Bagian 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini, sekitar jam 10 pagi, Saddam sudah berada di toko perhiasan bersama Ibunya dan juga Selly.

Dia terlihat memilih-milih cincin untuk ia berikan pada Dara besok. "Bagus yang mana, Sel?" tanya Saddam memperlihatkan dua cincin yang ia pegang.

"Yang ini, A. Iya kan, Bu?" Selly menatap Euis.

Euis mengangguk setuju. Saddam akhirnya memberikan kedua cincin itu ke penjaganya kembali. "Yang modelan kayak gini ya, Mas. Terus sekalian sama kotaknya juga ya."

"Buat tunangan ya, Mas?" tanya si penjaga toko seraya menyiapkan pesanan Saddam.

Saddam tertawa pelan. "Iya bisa dibilang gitu, Mas."

"Enggak sekalian buat Masnya juga?"

"Eh, iya juga ya. Boleh deh, Mas."

Si penjaga itu tersenyum dan langsung mengukur ukuran jari Saddam. Setelah dapat, dia langsung mencarinya.

Ketika mereka tengah menunggu, tiba-tiba saja ada seorang wartawan menegur Saddam.

Saddam sontak berbalik.

"Mas Saddam, ya? Boleh minta waktunya sebentar?"

Saddam melirik ke arah Selly dan Ibunya meminta persetujuan. Merasa disetujui, Saddam akhirnya mengangguk. "Boleh, Mas."

"Masnya lagi apa, nih di toko perhiasan kalau boleh tahu?"

"Beli cincin, Mas."

Senyum menggoda tercetak di bibir wartawan itu. "Wah, buat siapa, nih? Buat Mbak Dara ya, Mas? Dalam rangka apa nih, lamaran?" tanyanya sedikit bergurau.

Saddam tertawa. "Doain aja."

"Tapi Mas, boleh minta klarifikasinya soal ... Kan kemarin sempet heboh tuh berita soal Mas Saddam anter Mbak Anara ke lokasi. Terus banyak yang nyangka juga Mas Saddam sama Anara balikan, itu bener, Mas?"

Saddam menggeleng. "Enggak bener. Gue emang anter Anara. Itupun karena ketemu di jalan, mobilnya mogok. Masa iya orang butuh bantuan gue cuek bebek kan, enggak mungkin."

"Yasudah, terimakasih untuk waktunya, Mas. Semoga lamarannya lancar, ya."

"Aamiin, makasih."

Setelahnya, mereka pergi. Saddam tersenyum, ia menatap ke arah Ibunya yang kini ikut tersenyum juga. "Kamu ternyata udah besar ya, Dam. Rasanya baru kemarin Ibu marahin kamu gara-gara pakai tato waktu masih SMA."

Saddam menggaruk tengkuknya merasa malu. Saat SMA dulu dirinya memang bandel, tapi biarpun begitu ... Euis tidak bisa marah benar-benar marah pada putra satu-satunya itu.

Sejak kecil, dia sudah telalu banyak membantunya. Mengorbankan waktu bermainnya demi memenuhi kebutuhan Euis dan Adik-adiknya. Padahal, Euis sudah sering bilang pada Saddam kecil, dulu.

Hasil yang dia dapat, simpan saja. Tapi Saddam kecil menolak dan kekeuh ingin memberikan itu pada Adiknya dan Euis.

Ah ... Bahkan, saat dia menang  di ajang pencarian bakat dulu, hadiahnya dia berikan semua pada Euis. Tapi tidak Euis gunakan. Dia masih menyimpannya sampai sekarang, takut-takut Saddam butuh sewaktu-waktu.

"Iya atuh, Bu. Kalau kecil terus mah, Aa enggak nikah-nikah," kata Saddam dengan logat sundanya.

"Yaudah, yuk. Kita beli baju buat besok," ajak Saddam pada Euis dan Selly yang langsung diangguki keduanya.

•••

Di kontrakan Bella, kini Saddam, Selly, dan juga Ibunya duduk di lantai beralaskan karpet. Bella terlihat menatap sinis ke arah Saddam. "Ngapain Aa ke sini? Mau ngetawain Bella karena hidup Bella susah?" tanya Bella.

"Negatif banget ya pemikiran kamu ke Aa, Bel." Saddam memicingkan matanya tak suka.

Bella terkekeh sinis. "Iyalah, Bella enggak akan kayak gini kalau Aa enggak usir Bella dari rumah."

"Kamu enggak akan kayak gini kalau kamu enggak bikin ulah! Kenapa sih sifat kekanakan kamu itu enggak pernah bisa hilang?" Saddam terlihat emosi. Namun, Euis langsung menahannya dan meminta Saddam agar diam.

Saddam menghela napas kasar. Cowok itu lantas menyandarkan punggungnya pada tembok.

"Bella, dengerin Ibu."

Bella menatap Ibunya.

"Tujuan Ibu, Aa, sama Selly ke sini ... Mau kasih tahu kamu. Aa mau lamar Teh Dara, besok. Kalau kamu mau ikut, dan diizinin sama Dika ... Aa kamu udah beliin baju buat ke Jakarta, besok."

Bella menatap ke arah Saddam. Dia menggeleng. "Bella enggak setuju Aa sama Teh Dara."

"Aa juga enggak pernah setuju kamu sama Dika. Tapi terpaksa. Kalau kamu enggak setuju, yaudah, kayaknya Aa harus bikin Teh Dara hamil, terus nikah kayak kamu ... Biar kamu setuju, gitu?"

"Hush! Ngomongnya!" Euis memukul paha Saddam seraya melotot.

Saddam terlihat kesal. Enak saja Bella melarangnya. Dia tidak tahu saja susah payahnya Saddam mendapatkan restu agar bisa menikahi Dara.

"Teh Dara tuh jahat, A!"

"Bel, udah, deh. Aa minta tolong ... Sekali aja, turutin permintaan Aa yang ini. Perjuangan Aa buat sampai ke sini susah banget Bel kalau kamu mau tahu." Saddam mulai menatap Bella dengan tatapan memelas.

Saddam tidak mau gagal lagi. Saddam mau bersama Dara, dia tidak mau melihat Dara menangis dan kecewa lagi. "Aa bahagia sama Teh Dara, Bel."

Bella diam. Dia berdecak pelan mendengar Saddam memohon begitu. "Enggak—"

"Dulu, Aa sering kasih kebahagiaan ke Teteh. Kenapa sekarang enggak teteh bales dengan cara restuin Aa?" sahut Selly.

Bella mendengkus kesal. Dia mengedikkan bahunya tak acuh. "Terserah. Omongan Bella enggak akan pernah didenger."

"Yaudah, gak usah ngomong. Berarti Bella restuin Aa, sip!" Saddam langsung tersenyum lebar.

Dia lantas mengambil baju yang ia beli untuk Bella. "Besok Aa jemput ke sini pagi-pagi, oke!"

Bella tak pernah melihat Saddam sesemangat ini menyangkut seorang perempuan. Apa Dara memang sepenting itu bagi Aanya?

Apa yang sudah Dara perbuat sehingga membuat Aanya terlihat begitu bahagia sekali? Pikir Bella.

"Dika mana, Bel?" tanya Euis.

Bella tersentak dan tersadar dari lamunannya. Ia menatap ke arah Ibunya. "Eh ... Lagi kerja, Bu. Ikut sama tetangga sebelah."

"Dika enggak jahat kan sama kamu?"

"Dika baik kok, Bu."

Euis bernapas lega. Saddam tersenyum kecut. Ia menepuk puncak kepala Bella pelan. "Maaf ya, Aa terlalu keras sama kalian. Aa lakuin ini bukan Aa benci Bella ataupun Dika. Aa mau kalian belajar mandiri, biar kalian enggak susah begitu Aa udah enggak ada lagi buat kalian."

"Maksud Aa, suatu hari nanti ... Aa pasti bakal berkeluarga. Prioritas Aa pasti keluarga Aa, apalagi kalau udah punya anak, kan?" sambung Saddam.

Bella menunduk. Ia mengangguk. "Bella juga minta maaf ya, A. Udah bikin Aa kecewa. Dan enggak mengakui kesalahan Bella sendiri. Bella ... Malah lemparin semua kesalahan Bella ke orang lain. Terutama teh Dar."

"Sini ...." Saddam menarik Bella ke dalam pelukannya. Ia mengecup puncak kepala Adiknya itu berkali-kali.

"Adik Aa semuanya kuat. Kamu harus bisa belajar beradaptasi sama kehidupan kamu yang sekarang, Bel."

Bella membalas pelukan Aanya. Bella selalu mendapatkan ini dari Saddam sedari dulu. Namun, ketika kesalahan fatal itu terjadi, Bella merasa kehilangan sosok hangat Aanya.

Sehingga, emosinya tak terkontrol, semua yang ada didekatnya ia salahkan. Ia sangkut pautkan berusaha membuat Saddam membenci mereka juga.

Padahal, yang Bella rasakan hanyalah kehilangan.

•••

Malam harinya, Saddam duduk di depan rumah seraya mengenakan sarung guna menghangatkan tubuhnya.

Di meja, terdapat kopi hitam untuk menemani malamnya ini. Kini, ia tengah tersenyum lebar menatap layar ponselnya yang dipenuhi wajah sang calon isteri.

Dara tengah makan bakso. Ponselnya dia simpan di depannya.

"Itu pedes, gak? Jangan makan yang pedas-pedas dulu deh, Dar. Baru sembuh juga ...."

"Bening gini, pedes dari mana. Lihat, nih." Dara memperlihatkan mangkuknya.

Saddam terkekeh pelan. "Iya, iya. Udah atuh, pengen lihat muka lo ... Bukan lihat mangkuk bakso. Gimana, sih?"

Dara mengembalikan ponselnya ke posisi semula. Kini, kamera kembali menyorot ke arah Dara. "Vidio Call gini, gue malah keinget sama zaman dimana gue deketin lo deh, Dar. Inget, gak?"

"Iya, waktu itu lo absurd banget, sumpah. Nunjukin celana sobek-sobek sama Papa. Belum lagi cerita soal tato, em ... Apa lagi, ya?"

"Gue minta maaf ke bokap lo gara-gara kenalannya lewat Vidio call," jawab Saddam.

Dara mengangguk-anggukan di sebrang sana. "Kalau yang awal banget, sih, nomor lo gue block."

"Iya, sombong banget si Dara, emang." Saddam melirik Dara sinis.

Dara tertawa lebar di sana. Entah mengapa, hati Saddam menghangat. Ia merasa bahagia bisa melihat Dara kembali tersenyum begini.

"Dulu lo deketin gue terlalu gaspol. Tapi, gue kayaknya jilat ludah sendiri deh, Dam. Soalnya, gue kan dulu ogah banget sama lo ... Eh tau-taunya sekarang malah mau jadi suami."

Saddam tertawa. Benar juga. Dia mengangguk setuju. "Makannya, jangan sok jual mahal sama gue. Enggak akan ada yang tahan deh sama pesona seorang Saddam yang ganteng tiada tara ini."

"Idih, narsis."

"Udah malem, Dar. Cepet baksonya habisin. Terus jangan langsung tiduran, diem dulu beberapa menit. Langsung tidur, ya. Besok pagi gue ke rumah lo sama Mama ... Sama Selly, Bella juga." Saddam tersenyum.

Dara mengangguk, "Iya. Lo juga tidur, sana. Besokkan lo nyetir. Nanti takutnya malah ngantuk di jalan kan bahaya."

"Yaudah, gue tutup, ya? Awas loh, langsung tidur!"

"Iya, Adammm!"

Saddam terkekeh pelan. Dia melambaikan tangan pelan, kemudian mematikan sambungannya. Setelah itu, dia mengetikan pesan selamat malam pada Dara.

Dia tidak sabar untuk hari esok. Semoga saja, semuanya lancar sesuai rencana.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Kira-kira berhasil gak yaaa?

Ada yang ingin disampaikan untuk Saddam

Dara

Selly

Ibunya Saddam

Bella

Aku?

Spam next di sini dong!

Tim #SaddamDaraNikah

Atau ....

#SaddamDaraGagalNikah

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro