Bagian 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dara mau nikah sama Pacar Dara, Ma. Namanya Saddam, Mama bisa ...."

"Nikah?"

Dara terdiam mendengar suara di seberang sana. Nada tak suka terdengar begitu jelas. Dara menarik napasnya pelan berusaha untuk tenang. "Iya, Ma. Udah minta restu ke Papa juga, tinggal ke Mama. Mama ...."

"Enggak."

Dara berhenti berbicara ketika mendengar jawaban dari Mamanya. Gadis itu menghela napasnya. "Kenapa?"

"Kamu itu masih muda, Dara. Lagian, bukannya kamu masih kuliah?"

Dara diam. Gadis itu memejamkan matanya kuat. Tangannya meremas ujung baju yang ia kenakan. "Ma ...."

"Mama pernah gagal, Ra. Enggak segampang itu."

"Saddam baik, Ma. Dara sama dia udah pacaran lama, lagian ... Papa juga udah kasih restu kok. Reza juga, dia percaya sama Saddam. Dara ...."

"Enggak menjamin, Dara. Yang waktu pacaran sayang, belum tentu setelah nikah sesayang itu juga. Kamu masih muda, pacar kamu juga, kan? Kenapa harus buru-buru? Kalian enggak lakuin hal macem-macem, kan?"

Dara memejamkan matanya. Gadis itu menggeleng walaupun dia tahu Mamanya tidak akan melihat. "Enggak, Ma. Saddam enggak sejahat itu. Ma, please ... Percaya sama Dara. Dara bukan Mama ataupun Papa, Dara bisa belajar dari pengalaman Mama sama Papa."

"Denger apa kata Mama. Enggak, kamu masih muda. Masa depan kamu masih panjang, Mama enggak mau lihat anak Mama ngalamin hal yang sama kayak Mama nantinya."

"Ma ... Kenapa Mama harus bilang kayak gitu, sih? Saddam minta restu ke Papa, emang karena dia bener-bener punya niat baik. Dara ataupun Saddam bukan kecelakaan, Ma. Dara enggak hamil."

Hening. Tak ada jawaban apapun di seberang sana. Dara memejamkan matanya lagi kala ia sadar dia salah berucap. "Ma ...."

"Enggak, Dar."

Tut

Sambungan terputus. Dara mengigit bibir bawahnya, risau.

Bagaimana cara Dara berbicara pada Saddam? Apa dia akan memperjuangkan Dara, atau memilih mundur karena Mamanya tak merestui perihal ini?

Iya, Dara tahu Mamanya pernah gagal. Dia hanya khawatir pada Dara, yang perlu ia lakukan adalah meyakinkan Mamanya bahwa Dara dan Saddam tidak akan meninggalkan satu sama lain setelah menikah nanti.

Tapi pertanyaannya, apakah Saddam mau berjuang bersama Dara untuk meyakinkan Mamanya? Atau justru malah memilih pergi?

Mengingat, ketika bersama Anara dulu, Saddam putus karena tidak mendapat restu. Saddam yang memilih mundur.

Jika iya Saddam mundur, apa Dara siap mejalani hari-harinya tanpa Saddam? Apalagi, mereka hampir setiap hari bersama.

"Gue harus gimana?" Dara memeluk kedua kakinya yang ditekuk dan menyembunyikan wajahnya di sana.

Gadis itu khawatir, dia takut. Dia takut Saddam pergi. Selama dua tahun ini, Saddam memberinya bahagia.

Selama itu juga, Saddam selalu bercerita tentang dirinya tanpa terkecuali. Jika Saddam mundur, apa Dara siap melihat Saddam menemukan pengganti dirinya, nanti?

Dara menatap nomor Saddam di ponselnya. Ia bimbang, haruskah ia memberi tahu ini pada Saddam sekarang?

Gadis itu mengusap air matanya. Dia tidak mau melihat raut sedih cowok itu. Dia sudah nampak bahagia kemarin sore karena Ragil memberinya restu.

"Reza," teriak Dara memanggil Reza.

"Apaan?" Balas Reza terdengar begitu samar. Sepertinya, dia tengah berada di lantai bawah.

Dara tidak menjawab. Namun, tak lama setelahnya suara langkah kaki terdengar mendekat ke kamar Dara.

Pintu terbuka menampakan Reza yang masih mengenakan sarung, baju koko dan juga peci. "Lho, Dar? Lo kenapa?" Reza berjalan mendekat.

Cowok itu duduk di tepi kasur dan menatap wajah Adiknya. "Dar?"

"Mama, Za." Dara langsung memeluk Reza dan menangis di bahu Abangnya itu.

Reza bingung, yang ia lakukan hanyalah membalas pelukan Dara dengan linglung. Tangannya mengusap punggung gadis itu dengan pelan. "Mama ... Mama lo? Kenapa?"

"Tadi gue telepon Mama. Dia takut gue gagal sama kayak Mama, Mama enggak setuju gue sama Saddam." Dara semakin terisak di bahu Reza.

Reza mengusap pelan rambut gadis itu. "Mama lo kan belum ketemu Saddam, Dar. Belum tahu juga Saddam gimana, kenapa enggak coba suruh Saddam telepon Mama lo?" tanya Reza.

"Mama enggak setuju, Za. Gue gak tahu harus bilang apa sama Saddam."

"Gue takut Saddam mundur," sambung Dara.

Oke, Reza paham, Dara sayang Saddam. Dara tidak mau kehilangan cowok itu.

"Saddam enggak akan mundur gitu aja, Dar. Percaya sama gue." Reza berusaha menenangkan.

Dara menggeleng. "Anara yang cantik aja, Saddam mundur waktu orang tua Anara enggak kasih restu. Apalagi gue, Za. Gue ...."

"Dara, gak usah bandingin hubungan Saddam Anara, sama hubungan lo sama Saddam. Beda, Saddam sayang banget sama lo. Kalau lo emang belum siap buat ngomong ke Saddam, gak usah maksain. Kalau udah siap, baru lo ngomong, bukannya lo sama Saddam enggak pernah saling simpen rahasia?"

Dara tak menjawab. Dia memilih mengeratkan pelukannya pada Reza dan menangis.

•••

"Iya, Bu. Katanya sih, Dara mau bilang dulu ke Mamanya. Mau atur pertemuan dulu sama Aa, nanti kalau udah fiks, baru Aa bawa Ibu ke sini. Ibu setuju, kan?"

"Kamu udah besar, Dam. Ibu yakin kamu lebih tahu ke mana kamu harus melangkah. Lagian, niat kamu kan baik. Ibu juga udah kenal Dara."

"Aa minta do'anya ya, Bu. Semoga Aa bisa secepatnya ketemu sama Mamanya Dara." Saddam tersenyum lebar mendengar jawaban positif dari Ibunya.

Dia berharap semuanya bisa berjalan dengan lancar. "Aa sayang Ibu. Jaga kesehatan ya, Bu. Makasih udah do'ain Aa sampai Aa bisa ada di posisi Aa sekarang."

"Iya, Ibu doain. Ibu juga sayang sama Adam. Adam juga di sana jaga kesehatan. Makasih juga ya Aa udah mau berjang buat Ibu, Selly sama Bella."

"Yaudah, Ibu titip salam buat Dara, ya. Kapan-kapan ajak Dara main ke sini lagi."

Saddam tersenyum semakin lebar. "Iya, Bu."

Setelah itu, Ibu memilih mengucapkan salam dan mengakhiri sambungan mereka.

Saddam menyandarkan punggungnya pada kasur. Ia menatap jam di dinding yang kini menunjukan pukul 7 pagi.

Kemudian, tangannya jari telunjuknya terulur mengusap lembut layar ponsel yang menampakan foto dirinya dan juga Dara. "Pacaran paling lama, eh, akhirnya nikah juga kita, Dar." Saddam terkekeh pelan.

•••

Tidak seperti hari-hari biasanya. Kali ini, Dara tidak fokus mengerjakan design pesanan konsumen. Gadis itu memijat kepalanya dengan pelan.

Penolakan Mamanya, dan juga kebahagiaan Saddam kemarin sore berputar bersahut-sahutan di kepalanya.

Setelah menangis di pelukan Reza tadi pagi, Dara memilih untuk berangkat ke toko untuk melupakan masalahnya sejenak, dan mengalihkannya pada pekerjaan sementara.

Tapi ternyata, tidak berhasil.

"Nih, kopi." Pandu meletakkan kopi susu di depan Dara.

Dara mendongak. Gadis itu tersenyum tipis dan memilih meraihnya. "Makasih."

"Lo kenapa sih, Dar? Muka lo kusut banget?" Pandu menyeruput kopinya seraya melirik ke layar laptop milik Dara.

Dara tak menjawab. Yang ia lakukan hanyalah menoleh ke kanan dan ke kiri. "Danu sama Tora mana, Du?" tanya Dara mengalihkan pembicaraan.

"Danu di rumahnya. Katanya nanti siang ke sini. Kalau Tora, dia dimarahin Bokapnya, kemarin malem di telepon. Dia kebanyakan bolos ngampus. Jadi ya tadi malem langsung pulang dijemput sama supir Bokapnya."

Pandu memicingkan matanya menatap Dara yang nampak tidak tertarik dengan pembahasan yang dia buat sendiri. "Lo ada masalah ya, Dar?"

"Namanya juga hidup, Du. Masalah ya ada aja."

"Enggak, ini tuh kayaknya jadi beban pikiran banget kelihatannya. Enggak biasanya muka lo kusut gini," jawab Pandu.

Saat Dara hendak menjawab, tiba-tiba sebuah mobil berwarna kuning berhenti tepat di depan toko. Dara tahu dia siapa.

Saddam. Orang yang sejak tadi Dara pikirkan.

Raut wajah Dara seketika berubah menjadi gelisah. Gadis itu melirik Pandu yang sepertinya sadar dengan perubahan yang Dara alami. "Lo diapain sama dia? Perlu gue hajar?" tanya Pandu.

Dara menahan lengan Pandu. "Enggak ada."

"Pagi, sayang. Udah sarapan?"

Pandu dan Dara langsung menatap ke arah Saddam yang baru saja meletakkan kresek berisikan makanan di meja.

Kemudian, mata Saddam memicing melihat tangan Dara yang memegang lengan Pandu. "Tuh, kan. Untung gue ke sini. Lo selingkuh ya sama dia? Kok mau, sih sama si Pandu, yang?" tanya Saddam.

Cowok itu langsung duduk di tengah-tengah Dara dan juga Pandu.

"Enak aja, biarpun gue belum pernah pacaran, gue juga enggak mau kali jadi selingkuhan!" Pandu menyahut.

"Halah, kalau dikasih modelan cewek gue, lo pasti doyan!" Saddam melotot ke arah Pandu.

Cowok itu langsung merangkul Dara seolah dia akan dicuri oleh Pandu.

Perlakuan Saddam begini, malah membuat Dara semakin khawatir. Bagaimana jika dia tidak merasakan ini lagi ketika Saddam tahu Mamanya tidak setuju?

"Yang, udah sarapan—"

"Gue mau ke dapur, bentar." Dara melepas rangkulan Saddam dan memilih beranjak.

Gadis itu langsung berjalan ke arah belakang meninggalkan Saddam yang kebingungan.

Dia sontak langsung menatap ke arah Pandu. "Dara kenapa?" tanya Saddam pada Pandu.

"Gak tau, gue. Tadi udah mau cerita, Lo sih pake datang segala. Aturan nanti aja datengnya!"

"Replay, bisa, gak? Gue balik lagi, gue datengnya nanti aja. Terus, nanti pas Dara udah cerita, lo kasih tahu gue... Gimana?" tanya Saddam ngaco.

Pandu mendelik. "Beneran geser otak lo, Dam."

Saddam memilih beranjak. Cowok itu memilih berjalan ke arah dapur untuk menemui Dara.

Gadis itu saat ini tengah berdiri di depan kompor. Namun, dia tidak melakukan apa-apa.

Saddam menghela napas pelan. Ia berjalan mendekat, kemudian, tangannya terulur memeluk Dara dari belakang. Dagunya ia simpan di bahu milik kekasihnya itu. "Kenapa? Ada masalah?" tanya Saddam lembut.

Saddam merasakan tubuh Dara tersentak ketika ia memeluknya. "Dam, gak enak sama Pandu." Dara berusaha melepas lingkaran tangan Saddam di perutnya.

Saddam merengek. Ia semakin mengeratkan pelukannya. "Dara kenapa, sih? Adam ada salah?" tanya Saddam.

"Dam ...."

"Kenapa enggak mau dirangkul? Sekarang juga. Kenapa enggak mau dipeluk?" Saddam mencebikkan bibirnya sedih.

Dara diam. Apa harus dia bicara pada Saddam sekarang? Pikirnya.

Dara masih diam berusaha berpikir. Saddam menatap Dara dari samping. Raut wajahnya ketara jelas bahwa ia khawatir Dara benar-benar marah karena dirinya melakukan kesalahan yang Saddam tidak sadar.

"Dara, ngomong, ih!"

"Kalau misalkan ...." Dara menarik napasnya. Gadis itu mengigit bibir bawahnya, bimbang.

"Apa? Jangan bilang lo minta putus. Enggak mau! Apaan, sih?" Saddam menyembunyikan wajahnya di bahu Dara.

"Kalau misalkan Mama enggak setuju sama niat baik lo kemarin, gimana, Dam?"

Pertanyaan Dara sontak membuat Saddam melepas pelukannya. Ia menatap punggung Dara dengan perasaan yang tiba-tiba saja kacau.

Tangannya terkepal di sisi jahitan. "K-kan belum ketemu, Dar. Kenapa ngomong kayak gitu?"

"Gue tanya, gimana, Dam? Gue nggak minta pertanyaan lo."

"Gue .... " Saddam mengendurkan kepalan tangannya.

Ia memejamkan matanya kuat. Dadanya tiba-tiba saja terasa memanas. Jantungnya berdebar, takut. Pertanyaan Dara yang katanya hanya misalkan ini, entah kenapa terasa nyata bagi Saddam.

Ia rasa, Mamanya Dara memang benar tidak setuju. Berusaha berpikir positif, pun, melihat raut wajah Dara yang tidak biasanya begini malah membuatnya menjadi negatif thingking.

"Lo gak akan mundur gitu aja kan, Dam?" tanya Dara.

"Lo mau berjuang buat bikin Mama percaya kan, Dam?"

Saddam masih diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Mengapa ini harus terjadi lagi? Setelah Anara, sekarang Dara?

"Dar .... "

"Jawab, Dam. Please."

"Gue gak tahu, Dar. Gue harus gimana?" Saddam terkekeh hambar. Cowok itu mengacak rambutnya.

Melihat Dara yang tak kunjung menatapnya, Saddam kembali memeluk gadis itu. Tak lama, tangis Dara pecah.

Dara menangis di depannya. Dan ini menyakiti Saddam. Saddam tidak suka melihat Dara begini. "Jangan nangis, Dara. Hati gue sakit banget."

"Lo gak akan mundur kan, Dam?" tanya Dara bergetar.

"Iya, enggak. Enggak sayang, enggak." Saddam membalikan tubuh Dara agar menghadap ke arahnya.

Diusapnya punggung gadis itu, kemudian bibirnya mengecup puncak kepala Dara berkali-kali berusaha menenangkan Dara.

"Gue masih punya Papa Ragil, Mama Ayu, Reza, sama Zara yang dukung gue, Dar. Gue udah janji sama mereka buat enggak sakitin, lo. Bukannya kalau gue mundur, itu artinya gue ingkar janji?"

"Dam ...."

"Kita berjuang sama-sama, ya." Saddam memotong ucapan Dara.

TBC

Perasaannya setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Saddam

Dara

Reza

Pandu

Mamanya Dara

Spam next di sini, dong!

Follow Instagram Octaviany_indah, juga, ya!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro