bulan sebelum yudisium, aku dan Rangga memang sepakat untuk bertunangan. Bukan suatu keputusan yang terburu-buru mengingat kami belum lulus. Tapi, saat ini Rangga sudah mendapat pekerjaan paruh waktu di sebuah kantor advokasi sementara aku sendiri juga sudah punya penghasilan dari bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan periklanan. Itulah kenapa,tanpa proses yang bertele-tele, kami sepakat bertunangan. Kami sudah merancang sebuah pesta pertunangan yang sederhana yang dihadiri orang-orang terdekat saja. Dan setelah kami lulus dan mendapatkan pekerjaan tetap, barulah kami akan merencanakan tentang pernikahan. Dan sepertinya, itu masih lama. Setidaknya, dengan bertunangan dulu, kami serius untuk berkomitmen...

"Sudah selesai," Dante mengangguk lega. "Dan Rangga sudah ada di parkiran," lanjutnya sambil merapikan peralatan medisnya.

"Oh ya?" tanyaku. Cowok itu kembali mengangguk. Ia membantuku memakaikan jaketku dengan hati-hati.

"Segeralah ke sana. Sebelum dia bingung nyariin kamu kemana-mana," ucapnya lagi.

Aku mengangguk. "Oke," jawabku.

"Dan bilang padanya untuk menyetir dengan hati-hati," ucapnya lagi.

"Iya," jawabku pendek.

"Dan bilang juga padanya, jika dia ugal-ugalan di jalan raya, aku yang akan nganterin kamu pulang, oke?"

Aku tersenyum.

"Iya, iya, cerewet ah," ucapku lalu turun dari ranjang pasien, kemudian beranjak meraih tas ranselku. Aku sempat melemparkan senyum lagi ke arah Dante sebelum menutup pintu, lalu bergerak menuju parkiran untuk segera menemui Rangga, calon tunanganku.

***

Sore itu, sepulang dari kampus, Ronald mengunjungiku di rumah. Ah, aku lupa menceritakan soal Ronald, mantan pacar Olla itu. Sumpah deh, sekarang dia menjadi sosok yang berbeda. Kalau dulu Ronald terkenal cengeng dan anak mama, sekarang ia sudah menjadi sosok cowok yang bener-bener 'gentle'. Setamat es-em-a, ia melanjutkan pendidikan di akademi kepolisian, itulah yang menyebabkan ia berubah seratus persen.

Sekarang Ronald tinggi tegap, tegas, dan yang pasti – ia mahir judo. Aku bahkan sempat bilang padanya dengan nada bercanda bahwa karena ia sekarang mahir judo, ia bisa menjaga dirinya sendiri, sehingga nggak perlu lagi ngejar-ngejar aku. (Btw, ia masih kekeuh untuk mengejar-ngejar cintaku, hahaha..) Tapi eh dia malah bilang, kalo sekarang, ialah yang akan jagain aku. Tuh 'kan? Keras kepalanya nggak berubah.

Meski kami berjauhan, selama ini ia senantiasa menyempatkan diri untuk mengunjungiku di rumah ketika ia tak bertugas. Persahabatan kami masih langgeng. Kami juga masih sering berkomunikasi via email dan pesan singkat. Jujur, keberadaannya benar-benar membuatku seneng. Ronald pernah menjadi bagian hidup Olla, dan juga sahabat-sahabatku yang lain. Ia ada di sana, di kisah-kisah kami selama di es-em-a. Jadi keberadaannya seolah mengingatkanku bahwa, sahabat-sahabatku yang lain, Fifi dan Sonya pun - masih ada bersamaku...

"Aku menemukan Olla, Ki," ucapnya setelah aku menyodorkan sekotak kue dan segelas teh manis di depannya. Aku terkesiap.

"Sungguh? Dimana? Emang selama ini kamu masih nyariin dia ya?" tanyaku tak sabar.

Ronald menggeleng.

"Beberapa waktu yang lalu aku dan rekan-rekan ke Surabaya, urusan pekerjaan. Waktu makan siang di sebuah restoran, tanpa sengaja aku melihat Olla di sana. Ia ... membersihkan lantai," jawabnya tampak ragu.

Aku tertegun.

"Untungnya dia tak melihatku. Aku ingin menyapanya, tapi aku takut, jika ia sampai melihatku, ia pasti akan kabur. Lalu secara sembunyi-sembunyi aku mengikutinya selama beberapa hari. Dan aku menemukan tempat tinggalnya," Ronald mengeluarkan secarik kertas dari sakunya lalu menyodorkannya padaku.

"Temuilah dia, Ki. Keadaannya ... menyedihkan," gumamnya pelan.

Aku menerima secarik kertas tersebut dengan dada berdebar. Menyedihkan? Apa Olla baik-baik saja? Apa ia mengalami hal buruk? Pikiran itu segera menghantuiku tanpa mampu ku bendung.

***

Akhirnya aku menemukan rumah kontrakan itu setelah hampir setengah jam berputar-putar di perkampungan kumuh ini. Rumah? Itu lebih mirip kandang ayam. Hanya berbentuk kotak yang di bangun sembarangan di pinggir bantaran kali dan dari bahan-bahan kayu bekas. Keadaan rumah di sekitar tempat itu pun tak jauh berbeda.

Perutku terasa melilit seketika. Ini tidak mungkin. Olla tidak mungkin tinggal di tempat seperti ini. Ronald pasti salah!

"Kayaknya bener ini deh, Ki," suara Rangga di sampingku membuatku tersentak. Ia tengah menatap ke arah rumah itu dan juga ke secarik kertas di tangannya secara bergantian. Ketika pandanganku kembali terarah ke rumah itu, tampak pintu yang terlihat 'darurat' itu bergerak. Dan dengan secepat kilat, aku mendorong Rangga untuk bersembunyi di balik rumah yang lain.

"Kenapa kita harus sembunyi?" Rangga bertanya tak mengerti dengan suara lirih. Wajah kami hanya berjarak beberapa senti. Aku menggeleng takut. Cowok itu menatapku lembut.

"Kamu harus menghadapinya, Ki. Sepertinya itu memang dia," Rangga mengarahkan telunjuknya ke arah rumah tersebut. Aku menoleh perlahan. Dan tampak olehku, sesosok tubuh perempuan kurus tengah membuang bungkusan sampah di depan rumah.

Aku terpana.

Sosok itu terlihat ... ringkih dan rapuh. Rambutnya di tali ke belakang dengan berantakan, wajahnya yang tak tersapu make up tampak pucat. Aku nyaris memekik.

Perlahan aku bangkit dan beranjak mendekati sosok itu, tanpa ia sadari. Dan ketika jarak kami semakin dekat, aku memberanikan diri memanggil namanya.

"Olla..." panggilku.

Ia menoleh, ke arahku. Terdiam sesaat, lalu tersentak. Kedua matanya yang sayu melebar karena kaget. Dan segera air mata itu menitik dari sana.

"Kiki," ia memanggil.

Aku berlari ke arahnya, ia juga berlari ke arahku. Dan kami berpelukan sambil terisak.

***

Setelah sekian menit bertangis-tangisan, Olla menyilakan aku dan Rangga ke 'gubuk'nya. ya, ini benar-benar gubuk. Hanya ada satu ruangan. Ruang tamu, alas tidur, dapur, semua jadi satu.

"Maaf, beginilah adanya," jawab Olla sambil terkekeh. Tapi ia dengan bangga menunjukkan seorang balita yang tengah tertidur pulas di alas tidur yang terbuat dari kapuk yang sebenarnya sudah tak layak pakai.

"Namanya Daniel. Ia hampir lima tahun, lucu 'kan?" ia duduk di samping balita tersebut sambil mengelus keningnya. Aku juga beringsut duduk di dekatnya. Kupandangi wajah balita itu. Tampan. Tapi terlihat kurus.

"Dia tampan," gumamku. Olla tersenyum.

Kami kembali berpandangan.

"Maaf, aku cuma bisa ngasih air putih," ucapnya lagi sambil melihat ke arah Rangga yang duduk dengan kikuk. Aku menggeleng sambil meraih tangannya, lalu menggenggamnya erat.

"Kita masih sahabat 'kan, La," suaraku terdengar bergetar.

"Apapun itu, ceritalah padaku. Kita pasti bisa menghadapinya bersama. Ya?" lanjutku lagi. Olla menggigit bibirnya keras. Kedua matanya basah. Tak pelak lagi, kedua mataku juga basah.

"Ya beginilah, Ki. Seperti yang kamu lihat, hidup memang tak gampang. Kami telah melalui banyak hal. Aku dan Joe mati-matian mencari pekerjaan, tapi ternyata semua tak semudah yang kami bayangkan. Aku tak punya keahlian, Joe juga. Kamu tahu sendiri 'kan bahwa kami cuma punya ijasah SMP. Bahkan sekedar menjadi cleaning service-pun, susah. Belum lagi ...," kalimat Olla terhenti. Ia menelan ludah dan air matanya mengalir deras.

"Belum lagi, Joe mulai terlibat obat-obatan. Ia tak terkendali, kami sering bertengkar, dan ...,"

Aku menyentuh pipi Olla, ada luka memar di sana. Ia menggeleng dan menghalau tanganku dengan lembut.

"Dia yang melakukan ini?" aku memastikan. Ia tak menjawab.

"Orang teler memang sering bikin masalah. Pertengkaran suami istri, yaa.. begitulah," Olla tersenyum kecut. Tatapan matanya singgah ke balita mungilnya.

"Dia nggak pantas hidup seperti ini, Ki. Anakku tidak seharusnya hidup seperti ini," desisnya.

Ia menatapku dalam.

"Aku nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi? Aku ingin pulang, tapi orang tuaku pasti belum memaafkanku. Aku ingin minta bantuanmu, tapi aku nggak tahu bagaimana caranya..." isak tangis Olla tertahan. Bahunya terguncang. Aku memeluknya lembut.

"Ikutlah pulang bersamaku, La. Aku akan membawamu dari sini," ucapku, janji.

"Tapi Ki ..." kalimat Olla terhenti ketika seorang lelaki jangkung berpenampilan berantakan masuk ke dalam rumah. Joe.

Ia menatap kami silih berganti dengan tatapan tak suka. "Aku tidak menerima tamu. Pergilah kalian!" tiba-tiba ia berteriak.

"Sstt, kamu bisa membangunkan Daniel," Olla bangkit dan berusaha menenangkan Joe.

"Aku nggak peduli. Keluar kalian semua. Kalian hanya manusia-manusia munafik yang seneng melihat orang lain susah, ya 'kan?!"

"Joe!" Olla membentak.

Daniel menggeliat, membuka mata lalu mulai menangis. Olla segera beranjak ke arahnya lalu menggendongnya. Joe melangkah menuju lemari yang acak-acakkan, lalu membongkarnya dengan membabi buta.

"Apa yang kamu lakukan?" Olla kembali berteriak.

"Aku butuh uang," jawab Joe enteng. Olla bergerak menghalaunya tapi Joe menepisnya dengan kasar. Aku yang naik pitam segera beranjak mendekati lelaki itu lalu menarik bajunya.

"Kamu nggak pantes memperlakukan wanita kayak gitu!" aku memekik. Alhasil, Joe malah mendorong tubuhku hingga nyaris menabrak Olla yang tengah menggendong Daniel dengan tegang.

Rangga bergerak, menarik kerah baju Joe lalu memukulnya. Mereka terlibat baku hantam di ruangan yang sempit itu. Olla terisak, dan sesekali aku memekik ketika Joe berhasil memukul Rangga.

"Hentikan! Atau aku akan memanggil polisi!" aku mengancam. Tapi tak membuahkan hasil. Joe dan Rangga tetap terlibat pergumulan sengit.

Dan semua terjadi begitu saja, begitu cepat, tanpa bisa kucegah. Joe menarik sebuah pisau lipat dari saku jaketnya, lalu menghujamkannya ke perut Rangga. Lelaki yang kucintai itu ambruk bersimbah darah. Aku memekik.

Dan tiba-tiba saja pintu terhempas kembali, kali ini lebih keras, seperti terdorong angin kencang. Lalu pisau di tangan Joe terlempar begitu saja, di susul dengan sebuah kursi tua di sudut ruangan yang tiba-tiba saja melayang lalu terhempas ke arah Joe dan menghantam tubuhnya hingga lelaki itu ikut ambruk.

Reflek aku mengalihkan pandanganku ke arah pintu. Dan dia muncul dari sana.

Dante.

***

Dokter bergerak dengan sigap untuk menyelamatkan nyawa Rangga. Nyawanya tertolong. Bahkan bisa dikatakan baik-baik saja.

"Dia nggak apa-apa. Dia juga nggak melewati masa kritis kok. Mungkin 4 atau 5 hari, dia sudah diperbolehkan pulang. Jadi, berhentilah menangis,oke?" itu kata dokter setelah selesai mengobati Rangga. Aku, Olla dan Dante yang tengah menunggu di ruang tunggu menarik nafas lega.

"Apa saya boleh menemuinya dokter?" tanyaku dengan suara bergetar.

Dokter itu tersenyum.

"Boleh. Tapi dia masih tertidur. Sebaiknya tunggulah sekitar 1 jam lagi, oke?" ia menepuk pundakku lalu berlalu, setelah terlebih dulu tersenyum ke arah Dante. Itu pasti ucapan terima kasih karena sebelum di bawa ke rumah sakit ini, Dante telah terlebih dahulu memberikan pertolongan pertama pada luka Rangga hingga pendarahan yang ia alami tidak fatal.

Dante mendekatiku.

Dengan lembut, Ia menyelipkan beberapa untaian rambutku yang berantakan ke belakang telinga, lalu menghapus air mataku.

"Dengar sendiri 'kan apa yang dibilang dokter? Rangga nggak apa-apa. Dia akan segera sembuh. Lukanya nggak parah," ucapnya.

Aku mengangguk.

"Trims ya, Dan," balasku.

"Oke, aku akan meninggalkan kalian berdua. Jika butuh sesuatu, aku ada di kantin," Dante bergerak menyusuri lorong rumah sakit. Aku menatap Olla yang tengah duduk membisu di sudut kursi. Dan aku menghampirinya lalu duduk di sampingnya.

"Maaf ya, Ki. Aku bener-benar nggak nyangka semua akan seperti ini," suara Olla tampak lemah. Aku memeluk pundaknya.

"Rangga nggak apa-apa. Dia akan segera membaik. Aku sudah menelpon Jihan. Sebentar lagi dia akan nyampe sini, dia pasti senang bertemu denganmu," jawabku.

"Pulanglah bersama kami, La. Kami akan membantumu menemui orang tuamu untuk meminta maaf. Kamu nggak layak lagi hidup dengan Joe. Dia bukan lelaki yang baik. Kamu harus memikirkan Daniel, anakmu. Dia jauh lebih penting daripada lelaki itu," lanjutku. Olla mengangguk. Air matanya kembali menitik.

"Aku tak berniat membuat hidup Joe berakhir di penjara, La. Tapi ...," kalimatku terhenti. Ah, aku tak percaya bahwa aku akan melakukan ini lagi. Membuat hidup seseorang berakhir di penjara, lagi?

Setelah perkelahian di rumah kontrakan itu usai, aku benar-benar menelpon polisi untuk menceritakan segalanya. Tak butuh waktu lama dan juga proses yang berbelit-belit bagi mereka untuk membawa Joe atas tuduhan penyerangan terhadap Rangga, karena dari keterangan polisi, Joe juga sudah menjadi incaran para penyelidik karena kasus narkoba. Mereka sudah menemukan bukti-bukti bahwa Joe terlibat pengedaran ganja sekaligus pengguna. Sehingga, ada atau tidak kasus penusukan Rangga, Joe tetap akan di tangkap polisi, cepat atau lambat.

Olla menatapku sendu. Ia menggeleng.

"Bukan salahmu, Ki. Joe memang pantas menerimanya. Ia pantas di penjara karena dia toh juga bukan suami sekaligus ayah yang baik," ucapnya.

"Aku sudah mantap untuk bercerai dengannya. Itu lebih baik daripada hidupku dan juga hidup Daniel menderita," lanjutnya.

Aku memberinya pelukan. Kami saling menguatkan.

"Aku, Jihan, Rangga dan juga Dante pasti akan membantumu membuka lembaran hidup yang baru, La. Hidup yang baik untukmu dan juga Daniel," gumamku. Aku merasakan Olla mengangguk. Pasti.

***

Sesuai yang dijanjikannya, aku bisa menemukan Dante di kantin rumah sakit yang berada di lantai satu. Ia menatapku dan tatapan itu mengatakan : Aku tahu apa yang akan kamu tanyakan. Tapi tidak di sini. Kita keluar.

Aku mengangguk. Dante bangkit dari kursinya lalu beranjak, entah kemana, sementara aku terus mengekor di belakangnya.

Kami menaiki tangga beberapa kali dan aku tahu kemana tujuannya. Atap gedung.

Dante bersandar di pagar pembatas tanpa melihat ke arahku.

"Jadi, kamu punya kemampuan telekinesis sekarang?" tanyaku kemudian. Dante menarik nafas panjang lalu menatap langit yang mendung.

"Darimana kamu tahu?" ia bertanya.

Aku tertawa lirih.

"Dante, aku sudah sekian tahun menjadi sahabatmu. Dan aku tahu nyaris semua kekuatanmu. Dan yang barusan terjadi kemarin, itu berbeda. Kamu berada sekitar 100 meter dari Joe tapi tanpa menyentuhnya, pisau di tangannya terlempar. Dan kursi itu? tidak mungkin kursi itu terbang begitu saja ke arah Joe. Kamu pasti telah melakukannya. Menggerakannya dengan kekuatan pikiranmu lalu menghantamkanmu ke arahnya. Ya 'kan?" aku memastikan.

Dante tertawa lirih lalu menatapku. Tapi, tatapan matanya aneh. Terlihat hampa.... Aku sempat bingung dengan tatapan itu. Ada apa dengannya?

"Kamu pemerhati yang hebat," ucapnya kemudian.

"Sejak kapan kamu punya kemampuan itu?"

"Belum lama. Sekitar satu tahun ini. Tadinya aku tak menyadarinya. Tapi akhirnya aku tahu bahwa aku mampu menggerakkan sesuatu hanya dengan pikiranku," jawabnya tenang.

"Kereeen," ucapku tanpa sadar. Dante kembali terkekeh.

"Kamu mau melihatnya?" tiba-tiba ia memberi ide.

"Kamu mau menunjukkannya padaku?" aku antusias. Dante mengangguk.

Dan tak butuh waktu lama, Dante menggerakkan tangannya dan ajaib... bangku kosong dan rusak yang berada di sudut tiba-tiba bergerak lalu terangkat dengan perlahan. Aku takjub.

"Whoaa..." gumamku tanpa sadar, takjub.

"Oke, cukup itu saja," Dante kembali meletakkan bangku itu dengan perlahan. Lagi-lagi, tanpa menyentuhnya.

"Itu bener-bener hebat, Dan," ucapku lagi dengan antusiasme yang sama. Dante kembali tersenyum lembut. Lagi-lagi aku melihatnya. Bibirnya tersenyum, tapi tatapan matanya tampak hampa ...

"Ada masalah?" tanyaku jujur. Ia menggeleng.

"Kamu terlihat sedang memikirkan sesuatu," ucapku lagi. Dante terdiam sesaat.

"Sori ya, Ki. Aku nggak bisa datang lebih awal. Coba kalo aku datang lebih awal, Rangga pasti tak terluka," ucapnya kemudian. Aku menggeleng.

"Dante, kamu sudah melakukan yang terbaik. Rangga selamat. Dia akan baik-baik saja. Dan jujur aku nggak tahu harus bagaimana lagi mengucapkan terima kasih padamu. Pokoknya kamu bener-bener yang ... terbaik. Kamu selalu ada untuk membantuku, tanpa pamrih, tanpa syarat. Aku bahkan nggak tahu harus bagaimana lagimembalas semua kebaikanmu," tukasku.

"Tenanglah, toh 3 atau 4 hari lagi ia sudah boleh pulang. Kami tetap bisa melangsungkan pesta pertunangan kok, 'kan itu masih bulan depan," jawabku seraya menyenggol lengannya dengan bahuku. Ia tersenyum lagi. Tapi tatapan hampa di matanya tetap tak lenyap. Dan kali ini, aku benar-benar tak memahaminya.

Aku ikut bersandar di pagar pembatas.

Pandangan Dante menerawang ke langit mendung. Aku juga mengikutinya.

Hening sesaat.

"Sudahlah. Ayo kita turun." Ucap Dante kemudian seraya beranjak.

Sesaat sebelum ia mencapai anak tangga, aku memanggil namanya dengan lirih.

"Dante ...,"

Pemuda itu berhenti lalu menoleh ke arahku. "Hm," jawabnya pendek.

Aku menelan ludah.
Dan entah apa yang ada di otakku ketika kalimat itu meluncur dari bibirku.
"Jika saja aku punya dua hati, akan kuberikan satu kepadamu," desisku.

Dante tampak tertegun sesaat. Kedua matanya menyipit dengan indah, dan perlahan ia tersenyum kecut.

"Bahkan jika kau hanya memberi setengah dari hatimu, aku akan tetap menerimanya," jawabnya kemudian.

Kami berpandangan, dalam diam.

***

03-10-2014

10.23

Wiwin W.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro