Ekstrapart (Spesial Part Saddam, Dara, Zidan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part ini enggak ada sangkut pautnya sama part terakhir, ya. Ini cuman buat ngobatin rasa kangen kalian ke Saddam aja.

Karena cerita Saddam udah selesai sampai part kemarin nghogey.

Anggap aja ngehalu Saddam masih hidup. Padahal mah udah gak ada, ngok.

Happy reading♥️

•••

"Papa ...."

Zidan merangkak menuju ke arah Saddam yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Dengan raut wajah gembiranya, Zidan berdiri dan bertepuk tangan kala pria itu berjongkok tepat di depannya. "Hallo, Jagoan."

"Papa Papa ..." Zidan merentangkan kedua tangannya ke arah Papanya.

Saddam menerimanya. Digendongnya Zidan, kemudian dia berdiri seraya menciumi pipi putranya dengan gemas. "Zidan lagi apa? Nonton tv?"

"Iyah!" Zidan memeluk leher Saddam.

"Wah, Zidan lagi nonton apa, nih?" Saddam membawa Zidan untuk duduk di sofa depan televisi.

Kemudian, matanya menangkap serial kartun yang tengah terpampang di sana.

"Pin, Papa." Zidan menunjuk ke arah layar.

"Ipin? Zidan nonton Ipin?" tanya Saddam.

"Iyah!"

Saddam tertawa. Dia merasa senang mendengar putranya yang sudah banyak bicara walaupun belum sepenuhnya lancar.

"Zidan juga botak ya? Kayak Ipin?" Saddam tertawa melihat Putranya yang kini meronta seraya tertawa di gendongannya.

Gigi yang baru saja tumbuh sampai terlihat. Melihat itu, Saddam gemas sendiri. Pria itu lantas mencium pipi Zidan beberapa kali. "Ketawa mulu kamu."

"A, udah pulang?"

Saddam menoleh. Pria itu tersenyum kala mendapati Isterinya yang keluar dari arah dapur dengan semangkuk bubur bayi di tangannya.

"Pantesan rame banget." Dara mencium punggung tangan Saddam. Kemudian, dibalas ciuman kening oleh Saddam.

"Sehat, sayang?" tanya Saddam.

"Sehat. Aa mau mandi dulu, atau mau ngopi dulu?" tanya Dara. Wanita itu duduk di sebelah Saddam.

Tangan Saddam terulur mengusap puncak kepala Dara dengan lembut. "Mau mandi dulu. Sini Zidan biar aku yang suapin."

"Eh, enggak capek emang?"

"Enggak, masa suapin anak sendiri capek, sih?" Saddam mencebikkan bibirnya kesal kala mendengar pertanyaan Dara.

Dara lantas tertawa. Wanita itu memberikan mangkok bubur itu pada Saddam. "Aku siapin air sama handuk dulu. Kamu mau makan apa? Biar aku masakin."

"Bahannya masih ada?"

"Ada, kok. Kebetulan kemarin aku sama Zidan belanja."

"Apa aja, deh. Kamu masak apa aja aku makan kok."

Mendengar jawaban Saddam, Dara lantas tersenyum lebar. Wanita itu langsung melangkah menuju kamar mandi untuk menyiapkan air.

"Ayo kita makan!" Saddam mendudukkan Zidan di sampingnya. Kemudian, Saddam turun untuk duduk di karpet dengan tangan yang kini mengambil sesendok bubur untuk makan Zidan.

"Aaa—"

"Pinter." Saddam tersenyum lebar melihat Zidan yang tidak rewel ketika disuapi.

Bahkan, Zidan terlihat sangat lahap ketika menerima suapan dari Saddam.

"Kapal segera meluncur—" Saddam menggoyangkan sendok di udara. Kemudian, berhenti tepat di depan mulut Zidan.

Zidan menerimanya dan memakan bubur itu.

"Papa Papa ...."

"Iya, Jagoan? Kenapa?"

"Mama." Zidan menunjuk ke arah Dara yang kini berdiri di belakang Saddam dengan handuk yang dia pegang.

Saddam berbalik. "Udah?"

"Udah. Mandi, gih." Dara menyampirkan handuknya ke atas bahu Saddam.

Saddam memberikan mangkok milik Zidan kemudian beralih mencium kening Dara dengan lembut. "Makasih, ya."

"Iya."

"Sama Mama dulu, ya? Papa mau mandi." Saddam mengusap puncak kepala Zidan dengan lembut kemudian memilih berjalan ke arah kamar mandi.

"Mama ... Mam!" Zidan menujuk mangkoknya dengan wajah cemberut.

Dara terkekeh pelan. "Gak sabaran banget ya anak Mama, hm?" Dara mulai menyuapi Zidan.

Putranya itu terus menerus mengoceh. Sesekali dia tertawa melihat adegan serial di televisi yang menurutnya lucu.

Selama beberapa menit menyuapi Zidan, akhirnya selesai. Dara memberikan dot minum pada Zidan dan putranya itu meminumnya.

"Mama masak dulu. Zidan jangan ke mana-mana, ya?"

"Iyah, Mama."

•••

"Jangan terlalu pedes."

Dara tersentak kaget kala Saddam tiba-tiba memeluknya dari belakang. Pria itu bahkan masih mengenakan celana boxer tanpa atasan.

Handuk pun masih menggantung di bahunya.

"Kangeeeeen." Saddam mencium pipi Dara berkali-kali. Kemudian, pria itu menyandarkan pipinya pada bahu milik Dara.

"A, aku lagi masak loh."

"Daraaaa bentar, kangennn." Saddam merengek kesal mendengar jawaban Dara.

Pelukannya semakin mengerat.

Dara pasrah. Wanita itu memilih melanjutkan masak seolah tidak masalah dengan Saddam yang tak mau lepas darinya.

"Zidan di mana?" tanya Saddam.

"Di ruang tamu. Lagi nonton tv. Anaknya enggak pernah rewel, kok. Kalau disuruh diem pasti diem," kata Dara.

Saddam tertawa mendengarnya. "Anak aku itu."

"Iya, anak kamu."

"Ih, anak kamu juga!" Saddam mendengkus mendengar jawaban Dara.

Dara terkekeh pelan. "Iya, anak aku juga."

"Anak kita." Saddam kembali berbicara.

"Iya, A, Iya. Anak kita. Lepas dulu, ini susah."

Saddam akhirnya melepas pelukannya. Pria itu berdiri di belakang Dara seraya memperhatikan Istrinya yang tengah memasak.

"Jangan masak banyak-banyak," ujar Saddam.

"Loh, kenapa?"

"Pengen peluk. Kalau masaknya banyak, lamaaaa!"

Dara menggelengkan kepalanya pelan. Manjanya keluar.

"Papaaaa!"

Saddam dan Dara tersentak kala mendengar teriakan Zidan. Sontak saja Saddam berlari ke arah ruang televisi.

Ketika sampai di sana, Saddam berdecak kesal mendapati Pandu yang tengah berdiri dengan buku besar di tangannya. "Ngapain, sih?!"

"Lah, lakinya udah balik."

"PAPAAAA!" Zidan menjerit semakin kencang.

Saddam melotot. Tangannya terulur mendorong bahu Pandu dengan kesal. "Lo ngalangin anak gue lagi nonton, Anjir!"

Pandu menoleh ke arah Zidan. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Lo gak ngomong sih, Dan. Kenapa malah ngamuk, sih?"

"Ngapain sih ke sini?" tanya Saddam kesal.

"Mau ngasih ini ke si Dara."

"Siniin. Sana balik!" Saddam merampas buku itu kemudian mengusir Pandu.

Pandu berdecak kesal mendengarnya. "Gitu lo, ya! Bener-bener. Gue ke sini pake bensin. Minimal kasih gue minum, kek! Atau apa gitu. Gak ada sopan-sopannya banget jadi tuan rumah."

"Bodoamat. Biar lo gak seenaknya masuk rumah gue. Gimana kalau Bini gue lagi sendiri di rumah, hah?!"

"Gue ajak pacaran, Dam! Puas?!"

Saddam memicingkan matanya. "Berani, lo?!"

"Ya enggak, sih. Yakali! Biarpun gue belum ketemu sama jodoh gue, bukan berarti gue mau ya rebut bini orang!" Pandu membalas tatapan Saddam tak kalah tajam. "Emak gue ngajarin gue buat jadi anak baek-baek!"

"Yaudah, ayo ngopi."

"Lah?" Pandu mengerjapkan matanya heran.

"Mau gak?! Kalau enggak yaudah sana balik."

"Gua balik dah. Bye! Kasihin itu ke Dara." Pandu melirik ke arah buku yang dipegang oleh Saddam.

Saddam mengangguk. "Yaudah, sana balik."

•••

"Enak?"

"Enak." Saddam melahap makanan yang dimasak oleh Dara dengan lahap.

Di pangkuan Dara, Zidan sibuk memakan biskuit dengan mata yang tertuju pada Saddam.

"Ma!" Zidan menyodorkan biskuitnya pada Dara.

Dara menggeleng. "Buat Zidan. Makan lagi, sayang."

Zidan menurut. Bocah itu kembali memakan biskuitnya.

"Kamu udah makan?" tanya Saddam pada Dara.

Dara mengangguk. "Tadi pagi makan nasi uduk. Kirain kamu pulangnya siang atau sorean, makannya enggak masak buru-buru."

"Gak papa. Yang penting sekarang tetep makan." Saddam tercengir lebar.

Selama beberapa menit, Saddam akhirnya selesai menyantap makanannya. Setelah itu, dia menyimpan piring kotor ke tempatnya.

Saat Dara hendak mendudukkan Zidan ke kursi sebelahnya, Saddam melarang. "Cuci piringnya nanti aja."

"Lho?"

"Kangen, ih! Gak peka banget, sih. Ayo ke kamar!" Saddam menutup sisa makanan dengan tudung saji.

Kemudian, pria itu mengambil alih Zidan dan menarik pergelangan tangan Dara untuk masuk ke dalam kamar.

Saddam merebahkan tubuhnya dengan Zidan yang duduk di atas perut miliknya. "Eh, biskuitnya belum abis."

Saddam merebutnya. Kemudian dia memakannya. "Udah habis." Tangan Saddam terulur meraih tisu dan mengusap mulut Zidan dengan lembut.

"Sayang, sini." Saddam menepuk kasur di sebelahnya.

"Aku belum mandi."

"Gak papa. Sini."

Dara menurut. Wanita itu merebahka tubuhnya dengan lengan Saddam yang dijadikan bantalan.

Saddam mengusap puncak kepala Dara dengan lembut. "Zidannya ilangin dulu bisa, gak?" bisik Saddam.

"Ilang beneran nangis."

"Eh, ngomongnya jangan gitu, ih!"

Zidan merangkak dan menelusup di antara Saddam dan juga Dara. "Mama, ntuk!"

"Ngantuk? Zidan ngantuk?" tanya Dara.

Zidan mengangguk dengan bibir mencebik. Persis seperti Papanya.

Dara menyiapkan bantal untuk Zidan. Kemudian, wanita itu menuntun putranya untuk berbaring.

Tangan Dara mengusap pelan puncak kepala Zidan dengan lembut.

Melihat Dara yang sibuk menidurkan Zidan, Saddam tersenyum. Pria itu menunduk dan ikut mengusap lengan Zidan. "Tidur sayang, tidur. Tau aja Papanya kangen sama Mamanya."

"A, berisik. Nanti bangun lagi."

"Aku nyuruh dia tidur, sayaaaaang."

Lama menidurkan Zidan, akhirnya bocah itu tertidur. Saddam tersenyum lebar. Dengan hati-hati, Saddam memindahkan Zidan ke ujung dekat dengan tembok, kemudian, Saddam pindah ke tengah.

Pria itu memeluk Dara dan menyembunyikan wajahnya di leher Isterinya. "Kamu kangen aku gak?" tanya Saddam.

"Aku kangen. Keinget kamu terus kala lagi kerja. Kangen Zidan juga," kata Saddam lagi.

"Iya, kangen." Dara mengusap kepala belakang Saddam dengan lembut.

"Cium, dong. Katanya kangen." Saddam mendongak, pria itu menatap Dara dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

Dara mendengkus pelan. "Apa sih?"

"Yaudah kalau gak mau. Aku aja yang cium, sini." Saddam mendekatkan wajahnya pada Dara dan mencium pipinya berkali-kali.

Merasa gemas, Saddam mengapit pipi itu dengan bibirnya. "Mmmhhh!" Saddam bergumam pelan.

"Isteri aku ini. Punya aku pokoknya, gak boleh diambil sama siapa-siapa." Saddam kembali menyembunyikan wajahnya di leher milik Dara.

Kakinya kini naik, memeluk Dara layaknya dia adalah bantal guling.

"Dara," panggil Saddam.

"Iya?"

"Kamu punya aku, kan?"

"Iya. Aku punya kamu."

"Jangan pergi, ya? Tetep sama aku aja."

"Iya."

"Aku sayang kamu." Saddam mengecup leher Dara dengan lembut.

Dara membalas pelukan Saddam dan tersenyum. "Aku juga sayang sama kamu."

"Aa mau gini terus, Dar. Boleh?"

"Boleh."

"Tidurnya mau peluk kamu kayak gini, gak papa kan?" tanya Saddam lagi.

Dara terkekeh pelan. "Gak papa, A."

Saddam diam-diam tersenyum. Pelukannya kini semakin mengerat. "I love you, Dara," lirihnya.

Dahhh, gimana? Masih kangen Saddam?

Sekali lagi, part ini enggak ada sangkut pautnya sama alur cerita ini, ya. Saddam dah meninggoy.

Mau lagi?

Kalau rame nanti bikin part spesial lagi

Babayy!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro