Bagian 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saddam sedaritadi tidak melepas genggaman tangannya pada tangan Dara. Mamanya Dara sudah pamit pulang. Danu, Pandu, Tora, dan juga Melly juga memilih untuk pulang dan akan kembali lagi nanti.

Sedangkan di sini, hanya ada Saddam, Reza, Mama Ayu, Zara dan juga Selly.

"Dar, besok gue ke Bandung, gak papa ya?"

"Kenapa gue harus larang?" tanya Dara heran.

Saddam mengerucutkan bibirnya. "Ya kan siapa tau lo mau gue temenin sampai sembuh, gitu ...."

Dara terkekeh pelan. Ia menggeleng. "Lo kan ke Bandung ketemu Ibu. Masa iya gue larang, sih?"

"Iya, sekalian nganter Selly pulang. Gue di sana kayaknya nginep buat persiapan lamaran ke rumah lo, Dar." Saddam tersenyum lebar bak anak kecil yang akan segera membeli sesuatu yang dia inginkan.

Dara mengerutkan alisnya. "Enggak usah bawa apa-apa, Dam. Lo bawa Ibu, Bella, sama Selly buat ketemu Papa doang juga gue udah seneng banget."

"Ya kan biar spesial, Dar. Buat simbol juga kalau lo udah terikat sama gue. Gue kan mau kasih yang terbaik buat lo. Lo kok gitu, sih." Saddam merajuk.

Dara menghela napasnya. "Terserah, deh. Tapi kita lamaran langsung tentuin tanggal nikah, ya. Gue enggak mau pake acara tunangan-tunangan."

"Terus, gue juga maunya nikahan kita ... Biar keluarga aja yang Dateng buat jadi saksi. Enggak usah ada resepsi. Sayang uang. Mending uangnya lo kasih ke Ibu aja," sambung Dara.

Saddam kira ... Dara akan meminta konsep pernikahan yang mewah. Ternyata tidak. Padahal, jika Dara mintapun ya Saddam siap memenuhinya.

"Dar? Masa enggak ada resepsi, sih? Ini sekali seumur hidup, lho. Gue mau Lo tuh inget sampai kita tua nanti, gitu. Masa ...."

"Dam ... Jangan ada resepsi, ya?" Dara menatap Saddam dengan tatapan memohon.

Saddam berdecak pelan. "Heran gue, Dar. Heran! Orang mah nikahan pada mewah-mewah, ini mah enggak mau. Emang lo mau orang-orang nyangkanya kita nikah gara-gara hamil duluan?"

"Tapi kan gue enggak hamil duluan."

"Enggak ada, ya. Gue tetep mau resepsi," tekan Saddam.

Dara menatap Saddam kesal. Menyadari itu, Saddam beralih mengusap pipi Dara lembut. "Dara, gue udah berharap ini dari lama. Gue pengen kasih yang terbaik buat lo, mau ya?"

"Terserah!" Dara menarik tangannya dari genggaman Saddam.

Saddam menghela napas pelan. "Dara, ih! Resepsi doang."

"Oke, tapi gue enggak mau yang mewah-mewah apalagi sampai undang wartawan. Hambur-hamburin uang tahu, gak? Orang lain di luaran sana nyari makan susah, tau!"

Ah ... Menggemaskan sekali kekasihnya ini. Saddam hendak memeluk Dara. Namun, deheman kencang dari Reza sontak membuat gerakan Saddam terhenti.

Dia menoleh dan menggaruk tengkuknya. "Iya, Za. Enggak jadi."

Ayu tertawa. Wanita itu beranjak dengan Zara digendongannya. "Dara, Mama pulang gak papa, ya? Kasihan Zara soalnya. Nanti malem Papa ke sini, kok."

"Iya, Ma. Hati-hati di jalan. Kalau Papa hari ini pulang malem, jangan maksain ke sini. Temen-temen Dara juga nanti pada balik lagi kok, Ma."

Ayu mengangguk ia lantas mengusap puncak kepala Dara lembut. "Cepet sehat ya, sayang. Kalau gitu, Dam, Mama nitip Dara."

Ia melirik Reza kemudian berbisik pada Saddam. "Jangan macem-macem, nanti Reza ngamuk."

Saddam terkekeh pelan. Ia mengangguk menanggapi.

"Kalau gitu gue anter Mama dulu. Nanti malem gue balik lagi, awas lo, Dam! Macem-macem, kesempatan terakhir lo gue bakar."

•••

Satu jam setelah kepergian Reza, Ayu, dan Zara, kini Dara hanya bertiga bersama Reza dan Selly.

Selly tertidur di sofa. Sepertinya dia kelelahan. Padahal, Dara sudah menyuruh Saddam untuk mengantar Selly dulu. Tapi Saddam bilang tidak apa-apa.

Pintu ruangan Dara terbuka. Dara sontak mencengkal erat lengan Saddam seolah Saddam akan diambil oleh orang lain.

Di sana, Langit dan juga Anara. Mereka mengenakan masker dan juga jaket.

Keduanya masuk ke dalam. "Dar, maaf ya gue baru jenguk. Asli gue padat banget sekarang," ujar Langit.

Dara mengangguk. Matanya menatap ke arah Anara yang kini sudah melepas maskernya. "Gue ke sini karena nebeng Langit, Dar. Mobil gue masih di bengkel, eh iya, Dam. Makasih ya kemarin udah anterin gue."

Saddam memicingkan matanya menatap Anara. Dara semakin mengeratkan pegangannya.

"Oh iya, kemarin Bella DM gue lho, Dam. Mau lihat gak? Dia ngomen insta story' gue. Yang foto bareng-bareng sama yang lain kemarin." Anara meraih ponselnya di saku celana.

Namun, Langit langsung merampasnya dan ia simpan di saku celananya.

"Lang!"

"Tujuan kita ke sini buat nengok Dara. Bukan buat ajang lo manas-manasin Dara ya, Nar!" Langit menatap Anara tajam.

Saddam mengusap puncak kepala Dara dengan lembut seolah menenangkannya. Untungnya, Langit bukanlah tipe mantan yang sama seperti Anara.

"Gue sama Saddam mau nikah. Lo enggak usah banyak berharap deh sama cowok gue." Dara membuka suara, wajahnya memerah seakan menahan amarah.

Saddam tersenyum tipis. Hatinya berdebar ketika Dara mengatakan itu. Jadi ... Begini rasanya ketika Dara posesif padanya?

Dia lantas memeluk Dara dan menyatukan pipinya dengan pipi Dara dengan gemas. "Aaahh ... Posesif banget sih pacar guee ...."

Langit melirik Anara. Alis Anara terangkat melihat mereka. "Yakin lo bakal nikah sama Saddam? Kemarin Bella DM gue, dia bilang dia lebih setuju kalau Saddam sama gue."

"Iya sih, Bella setujunya lo sama Saddam. Pertanyaannya, cowok guenya mau enggak sama lo?"

"Terus ... Kok lo maksa banget, ya? Lagian, bukannya orang tua lo yang derajatnya tinggi itu ... Enggak mau punya menantu tampang preman kayak cowok gue, ya?" Dara membalas tatapan Anara tak kalah tajam.

Anara mengepalkan tangannya. "Lo tuh emang enggak sadar atau gimana sih, Dar? Gak tau diri tahu, gak. Udah mah dulu temenan sama gue sambil pansos, mana rebut Saddam lagi. Padahal Lo tahu kalau Saddam itu mantan gue!"

"Nah, mantan! Gue rebut Saddam dari mananya?" tanya Dara.

"Oh, pansos, ya? Ngapain gue pansos? Kalau gue mau pansos, kenapa gue enggak pansos ke Langit aja? Saat itu kan, Langit masih jadi pacar gue?"

Saddam mencebikkan bibirnya sebal mendengar Dara mengakui Langit pacarnya. Iya, pacarnya dulu. Bukan sekarang! Kalau sekarang Saddam!

Perlu diingatkan, Saddam calon suaminya Dara!

"Gak nyangka sih gue sama lo, Nar. Padahal dulu lo orangnya enggak kayak gini. Penggemar Lo pasti kecewa kalau tahu sifat idolanya udah berubah 180 derajat begini."

Langit menatap Dara. Dia masih sama seperti Dara yang dulu. Apapun yang dia bicarakan, pasti akan membuat lawan bicara diam seribu bahasa.

"Udah, ah! Ngapain sih rebutin gue?!" Saddam menatap Dara dan Anara secara bergantian.

"Biar adil nih, ya. Lo masa lalu gue, lo masa depan gue. Udah, gitu aja. Enggak usah debat!" Saddam menujuk Anara dan Dara secara bergantian.

Anara mengepalkan tangannya. "Dam,  kalau lo nekat nikah sama Dara ... Gue bakal sebar ke semua orang kalau Adik Seorang Saddam Alfarizi hamil di luar nikah!!"

Saddam sontak menatap Anara. Saat dia akan maju, Dara menahan tangan Saddam.

Lantas, tatapan menantang Dara layangkan pada Anara. "Boleh, sebarin aja. Selain nambah dosa karena udah sebar aib orang, Bella juga bakal tahu kalau seorang Kakak ipar yang dia idamkan enggak sebaik yang dia kira. Dan lagi, lo bisa dituntut sama Saddam atas dasar pencemaran nama baik."

"Iya sih, duit lo banyak. Lo bisa beresin semuanya pake duit. Tapi gue yakin lo bakal viral nantinya, nama lo jelek, deh."

Anara mati kutu. Dia lantas berdecak kesal.

"Lo tuh masih anak 19 tahun, Nar. Masa depan Lo masih panjang banget. Ngapain lo ngejar-ngejar om-Om kaya si Saddam?" tanya Dara.

Saddam mencebikkan bibirnya sebal. Masa iya dia disamakan degan Om-Om.

"Gue tunggu di mobil!" Anara melirik Langit dan memilih pergi meninggalkan ruangan.

Langit menghela napas pelan. "Emang udah eror itu orang. Gak usah dianggap, biasalah masih remaja. Masih bocah labil," kata Langit.

"Selamat ya, semoga lancar segala urusannya. Gue doain semoga kalian langgeng sampai tua, deh. Aamiin ...."

Saddam tertawa pelan, "Lo dendam gak nih mantan lo gue nikahin?" tanya Saddam.

"Enggaklah, ngapain dendam. Gue sama Dara pisah juga gara-gara ulah gue sendiri. Ya inilah resikonya. Lagian kita putus udah lama banget ya, Dar?" kata Langit.

Dara mengangguk. "Iya."

"Tapi kalau mau balikan lagi, ayo, sih. Gue masih jomblo, kok."

"Maju sia kadieu!" Saddam mengepalkan tangannya seraya melotot ke arah Langit.

(maju Lo ke sini!)

Langit mengangkat kedua jarinya. "Bercanda gue, Dam."

"Yaudah ya, gue niatnya mampir doang. Semoga cepet sembuh ya, Dar. Nih, gue beliin buah tadi, tapi cuman mangga doang. Mana mangga muda, dikresekin pula. Simpen ajalah, siapa tahu pas lo hamil ngidam ini." Langit memberikannya pada Saddam.

Saddam berdecak kesal. "Emang enggak pernah bener otak lo, Lang. Sama kayak si trio Dugong."

Dara dan Langit tertawa. "Makasih ya, Lang."

"Iya. Udah ya, DADAH!" Langit langsung melangkah pergi meninggalkan ruangan.

Saddam tersenyum ke arah Dara. "Cie ... dara sama cowoknya mau nikah, cie ...." Saddam mencubit gemas hidung Dara.

Dara menepisnya kesal. "Lagian, si Anara ngeselin banget. Udah tahu gue masih kesel gara-gara kejadian kemarin. Tapi kalau kemarin enggak kejadian, kayaknya Mama belum restuin kita sekarang. Gue bagusnya marah atau bersyukur sih, Dam?" Dara mengerjapkan matanya menatap Saddam bingung.

"Bagusnya lo jangan mikirin orang lain selain gue. Soal kejadian Anara kemarin ... Mau gue jelasin gak?" tanya Saddam karena merasa dirinya belum menjelaskan.

Dara menggeleng. "Enggak usah. Takutnya malah kitanya berantem lagi. Udah selesai jugalah, kita udah baikan ini."

"Akhirnya cewek gue balik lagi kayak dulu. Enggak cengeng-cengeng lagi." Saddam mencubit pipi Dara dengan gemas.

"Ah, sakit!" Dara memukul lengan Saddam kencang.

"Perban gue kesenggol, Saddam!" Dara melotot kala Saddam seolah tak paham dengan apa yang Dara ucapkan.

Saddam sontak beranjak. "Enggak akan amnesia kan, Dar?"

TBC

Nih, malem ....

Gimana kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Saddam

Dara

Langit

Anara

Reza

Spam next di sini yuk!

Kalau misalkan cerita Langit Dara terbit, kalian mau beli gak?

Jangan lupa follow Instagram RP, ya! List ada di part sebelum sebelum sebelumnya !!!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro