Bagian 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari demi hari, dan bulan demi bulan berganti. Dan besok, adalah hari yang begitu Saddam tunggu-tunggu. Hari pernikahannya dengan Dara.

Saat ini Saddam di Bandung, dia sudah berada di sana sejak kemarin. Rumahnya pun kini terisi penuh oleh Om, Tante, dan sepupu sepupunya.

Tiga bulan lalu, ketika acara lamaran berlangsung, esoknya berita itu langsung tersebar di internet maupun televisi. Mereka tentunya bisa tahu karena Langit mengunggah foto dirinya bersama Saddam dan Dara yang menunjukan cincin.

Ada yang mengatakan patah hati, ada juga yang mendukung dan mendoakan mereka agar dilancarkan sampai hari H.

Saddam tersenyum tipis. Selama tiga bulan itu, Saddam benar-benar disibukan dengan pekerjaannya. Sedangkan Dara masih sibuk kuliah dan juga masa pemulihan akibat kecelakaan tempo lalu.

"Aduh, si kasep. Cepetan tidur atuh, udah malem ini. Besok kan kita ke Jakartanya nyubuh," kata Bibinya Saddam.

"Nanti atuh, Bi. Belum ngantuk, deg-degan. Besok ijab kabulnya lancar gak ya?" Saddam terlihat gelisah di teras. Dia bahkan memegang kertas di tangannya.

Bibinya itu tertawa. Dia menepuk pundak Saddam pelan. "Ya kamunya harus yakin, atuh. Kalau enggak yakin mah, gak tau deh."

"Bibi mah ... Ya Aa yakin atuh. Cuman degdegan aja." Saddam mendengkus pelan.

"Yaudah, ya. Tidurnya jangan terlalu malem, A. Besok tuh kamu butuh energi banyak. Kalau gitu, bibi teh, masuk, ya?"

Saddam mengangguk. Setelah bibinya masuk, ia kembali menatap kertas di tangannya. Ia memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya pada tembok. "Gini nih, kemarin ditunggu banget. Sekarang malah gemeter lihat tulisan ijab kabul," gumam Saddam.

"Wayoloh!"

Saddam membuka matanya. Ia mendengkus kesal kala mendapati Selly yang kini tengah duduk di sampingnya.

Gadis itu menyodorkan sebuah buku pada Saddam. "Berhubung Pre-ordernya dan cetak udah beres. Dan yang belinya banyak, bukti terbitnya udah sampe. Selly dapet 3, nih satu buat Aa. Ini kan ceritanya Aa sama teh Dara."

Saddam langsung menegakkan tubuhnya. Ia lantas mengambilnya dan melihat sampul novel yang masih terbungkus oleh plastik itu. "Sel, ini beneran? Kamu udah bikin? Sejak kapan, kok udah ...."

"Udah dari dua tahun lalu Selly bikin, A. Sejak Aa minta Selly buat bikin cerita Aa sama teh Dara. Terus, ya Selly juga merasa termotivasi aja gitu denger cerita Aa sama teh Dara. Tapi ... Selly nulisnya cuman sampai Aa jadian sama teh Dara. Rencananya sih mau bikin lagi series ke-2. Dari zaman Aa pacaran, sampai nanti punya anak. Boleh ya?"

Saddam tersenyum menatap buku itu. Padahal, ia hanya bercanda meminta Selly menuliskan buku tentangnya. Iya, dia pernah memintanya ... Saat dirinya baru saja jadian dengan Dara waktu itu.

Sepertinya, Selly benar-benar menyimak curhatan Saddam saat masih PDKT sama Dara waktu itu. Buktinya, novel ini bisa selesai.

"Emang bener-bener deh adik Aa yang ini." Saddam langsung mengacak puncak kepala Selly pelan.

Selly tersenyum. "Dijaga lho, A. Selly nulisnya pakai hati."

"Pasti."

•••

Hari itu tiba. Di kamarnya, Dara kini sudah mengenakan baju pengantin berwarna putih. Dia mengenakan hijab. Tanpa paksaan, Dara yang menginginkannya.

Dara terlihat gugup. Keringat sedaritadi terus menerus keluar. Perias itu hanya terkekeh dan sesekali mengusap keringat Dara sepelan mungkin. "Jangan gugup, Mbak. Tapi kalau saya juga pasti gugup, sih. Apalagi Mas Saddam itu kan ganteng banget, ya? Kalau lagi konser juga beuh keren banget, Mbak."

"Dia tuh enggak sekeren waktu manggung, tau. Itu mah cuman kedok," kata Dara merasa kesal karena wanita lain memuji Saddam begitu.

Perias itu tertawa. "Emang Mas Saddam aslinya gimana, Mbak?"

"Manja, rewel, ngerengek Mulu kayak anak bayi. Tapi dia juga bisa nempatin posisi, sih. Dia tahu di mana dia bisa manja sama bersikap dewasa.  " Dara tersenyum tipis.

Tak lama, pintu kamar Dara terbuka. Dirinya diberitahu oleh Mama Ayu dan juga Mama kandungnya bahwa Saddam sudah tiba dan akan segera mengucapkan ijab kobul.

Saat ini, Dara diam menyaksikan Saddam yang tengah gugup berhadapan dengan Ragil dan juga penghulu.

"Bissmillahirahmanirahim. Saddam Alfarizi, jabat tangan saya."

Dara langsung mengeratkan pegangannya pada lengan Ayu. Dia memejamkan matanya berharap Saddam bisa dengan lancar mengucapkannya nanti.

Saddam menjabat tangan Ragil.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau. Saddam Alfarizi bin Asep Kurniawan dengan anak saya yang bernama Dara Rizqika Rahayu binti Ragil Prasetyo. Dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat shalat dan juga uang sebesar dua juta rupiah. Dibayar, tunai."

Saddam menarik napasnya. Setelah meyakinkan dirinya, Saddam langsung berucap, "Saya terima nikah dan kawinnya Dara Rizkiqa Rahayu binti Ragil Prasetyo dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan juga uang dua juta rupiah dibayar tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu.

"SAH!"

Penghulu langsung memimpin doa. Semuanya ikut menengadah kan kedua tangan mereka.

Di kamarnya, Dara menangis haru. Ayu dan Rebecca memeluk Puteri mereka dan berkali-kali mengucapkan selamat. Tentunya, mereka juga mengingatkan Dara agar menjadi isteri yang baik untuk Saddam.

"Yaudah, yuk. Udah ditunggu di sana." Ayu dan Rebecca langsung menuntun Dara untuk keluar menuju lantai utama yang sudah dihias sedemikian rupa itu.

Saat sampai di samping Saddam, Saddam langsung tersenyum. Dia senang, dia juga merasa bangga karena lebih unggul dari semua laki-laki yang pernah menyakiti Dara.

Setelah diperintah, Dara langsung mencium punggung tangan Saddam. Setelah itu, Saddam mencium kening Dara dengan lembut.

Sorak teriak terdengar begitu ramai di rumah ini.

Mereka lantas diminta untuk menandatangani buku nikah. Setelah itu, mereka menyematkan cincin. Dan difoto seraya menunjukan buku nikah dan cincin.

•••

Acara masih terus berlanjut. Setelah berfoto dan mengucapkan terimakasih pada tamu yang bersalaman pada Saddam dan Dara, kini keduanya tengah duduk di kursi pelaminan seraya menatap sahabat-sahabatnya Dara yang sibuk makan di sana.

Saddam mengusap lengan Dara pelan. "Capek?"

"Enggak, kok. Seneng," jawab Dara.

Saddam tersenyum. Entah kenapa, hatinya merasa senang melihat Dara mengenakan hijab begini. "Kamu cantik lho pakai hijab gini, Dar."

"Kamu? Kok geli, ya?" Dara tertawa pelan mendengarnya.

Saddam mencebikkan bibirnya sebal. "Kan udah suami Isteri atuh, Daraa! Masa iya masih lo gue, apa kata dunia?"

"Iya deh, iya. Kata Mama Ayu, sama Mama Rebecca harus nurut apa kata suami."

Saddam mengigit bibir bawahnya menahan senyum. "Adem banget ya kamu nyebut aku suami."

Dara mencubit pinggang Saddam kesal. Alisnya bahkan sampai berkerut menatap Saddam.

"Ih, cubit-cubitan." Saddam mengusap perutnya pelan.

Di lain tempat, di jajaran para sahabat Dara, Langit menatap kedua insan itu dengan tatapan sendu. Tangan Langit mengusap gelang berwarna hitam bergantungan merpati.

Ia menghela napasnya. Andai saja dulu dia tidak bodoh, mungkin ... Dirinya yang ada di sana bersama Dara bukan Saddam.

"Nape lo? Nyesel?" tanya Cakra melihat ke arah adiknya.

Langit menoleh. Dia mengedikkan bahunya. "Ya ... Gitu, deh. Ternyata lupain Dara enggak segampang itu. Gue enggak bisa bohong sama perasaan gue sendiri, Bang."

"Gue pernah di posisi Lo, Lang. Nyesel, karena udah sakitin Dara. Tapi ya mau gimana lagi? Udah kejadian juga. Dia juga udah bahagia sama cowok lain waktu itu, orangnya lo. Dan seiring berjalannya waktu gue mikir, itu kesalahan gue ... Gue menyesalpun enggak akan bikin Dara balik sama gue. Akhirnya, gue nyoba buat ubah diri gue, jujur sama pasangan gue yang sekarang. Berusaha buat enggak ngulang kejadian sama, lah intinya."

"Lo enggak akan pernah bisa lupain Dara kalau diri lo sendiri nolak buat lupa, Lang," sambung Cakra.

Langit mengangguk. "Tapi Saddam baik, sih. Gue juga salut sama dia. Gue sih kalau jadi dia, enggak akan pernah gue izinin cewek gue temenan sama mantannya. Lo tahu mantan, kan? Orang yang lebih dulu bikin bahagia ceweknya, orang yang lebih dulu kenal sama ceweknya, dan orang yang lebih dulu buat ceweknya naruh hati."

"Dia udah dewasa, Lang. Dia tahu mana yang perlu dilarang dan enggak. Dia juga percaya sama Dara, makannya dia enggak banyak ngatur. Itu sih yang gue lihat dari Saddam." Cakra memicingkan matanya memperhatikan Saddam.

"Woi! Ini mantan-mantannya Dara malah diskusi. Lagi meratapi penyesalan?" Pandu menyahut seraya menatap keduanya secara bergantian.

"Harusnya aku yang di sana ...." Tora beranjak dan bernyanyi dengan suara pas pasannya.

"Sialan!" Cakra dan Langit berseru bersamaan.

•••

Malamnya, Dara sudah membersihkan diri dan mengenakan pakaian tidur.

Dia duduk di sofa dan menatap ke arah kasur yang sudah ditaburi bunga mawar.

Dara menggeleng kuat. Dia menelan Salivanya susah payah. "Kabur bisa gak, ya?" gumam Dara.

Tak lama, Saddam keluar dari dalam kamar mandi. Dia sudah terlihat segar. Tidak memakai atasan, dan hanya mengenakan celana pendek saja.

"Dar, keringin, dong." Saddam langsung menghampiri Dara. Duduk di bawah di antara kedua kaki Dara yang duduk di sofa.

Dia menyodorkan handuk kecilnya. "Kita mau pindah ke apartement aku kapan, Dar?" tanya Saddam.

Mereka sengaja tinggal di sana untuk sementara waktu. Menikmati masa pernikahan, sebelum mereka memiliki momongan nantinya.

Dara mulai mengeringkan rambut Saddam. Dia menggeleng. "Aku ngikut kamu aja."

Saddam bergumam tak jelas. Dia memejamkan matanya menikmati tangan Dara yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Dara, kamu nyesel gak nikah sama aku?" tanya Saddam.

Dara menghentikan gerakan tangannya. "Enggak, kok. Kenapa nanya kayak gitu?"

"Mastiin aja, Dar."

"Mastiin kok sekarang. Kenapa enggak kemarin? Sekarang kan udah gak ada pilihan. Kalaupun nyesel nikahan enggak akan bisa batal." Dara mendengkus kesal.

Saddam berbalik. Dia lantas beranjak dan merebahkan tubuhnya dengan paha Dara yang ia jadikan bantalan. "Sengaja. Biar kamunya enggak kabur."

Saddam meraih tangan Dara dan ia simpan di dadanya. "Kemarin mah, mau kayak gini dipelototin Reza. Sekarang mah mau gimana-gimana juga bebas ya, Dar?"

"Iya."

"Seneng gak deket-deket sama aku kayak gini?" tanya Saddam. Seraya menatap wajah Dara dari bawah.

Dara mengangguk. "Seneng."

"Yaudah, ayok tidur. Peluk yang kenceng sampai pagi juga boleh. Sekarang mah enggak akan ada yang marahin." Saddam tersenyum lebar menatap Dara.

Dia berdiri dan merentangkan kedua tangannya di depan Dara. "Mau di gendong?"

"Idih, apaan sih, Dam?!" Dara berajak. Dia memilih berjalan ke arah kasur dan merebahkan tubuhnya di sana.

Saddam terkekeh pelan. Dia ikut merebahkan tubuhnya di samping Dara.

Tangannya menarik bahu Isterinya itu dan menyandarkan kepala Dara pada dadanya. "Jantung gue, Dar! Astaghfirullah."

"Katanya aku kamu, tapi masih gue. Lo tuh maunya apa yang bener?" tanya Dara.

"Eh, yang tadi keceplosan. Kok kamu ikut-ikutan bilang gitu, sih?" Saddam mencebikkan bibirnya sebal.

Dara mengedikkan bahunya. Ia memejamkan matanya yang terasa katuk karena usapan lembut Saddam di kepalanya.

Saddam tersenyum merasakan deru napas teratur di dadanya. Sepertinya Dara lelah hari ini.

Dia sengaja tidak meminta haknya hari ini. Ia takut jika terlalu memaksakan malah membuat Dara sakit besoknya.

"Tidur yang nyenyak, sayang," bisik Saddam seraya mengecup lembut dahi Dara.

Selesai

HOREE!




































Bercanda😭🖐️

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Saddam

Dara

Selly

Langit dan Cakra

Spam next di sini dong!

See you!




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro