Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


 
"Mama ... hiks!" teriak seorang anak kecil berumur lima tahun histeris sembari berlari dan menangis secara bersamaan. 
"Huaaa ... Mama! Hiks," pekiknya lagi masih dalam keadaan menangis dan berlari, sesekali gadis kecil bermanik hazel itu menyeka air matanya. Rambutnya yang dikepang dua bergerak bersama angin yang menerpa tubuhnya. Dress selututnya yang berwarna pastel terlihat kotor akibat lumpur yang menempel di sana. 
"Mama," lirihnya kembali dengan mata memerah akibat menangis tak henti, hidungnya juga terlihat sembap. 
 
"Sayang,  kenapa  menangis?  Siapa  yang mengganggumu? Katakan pada Mama, ayo," ujar seorang wanita cantik sembari berlutut menyejajarkan tubuhnya dengan anaknya. Tangan halusnya mengelus puncak kepala sang anak dengan lembut. 
 
"Da ... Dar-riel," jawabnya terbata akibat terlalu banyak menangis. 
 
"Sekarang apa lagi yang dilakukan anak itu padamu?" tanya sang ibu mengembuskan napasnya pelan dan menggeleng. Ahh, anak ini selalu saja seperti ini jika sudah bermain dengan Dariel. 
 
"Dariel menakut-nakutiku dengan kodok, Ma, terus aku jatuh, terus dia tertawa. Terus ...," sahutnya menggantung akibat sesenggukan dan sesekali masih menyeka air matanya. 
 
"Terus?" ujar sang Mama menaikkan saru alisnya seraya mengusap lembut pipi anaknya yang memerah akibat terlalu banyak menangis dan terkena udara dingin sore hari. 
 
"Aku membencinya, Ma, aku membencinya. Titik!" pekiknya sembari mengentak-entakkan kaki dan mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. 
 
Sang Mama yang melihatnya pun hanya bisa mengembuskan napas pelan sembari menghela tubuh anaknya ke dalam pelukannya. Dengan gerakan lembut tangan halus itu mengusap punggung sang anak memberikan ketenangan di sana agar berhenti menangis. Dan sepertinya usaha sang Mama berhasil, kini tangisnya pun reda dan hanya menyisakan isakan kecil. Sang Mama mengurai pelukannya dan mengusap pipi merah dan cubby itu kembali. 
"Baiklah, Sayang, bagaimana kalau sekarang kau membantu Mama membuat cupcake. Apa kau mau?" ujar sang Mama sembari tersenyum. 
 
"Cupcake?" sahut si gadis kecil bermata hazel itu sembari menelengkan kepalanya. 
 
"Iya, kita buat cupcake cokelat kesukaanmu dengan toping permen warna-warni. Bagaimana?"  
 
"Woah, aku mau! Aku mau!" celotehnya dengan mata hazel yang berbinar. 
Aih, anak ini mudah sekali disogok entah ke mana tangisnya yang tadi. Ck. 
 
"Iya, kali ini kau yang membuat cupcakenya, Mama hanya akan membantu," ujar sang Mama terkekeh melihat tingkah malaikat cantiknya ini. 
 
"Ayo, Ma, kita tidak boleh membuang waktu," ujarnya tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya dan menarik tangan sang Mama untuk masuk ke rumah. 
Tidak sabaran sekali gadis ini. lihat saja, ia melupakan tangisannya begitu saja saat mendengar kata cupcake. 
 
"Baik, ayo kita buat cupcake yang banyak," ajak sang Mama sembari menjawil gemas hidung anaknya. 
 
Baru saja wanita beda usia itu melangkahkan kakinya untuk meninggalkan halaman rumah, tiba-tiba terhenti karena seseorang menarik lengan mungil gadis berusia lima tahun itu. 
 
"Adannaya, aku minta maaf," kata anak lelaki berusia lima tahun sembari menarik lengan gadis kecil bernama Adannaya itu. 
 
"Huh, tidak mau. Kau itu menyebalkan, Dariel," ucap Adannaya penuh penekanan di suku kata terakhir. 
 
"Aku juga tidak mau minta maaf padamu jika bukan Mamaku yang memaksa," ujar bocah lelaki itu tergelak melihat tampang kusut Adannaya. 
 
"Dariel ...!" seru seorang wanita yang berdiri di belakangnya sembari berkacak pinggang. 
 
"Oke, oke, Ma, jangan salahkan Dariel jika tak mau meminta maaf. Lihat saja tingkah Adannaya," protes Dariel sembari bersedekap. 
Oh, lihat saja sikap menyebalkan dari si tengik Dariel. 
 
"Aku membencimu, kau tahu." Kini giliran Adannaya menunjukkan tampang juteknya sembari bersedekap. Dariel yang melihat tampang menggemaskan Adannaya saat marah tergelak sembari mendekat ke arah gadis kecil itu berdiri. 
"Mama!" teriak Adannaya dengan suaranya yang begitu melengking sehingga Donita dan Caroline menutup kedua telinganya, sedangkan si tengik Dariel tertawa sembari berlari meninggalkan Adannaya yang mengumpat tiada henti. 
What the heck! Apa yang dilakukan si tengik Dariel! 
"I hate you, Dariel!" pekik Adannaya mengusap pipinya. Ya sebelum berlari Dariel mencium pipi cubby Adannaya dengan gemas saat Adannaya mencebik kesal padanya dan itu sukses membuat gadis kecil itu semakin marah.  
Apa yang dilakukan si tengik itu? Dia mencium pipiku, kupertegas lagi, mencium pipiku. Awas saja nanti, aku akan membalasmu, Dariel. Huh, enak saja dia mencium pipiku sembarangan. Batin Adannaya berkata geram. 
 
Donita dan Caroline hanya bisa mengembuskan napasnya pelan sembari menggeleng. Kedua anak ini membuat pusing saja. Donita pusing dengan Adannaya yang sepertinya memiliki taraf kekesalan 100% pada Dariel. Sementara Caroline pusing dengan tingkah bengal anaknya, siapa lagi kalau bukan Dariel. Hadeh, ckckck. Dengan kesal gadis berkepang dua itu masuk ke rumah dengan mengentakkan kakinya tanda ia sangat jengkel. 
"Sepertinya aku akan berendam dengan ditemani aroma terapi yang baru saja aku beli," kata Caroline menggaruk kepalanya yang tak gatal. 
 
"Aku rasa aku akan mengajak Adannaya membuat cupcake dan itu lebih baik menurutku," ujar Donita sembari masuk ke rumah menyusul Adannaya. 

"Kenapa dengan raut wajahmu itu, Sayang?" tanya seorang lelaki tampan pemilik manik hitam itu saat melihat wajah istrinya dilipat seperti handuk kusut saat masuk ke rumah. 
 
"Kau tanyakan saja sendiri pada anak nakalmu itu," sergahnya sembari mendaratkan bokongnya di sofa sembari mengembuskan napasnya lelah. 
"Apa lagi yang dilakukan Dariel kali ini?" tanya sang pemilik manik hitam itu sembari menaruh tab yang sedari tadi dibawanya ke atas meja. 
 
"Huh, apa lagi kalau bukan mengganggu Adannaya," jawab Caroline mengangkat bahunya. Baru saja sang suami ingin menjawab ucapan sang istri yang terlihat frustrasi oleh kelakuan anak semata wayangnya itu pintu terbuka. 
 
Ceklek. 
 
Pintu rumah terbuka menampilkan sosok bocah lelaki dengan tampang tak bersalah sama sekali. Membawa sebuah layangan di tangan kanannya dengan gulungan tali di tangan kirinya. 
"Apa benar yang dikatakan oleh mamamu, Dariel?" tanya sang ayah pada Dariel saat Dariel baru memasuki rumahnya. 
 
"Memang apa yang dikatakan Mama, Pa?" tanya Dariel menaikkan satu alisnya.  
Oh, lihat saja kini tampang Dariel sangat menyebalkan. 
 
Caroline memutar bola matanya lelah dan mencebik. "Kau sendiri tahu apa yang kau lakukan pada Adannaya, bukan?" Caroline mengernyitkan dahinya, anak ini benarbenar. Ck. 
 
"Oh itu, hahaha ...," Dariel terbahak sembari memegangi perutnya.  
What the heck! Apa-apaan bocah tengik satu ini. 
 
"Kau lihat kan, Kenneth, aku rasa anakmu itu sudah sableng," sergah Caroline pada suaminya yang duduk di sebelahnya. 
 
"Dariel," ujar Kenneth memanggil nama Dariel agar berhenti tertawa. 
 
"Oke, oke, Pa, aku tadi hanya mencium Adannaya. 
cuma itu saja," ucap Dariel enteng. 
 
WHATT?! Apa yang dikatakan bocah tengik ini, mencium Adannaya. Sekali lagi mencium dia bilang, bagaimana bisa bocah nakal ini mengatakan ia mencium seorang gadis dengan begitu entengnya. Oke, reaksi yang berlebihan mungkin kedengarannya, tapi ini … ya Tuhan mereka masih berumur lima tahun. Dari mana si tengik ini belajar mencium seorang gadis. 
 
"Apa kau bilang, Dariel?" ujar Kenneth sembari mendelik ke arah Dariel dan itu sukses membuat Dariel bungkam dan menunduk. Jika sudah begini Dariel yakin ia pasti akan dimarahi habis-habisan. Poor you, Dariel. 
 
"Dariel, kenapa kau senang sekali mengganggu Adannaya?" tanya Kenneth kembali. 
 
"Aku tidak mengganggunya, Pa, sungguh." Heran, apakah mencium seorang anak perempuan itu bisa disebut mengganggu? 
 
"Lalu kenapa Adannaya menangis?" timpal Caroline. 
Oke, aku rasa sekarang trending topik-nya di sini adalah Adannaya. Huh, gadis itu benar-benar ya bisa menjadi bahan pembicaraan Mama dan Papa seharian. Ck. 
 
"Itu karena dia cengeng, Ma," ucap Dariel sekenanya. "Lagi pula Adannaya berhenti menangis saat aku menciumnya tadi," ujar Dariel lagi sembari berjalan melewati Caroline dan Kenneth yang sedang duduk di sofa dan menaiki tangga menuju kamarnya. 
Caroline dan Kenneth saling pandang dan menggeleng pelan. Anak itu benar-benar membuat lelah dan pusing dengan tingkahnya. Caroline dan Kenneth mengembuskan napas secara bersamaan. 
 
"Aku rasa Dariel harus memiliki adik agar sifat nakalnya berkurang," ujar Kenneth sekenanya dan membuat 
 
Caroline menaikkan satu alisnya. 
Apa yang dipikirkan suami konyolnya ini, bisa-bisanya ia berpikir seperti itu. Sepertinya yang membuatnya pusing kali ini ayah dan anak ini. Ck. 
"Aku rasa itu bukan untuk mengurangi kenakalan Dariel, tapi itu kemauanmu sendiri," cebik Caroline. Kenneth tergelak dan menghela tubuh istri tercintanya ke dalam pelukannya dan mengecup puncak kepala istrinya. 
 
"Aku rasa tidak ada salahnya kan mencoba," ujar Kenneth kembali sembari mengerling pada Caroline. Caroline mencubit gemas lengan suaminya yang konyol ini. 
"Aww, kenapa kau mencubitku?" ringis Kenneth mengelus bekas cubitan istrinya. 
 
"Salahmu sendiri selalu menggodaku," cebik Caroline dengan mengerucutkan bibirnya. Dengan gemas Kenneth mencubit pipi istrinya dan hendak mencium bibir ranum itu. 
 
"Ma, Pa, bisakah kalian bermesraan di kamar saja?" sergah Dariel saat menuruni tangga dan melewati mereka untuk keluar rumah. 
Kenneth menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, sementara Caroline bergerak menjauh dari tempat suaminya, duduk salah tingkah dengan ucapan yang dilontarkan Dariel. Dariel yang melihat tingkah laku kedua orang tuanya terkekeh sembari meraih handle pintu. 
 
"Kau mau ke mana, Dariel?" tanya Kenneth saat Dariel hendak membuka pintu. 
 
"Ke rumah Adannaya, Pa," sahut Dariel. 
 
"Untuk apa kau ke sana, bukankah sebentar lagi kita akan makan malam, Sayang?" ujar Caroline berdiri dari sofa. 
 
"Aku hanya ingin melihat keadaan Adannaya, Ma, sebentar lagi aku pulang."  
 
"Terserah kau saja, tapi ingat berhenti menjahili Adannaya. Mengerti?" Caroline memperingatkan Dariel. 
 
"Oke, Ma, aku pergi dulu."  
Blam! Suara pintu tertutup menandakan Dariel sudah keluar rumah. Dasar anak itu, dia suka menjahili Adannaya tapi selalu saja bermain dengan Adannaya. Aneh! 
 
"Sayang, kau mau ke mana?" tanya Kenneth yang melihat istrinya melangkah menjauhi tempat duduknya. 
 
"Membuat makam malam, ke mana lagi memangnya?" Caroline menaikkan satu alisnya. 
 
"Bagaimana dengan proyek adik baru untuk Dariel?" 
 
Whatt?! Apa-apaan suami mesumnya ini, bisa-bisanya masih memikirkan proyek adik baru untuk Dariel. Aih, dasar lelaki tua ini. Tanpa pikir panjang Caroline meninggalkan suaminya pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Sepertinya memasak lebih baik daripada harus berbicara konyol dengan suaminya itu. 

"Untuk apa kau kemari, huh?" tanya Adannaya yang berdiri di ambang pintu masuk saat melihat sosok Dariel berdiri di sana. 
 
"Kenapa kau selalu marah padaku? Aku kemari untuk mencari Tante Donita," ujar Dariel merangsek masuk melewati Adannaya yang menekuk wajahnya. 
 
"Hei, tunggu, kenapa kau mencari Mamaku?" sergah Adannaya sembari mengikuti langkah Dariel. 
 
"Aku mau belajar membuat cupcake pada Tante Donita." 
 
"Tidak boleh, karena hanya aku dan Mama yang akan membuat cupcake. Kau tidak boleh ikut!" pekik Adannaya pada Dariel. 
Cih, siapa Dariel mencoba belajar membuat cupcake dengan Mama. Sudah pasti jadinya akan tidak enak, huh! 
 
"Sudah, sudah, kalian berdua cukup berdebatnya. Sekarang kalian berdua ayo bantu membuat cupcake," ujar Donita melerai dua anak keras kepala itu. Dariel tersenyum lebar memandang Donita dan menjulurkan lidahnya sekilas ke arah Adannaya. Adannaya berdecak sebal sembari berkacak pinggang melihat Dariel, tak lupa Adannaya mengerucutkan bibirnya. Huh, dasar Dariel pengganggu! Awas saja jika cupcakenya terasa aneh, itu salah Dariel bukan salah dirinya. 
 
"Adannaya, kenapa masih berdiri di sana? Ayo kemari bantu Mama dan Dariel." 
 
"Iya, Ma." 
 
Akhirnya mereka berdua membantu Donita membuat cupcake. Dariel sangat senang, berbeda dengan Adannaya yang terlihat malas berada dekat dengan Dariel. Ya, Adannaya sangat jengkel jika harus dekat dengan Dariel, pasalnya Dariel selalu menjahilinya hingga menangis dan Adannaya tidak suka itu. Catat, tidak suka. Namun Dariel tetap saja menempel pada Adannaya baik itu saat bermain di rumah maupun di sekolah. Ya, Dariel dan Adannaya selain bertetangga mereka juga sekolah di sekolah yang sama. Ahh, beginilah risiko jika seumuran dengan Dariel, tanggal lahir Dannaya dan Dariel hanya berselang tiga hari jadi mereka bersekolah di sekolah yang sama dalam satu kelas pula, aih. 
  
 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro