Bagian 35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Last part nih, bissmillah, yuk!

Selamat membaca🤍

••••

Dara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan kala melihat Saddam yang terbaring di atas brankar. Wajah Saddam juga kini terdapat banyak luka. Tangannya juga.

Wanita itu duduk di samping brankar, tangannya meraih tangan Saddam dan ia genggam.

'Gue enggak akan pernah pergi. Satu-satunya yang bakal bawa gue pergi cuman Tuhan.'

Ucapan yang sering Saddam ucapkan tiba-tiba saja terngiang di kepalanya. Dara menggeleng kuat, dia tak mampu mengatakan apapun selain menatap Saddam.

"Dar ...." Reza mengusap bahu Adiknya itu dengan lembut.

Dara terisak. Melihat Saddam begini, dan berada di sini tidak pernah terlintas dipikirannya sama sekali.

Saddam yang biasanya ceria, banyak tingkah, dan banyak berbicara kini terbaring lemah di atas brankar.

"Padahal tadi pagi ... Kita baru aja dapat kabar bahagia, Za. Saddam seneng banget tahu anaknya ada di perut gue."

Jam sudah menunjukan pukul 1 malam. Tapi Dara masih belum mau memejamkan matanya.

Ia lantas melirik ke arah Pandu, Selly dan juga Euis yang sudah tertidur di sofa. Sedangkan Bella dan Dika sudah pulang kembali, mengingat ... Bella baru saja melahirkan.

"Dar, gue cariin makan, ya? Lo belum makan." Reza bingung harus bahagia atau sedih.

Di satu sisi, ia bahagia mendengar kabar bahwa Dara tengah mengandung. Tapi di sisi lain, dia sedih melihat kondisi Saddam.

"Lo mau apa? Nasi goreng? Sate?" tanya Reza lagi.

"Mau Saddam bangun." Dara mengigit bibir bawahnya kuat.

Reza diam. Dia lantas menatap ke arah Saddam. Dia pernah berada di posisi Dara. Dan dia juga paham apa yang Dara rasakan sekarang.

Reza akhirnya memilih pamit keluar untuk membeli makanan yang bisa dimakan oleh Dara.

"D-Dar ...."

Dara mendongak, ia mengusap air matanya ketika melihat Saddam membuka matanya. Kondisinya terlihat begitu lemah. "Dam? Aku panggil Dokter, ya?"

"Ja-ngan ...." Saddam mengatakannya dengan susah payah.

Dara melihat Saddam menepuk brankar di sebelahnya. "Ma-u ... Pe-luk ... Ba-by ...."

Dara kembali meneteskan air matanya melihat Saddam yang kesulitan berbicara.

Dengan sangat hati-hati, Dara naik ke atas brankar dan merebahkan tubuhnya di samping Saddam. Dara berusaha sepelan mungkin agar tidak menyakiti Saddam.

Tangan Dara meraih lengan Saddam dengan lembut kemudian membawanya ke atas perut Dara.

"Ti-dur." Saddam memejamkan matanya merasakan sakit dibagian tubuhnya.

Dara memejamkan matanya kuat merasakan usapan lemah di atas perutnya.

"Dam, udah, ya? Aku takut selangnya kesenggol." Dara hendak turun. Namun, Saddam melarangnya.

Akhirnya, Dara memilih diam. Lama kelamaan, dia tertidur karena usapan di perutnya.

•••

Saddam mengatur napasnya, mengeratkan giginya merasakan perih di sekujur tubuhnya.

Reza kembali, dia lantas terlihat kaget melihat Saddam yang kini memeluk Dara namun terdengar ringisan yang berasal dari Saddam.

"Dar, bangu-"

Saddam menggeleng lemah menatap Reza. Dia mengatakan seolah dirinya melarang Reza untuk membangunkan Dara. "D-Dara baru tidur."

Mengatakan satu kalimat, namun Saddam menarik napasnya dengan tidak sabaran. Dia memejamkan matanya terlihat menahan sakit.

"Lo kesakitan, Dam!" Reza meletakkan kreseknya di atas brangkas.

Saat hendak membangunkan Dara, gerakan Reza terhenti karena ucapan Saddam. "G-gue mau peluk Dara sampai gue, pergi."

"Lo enggak akan pergi ke mana pun, Dam!"

Saddam menggeleng lemah. "T-titip Selly."

"Dam, apaan, sih?"

Suara bising antara Reza dan Saddam membuat Pandu, Selly, dan juga Euis terbangun.

Ketiganya lantas menghampiri Saddam karena melihat Saddam rupanya sudah sadar.

"Dam?" panggil Pandu.

Saddam melirik Pandu. Dia berusaha mengatur napasnya yang tak lagi beraturan. "G-gue gak kuat, Du."

Sudut mata Saddam mengeluarkan air mata. Pelukannya pada Dara semakin mengerat.

Pandu lantas membungkuk. Dia meraih lengan Saddam agar tak lagi memeluk Dara. "Ikutin gue, Dam," kata Pandu.

"Ashadu Alla-"

Saddam terlihat menggerakkan bibirnya mengikuti Pandu. Namun, suaranya tak lagi terdengar.

"Illaha Ilallah."

Saddam masih mengikuti Pandu. Namun, hanya gerak bibir tanpa bersuara.

"Wa ashadu Anna-" Pandu memejamkan matanya kuat melihat Saddam yang melemah.

Dengan menguatkan hatinya, Pandu kembali melanjutkannya. "Muhammadarasulullah."

Saddam masih mengikutinya. Sampai akhirnya, mesin EKG kini menampakan garis lurus dan juga bunyi yang terdengar begitu nyaring.

Pandu menatap ke arah jam di dinding. Ia menarik napasnya dengan pelan. "Jam 1.20 WIB, Saddam udah enggak ada."

"Aa! A Bangun, A!" Selly hendak menggoyangkan lengan Saddam.

Pandu lantas menarik Selly dan memeluknya. Tangannya mengusap puncak kepala Selly berusaha menenangkan gadis itu.

Reza terpaku, dia masih diam dan terlihat tak percaya dengan apa yang ia lihat ... Saddam, sudah pergi.

"Inanillahi wa innailaihi roji'un." Reza menunduk menatap lantai tak kuasa melihat Saddam.

Euis juga terlihat meneteskan air matanya. Namun, dia tidak menangis meraung-raung, sepertinya dia paham ... Menangis begitu malah memberatkan Saddam nantinya.

"Dar." Reza membangunkan Dara.

Dara terlihat terusik. Dia lantas membuka matanya dan menatap heran ke arah Selly yang kini tengah menangis di pelukan Pandu.

Dara menatap ke arah Saddam. Tubuhnya mematung kala matanya melihat mesin EKG yang menunjukan garis lurus. "Za?" Dara seakan tak mampu mengatakan apapun lagi.

"Ikhlas ya, Dar? Saddam udah enggak papa sekarang." Reza mengatakannya dengan suara bergetar menahan tangis.

Dara menutup mulutnya. Air matanya menetes begitu saja tanpa ia minta.

Reza mendekat, dipeluknya Dara dan menenangkannya. Reza menuntun Dara untuk turun dari atas brankar.

"Gue panggil dokter dulu." Pandu lantas mengusap air mata Selly, dan meminta gadis itu untuk bersama Euis terlebih dahulu.

Pandu berjalan ke arah luar. Tak lama setelahnya, suster dan Dokter berdatangan.

Alat-alat yang tadinya menempel di tubuh Saddam kini satu persatu mulai dilepaskan.

"Jenazah, mau dimandikan di sini ... Atau di rumah?" tanya Dokter.

Euis menatap ke arah Dara. Dara lantas menatap ke arah Dokter. "Di sini aja, Dok."

Dara hendak mengikuti jenazah Saddam yang hendak segera diurus. Namun, Reza menahannya.

"Saddam enggak pergi, Za! Dia masih di sini. Dia mau jadi Papa, Za!"

"Dara, udah ... Saddam udah gak papa sekarang." Reza kembali memeluk Dara.

Dan, kehilangan yang paling menyakitkan adalah ... Kematian.

Saddam ... Si cowok super pede, manja, dan juga bisa menempatkan diri menjadi orang yang dewasa ... Kini telah tiada.

•••

Pemakaman Saddam dihadiri oleh orang-orang yang menyayanginya.

Saddam dimakamkan di Bandung. Terpatnya di Kiaracondong tempat kelahirannya.

Saddam sudah kembali ke bumi. Makamnya tepat berada di samping makam milik Papanya.

Tangan Dara terulur mengusap nisan di depannya dengan pelan.

Semua sahabat Dara hadir. Terkecuali Danu karena jaraknya yang memang terbilang cukup jauh.

Dara memejamkan matanya. Hatinya sakit sekali.

Saddam berhasil, dia berhasil membuktikan pada Dara ... Bahwa tidak semua laki-laki bisanya hanya menyakiti hatinya saja.

Saddam setia bersamanya, dia menemani Dara sampai Dara percaya cinta lagi. Membuat Dara bahagia sepanjang hari, dan selalu membuat Dara merasa ... Bahwa dirinya begitu berarti bagi Saddam.

"Dam, lo tenang aja! Dara aman sama gue. Baby juga bakal gue jaga kok. Bukan cuman gue, ada Danu, Pandu, Melly, Langit, sama Reza juga." Tora tersenyum. Namun, senyuman itu luntur seketika.

Ditatapnya nisan milik Saddam. Dia memejamkan matanya kuat. "Gue juga bakal jaga adik lo, Dam. Gue enggak akan biarin satu orang pun nyakitin dia," lanjut Tora.

Melly masih di sebelah Dara. Merangkulnya dan mengusap bahu Dara dengan pelan. "Saddam udah enggak papa sekarang, Dar. Jangan sedih terus, dia lihatin lo, lho."

Tangan Dara masih mengusap batu nisan Saddam. Wanita itu tersenyum tipis. "Kamu bilang, kamu enggak akan pergi. Satu satunya yang bakal bawa kamu pergi cuman Tuhan. Dan sekarang semuanya terjadi, kamu pergi dan Tuhan yang bawa kamu pergi. selamat tidur ya, Dam. Mimpi yang indah. Aku janji akan berusaha jadi Papa sekaligus Mama buat anak kita."

Setelah mengatakan itu, Dara berdiri. Melly membantunya. Ditatapnya sekali lagi nisan milik Saddam.

Sampai akhirnya, dia memilih pergi meninggalkan pemakaman bersama keluarga dan juga sahabat-sahabatnya.

Ragil mengambil alih posisi Melly. Ia merangkul putrinya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Dia juga bilang, Tuhan sayang Saddam. Maka dari itu ... Dia lebih memilih membawa Saddam pergi daripada merasakan sakit sepanjang hari.

Biarpun raganya tak lagi terlihat, Dara percaya perasaan sayang Saddam begitu besar lebih dari apa yang ia lihat.

Biarpun raganya tak lagi bisa kembali, Saddam tetaplah lelaki yang posisinya tak akan pernah bisa terganti.

Selamat jalan, Saddam.

Tamat

Akhirnya kita sampai dipart terakhir.

Terimakasih sudah menemani cerita Dara dari mulai series pertama dan kedua ini. Yang jeleknya jangan ditiru, yang baiknya bisa dijadiin pelajaran, ya🥰

Perasaannya setelah baca part akhir?

Ada yang ingin disampaikan untuk Saddam

Dara

Semua sahabatnya Dara?

Reza

Aku?

Jangan lupa follow akun Instagram Octaviany_Indah, ya! Buat info cerita-cerita ku!

Jangan lupa juga share cerita Langit Dara dan Dara Hello you, ya!

Oh iya, kalau ceritanya dinovelin, mau beli gak NII?

See you di cerita Ekspektasi dan kopi!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro