Part 5. Ritual

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini adalah rekor terlama Karisma bisa berada jauh dari pandangan ibunya dan berdekatan dengan orang-orang. Sudah hampir satu bulan, Karisma bekerja dan ternyata tidak seburuk apa yang dipikirkan oleh dirinya dan sang ibu. Dia cukup baik-baik saja.

"Ibu lagi siapin bekal buat Karisma?" tanya Karisma ketika menghampiri sang ibu yang masih sibuk di dapur.

Ibunya mengangguk. Ini sudah menjadi rutinitasnya menyiapkan bekal untuk putri tercintanya berangkat kerja, karena Karisma anti dengan beberapa makanan dari luar. Tidak terbiasa.

"Ibu mau berangkat ke pasar? Kemarin, kan kata dokter harus istirahat yang cukup." Karisma melihat beberapa wadah bekas adonan yang sudah berada di wastafel. Tentu hari ini ibunya akan berjualan lagi, walaupun kemarin hampir pingsan.

Ranti memasukkan wadah bekal ke dalam tas kerja Karisma yang sudah terletak di sana. "Ibu udah minum obat. Sudah, ya, jangan cemaskan ibu." 

Kemarin, dia tidak sempat memberitahu beberapa tetangganya yang juga berjualan di pasar untuk tidak memberitahu putrinya bahwa dia hampir pingsan. Alhasil, Karisma akan menjadi cemas seperti ini.

"Ibu mending berhenti jualan aja, ya. Lagian gaji Karisma cukup tinggi. Sangat cukup untuk biaya hidup kita dalam sebulan," pinta Karisma. Gaji di perusahaannya sekarang diatas rata-rata gaji UMR perusahaan lainnya dan bonus pun jauh dari perkiraannya. Tidak aneh jika persaingan masuk ke perusahaan tersebut sangat sulit.

Ranti menggeleng lemah. "Ibu bakal bosan kalau di rumah terus. Seenggaknya, kalau ibu di pasar bisa ngobrol sama teman-teman pedagang lain," ujar Ranti. "Kalau di rumah ibu bakal terus khawatir sama kamu," Lanjutnya lirih.

Ranti mengira anaknya hanya akan bertahan dalam jangka waktu seminggu, mengingat Karisma sangat anti sosial. Namun, anaknya mulai terlihat ceria semenjak bekerja. Karisma sering berkata jika dia sudah memiliki beberapa teman dan senior yang baik kepadanya.

"Semoga ini adalah titik pulihnya kehidupan kita. Dan kita bisa hidup dengan normal lagi tanpa ada kecemasan apapun," ujar Ranti kepada Karisma. Namun, ada beberapa hal yang memang masih berat dan dicemaskan olehnya.

Karisma memeluk ibunya hangat. "Karisma juga nggak nyangka bakal bisa hidup kayak orang lain."

Bukan hanya ibunya yang menyadari jika dia sedikit berubah, Karisma pun merasakan kehidupannya sudah akan mendekati normal. Tidak ada lagi kecemasan jika bercengkrama dengan orang lain dan tidak ada lagi ketakutan seperti apa yang dirinya alami sebelumnya.

-0-0-0-

"Heh, gue punya bad news!" bisik Wena kepada beberapa rekannya yang sedang berkumpul di pantry, fasilitas yang disediakan oleh perusahaan untuk karyawan yang setiap pagi menikmati secangkir kopi sebelum mulai bekerja.

"Apaan? Cepetan deh, Wen. Kebanyakan iklan lo," kesal Nadin kepada Wena. Kebiasaan temannya itu adalah suka menjeda sesuatu padahal lawan bicaranya sudah kepo setengah mati.

Wena menghirup napas dalam. Darisana terbukti bahwa kabar ini memang sangat buruk.

"PAK RAKSA BALIK!" Setelah mengatakan itu, Wena langsung menyeruput kopi milik Nadin. Dia butuh asupan pagi setelah mendengar berita buruk ini.

"Lo tahu darimana? Bukannya dia ngurusin perusahaannya buat setahun yang di luar negeri?" tanya Penti.

Mereka sempat iri kepada Karisma, karena baru sehari bekerja di perusahaan itu, sosok CEO yang menyeramkan di sana tiba-tiba harus mengurus perusahaan cabang di Singapura. Karisma cukup menjadi pembawa keberuntungan dan sepertinya masa berlaku jimat itu sudah habis sekarang.

"Tadi gue mau kasih file ke ruangan Pak Panji. Terus, ada Pak Raksa di sana. Hampir aja gue pingsan!" Bukan hanya berita atau rumor, tapi Wena menyaksikan sendiri Raksa ada di sana dengan mata kepalanya sendiri.

Mendengar hal itu, tentu membuat semua orang di sana mendesah berat. Siapa lagi yang akan dijadikan tumbal menghadapi Raksa. Apalagi atasannya itu akan mengadakan meeting untuk evaluasi selama dia di luar negeri sebulan ini. Mengerikan.

"Tapi ada satu hal yang belum gue kasih tahu sama kalian," sela Wena kepada teman-temannya.

Semua orang memfokuskan kembali perhatiannya kepada Wena, kecuali satu orang yang masih betah menyantap bekalnya tanpa tertarik pada topik kepulangan atasannya itu. Bagi Karisma sama saja, ada atau tidaknya sosok CEO mereka.

"Tau nggak?"

Nadin mencubit lengan Wena, kebiasaan sekali temannya itu yang tidak langsung ke inti.

"Ih lo main cubit aja. Sakit tau!" keluh Wena. Padahal dia ingin memberitahu hal penting ini kepada mereka dengan sangat hati-hati.

"Kebiasaan banget sih, lo. Kalo mau kasih berita jangan dipotong-potong, Weni Astuti!" ucap Nadin.

Wena yang mendengar nama panjangnya disebut memberenggut kesal. Sudah dia katakan bahwa jangan mengucapkan nama lengkapnya di depan umum.

"Tau nggak, Pak Raksa makin howt dan ganteng banget!" Mata Wena berbinar ketika membayangkan wajah CEO-nya tadi. Kenapa Raksa harus segalak itu disamping ketampanannya yang paripurna. Jadi, mereka sulit menentukan perasaan, kan jadinya.

Puk

"Sakit! Kenapa lo maen geplak aja, sih!" keluh Wena lagi ketika sebuah tangan mengetuk kepalanya.

"Lagian gue kira apaan yang penting," oceh Nadin. "Tapi emang, sih, kita sebulan kemarin nggak ada asupan pangeran kayak Pak Raksa."

Walaupun disana banyak pria berparas tampan, tapi wajah Raksa berada jauh dari nilai kewajaran. Ketampanan yang hakiki.

"Ye, sama aja lo! Lagian ya, kok ada cowok secakep dia. Sayangnya galak banget," eluh Wena. Dia memang penggemar oppa-oppa tampan, tapi untuk urusan mendekati Raksa adalah pilihan terakhir dalam hidupnya. Dalam jarak seratus meter saja, aura kegalakan atasannya itu sudah tercium.

"Kar, kok lo diem aja, sih?" tanya Penti kepada gadis yang masih diam menatap wadah bekalnya.

Walaupun memang mereka sudah tahu sifat Karisma yang cenderung diam, tapi aneh saja Karisma terlihat tidak tertarik akan semua keseruan dalam kehidupan wanita pada umumnya.

Karisma menyimpan sendoknya dan melirik Penti. "Saya nggak tahu apa yang kalian omongin. Dan emang nggak ngerti juga," ujar Karisma dengan senyum tipisnya. Setidaknya, Karisma sudah berbaik hati berbagi senyum.

"Lo tau pak Raksa, kan?" tanya Penti. Jangan bilang, Karisma tidak tahu juga siapa CEO mereka. Walaupun gadis itu pernah dijadikan tumbal untuk menghadapi Raksa, tapi sepertinya kejadian itu dijadikan angin lalu saja.

Karisma mengangguk. "Tahu. Yang suka kalian omongin setiap hari, tapi tetep dipuji-puji kalau liat fotonya," ujar Karisma. Walaupun dirinya cenderung diam, tapi dia selalu memperhatikan bagaimana keseruan orang-orang disekitarnya.

"Menurut lo dia gimana?" tanya Penti lagi. Dia lebih ingin mendengar pendapat Karisma, dibandingkan teman-temannya yang lain yang sedang ribut menentukan taraf ketampanan bos mereka.

Karisma mengerutkan keningnya. "Gimana apanya, Mbak?" tanyanya.

"Pak Raksa gimana!" Lama-lama Penti kesal juga menghadapi kelemotan Karisma dalam hal ini.

"Nggak tahu, karena kan kita cuma pernah ketemu sekali," ujar Karisma. Entah kenapa, setelah Karisma bekerja di sana, secara tiba-tiba bosnya itu berangkat ke luar negeri. Kebetulan memang.

"Aduh, eceu eceu! Buruan balik, nanti ketahuan Pak Bos bisa berabe," seru Pak Beni yang khas akan suara ramahnya. Dia adalah alarm untuk mengingatkan mereka yang terkadang lupa akan jam masuk kerja, saking betahnya berbincang pagi.

"Pak Bos kok udah balik, sih, Pak? Bukannya dia di Singapura setahun, ya?" bisik Wena kepada Pak Beni yang berjalan beriringan dengannya menuju ruangan mereka.

"Bakal ada project gede di sini dan urusan di Singapura kayaknya udah normal lagi," jelas Pak Beni. "Siap-siap aja, besok bakal ada meeting panjang."

Mendengar penjelasan dari seniornya tersebut membuat Wena memenjamkan matanya. Sekarang, dia harus berdoa untuk menghindari kesialannya besok.

Yap, setiap ada project besar yang akan berjalan akan dipilih satu orang yang akan menjadi asisten CEO mereka itu. Walaupun Raksa tampan dan membuat mata betah menatapnya, tapi pria itu akan berubah menjadi singa jika ada sesuatu yang berjalan jauh dari rencananya apalagi disebabkan oleh karyawan seperti mereka. Otomatis dimakan.

"Wen, muka lo kok pucat gitu?" tanya Nadin ketika Wena sudah berada dikursinya.

"Nanti kita adain pengajian dadakan, ya. Pimpin sama Yusuf aja doanya," ucap Wena menatap lesu kepada Nadin.

Nadin memegang dahi Wena, takut temannya sakit tiba-tiba. "Lo nggak panas. Kesambet apaan?" tanyanya.

"Besok bakal ada meeting buat project baru," ucap Wena dengan lesu.

Semua yang mendengar hal itu langsung berubah menjadi pucat seperti Wena. Mereka tahu bahwa yang akan terpilih menjadi asisten Raksa kali ini yang menjadi kandidat karyawan resign tercepat ditambah beban pikiran menumpuk. Jangan lupakan batin yang merana selama masih ada keinginan untuk bertahan kerja di sana.

"Emangnya ada apa, Mbak? Kok pada murung gitu?" tanya Karisma melihat hampir semua rekannya berubah menjadi pucat. Seperti, mendapat tekanan batin dadakan.

"Nanti abis pulang kerja lo ikut pengajian sama kita. Buat menjauhi kesialan brutal besok," ucap Penti kepada Karisma. Melihat Karisma yang diam membuat Penti sadar belum memberitahukan ritual ini kepada junior barunya itu.

"Jadi, setiap ada project besar kayak gini di meeting besok bakal ditunjuk salah satu dari kita buat jadi asisten Pak Raksa. Makanya kita perlu penangkal buat nggak kepilih," jelas Penti kepada Karisma.

"Emangnya kenapa kalo jadi asistennya Pak Raksa? Bukannya bagus, ya. Berarti kinerjanya bagus." Pertanyaan polos tersebut keluar dari mulut Karisma.

"Semenjak gue kerja di sini, nggak pernah ada asisten dia yang udah beres project-nya bertahan. Mereka pasti resign, terus bener-bener kelihatan ngebatin," ungkap Penti. "Jadi, nanti lo ikut aja, ya. Gue kasian kalo lo bakal kena sial."

Mereka saja yang sudah bekerja bertahun-tahun di sana sangat menghindari untuk terpilih, apalagi Karisma seorang junior polos yang nolep (no life). Bisa-bisa mati muda.

"Saya nggak bisa, Mbak. Nanti ibu khawatir kalo saya pulang telat," Tmtolak halus Karisma. Ada-ada aja kekonyolan rekan-rekannya itu.

"Oke, deh. Nanti gue selipin nama lo aja," pasrah Penti.

-0-0-0-

"Siapa yang bakal lo pilih jadi asisten buat project kali ini?" tanya Panji. Dia terkejut melihat kedatangan Raksa yang mendadak terlebih awalnya pria itu akan tinggal di Singapura selama satu tahun.

"Menurut lo siapa?" tanya Raksa. Dia kurang tertarik menilai karyawan, berinteraksi dengan mereka saja sangat jarang. Yang penting pekerjaan para karyawan tidak merugikan perusahaan sudah cukup.

"Duh, kalo masalah ini gue angkat tangan," ucap Panji. "Lo tahu nggak, setiap mereka tahu bakal ada project baru, mereka suka langsung ngadain pengajian," jelas Panji dengan kekehan. Ketika mendengarnya langsung dari Pak Beni, Panji dibuat tertawa dengan tingkah konyol para karyawan.

Raksa mengerutkan dahinya. "Pengajian? Emang ini project buat korban bencana!" Benar-benar tidak masuk akal.

"No, bukan gitu. Lo nggak ngerasa aneh apa? Setiap asisten yang lo pilih untuk project, seminggu setelah project beres mereka langsung resign," ujar Panji.

"Konyol!" kekeh Raksa.

Suasana hati Raksa sedang baik karena kakeknya sudah pindah ke rawat ruang inap. Kondisi kakeknya membaik dan hal itu yang menjadi salah satu alasan Raksa kembali, karena takut terjadi apa-apa dengan sang kakeknya lagi.

"Pake tes yang pernah kakek gue ajarin buat seleksinya. Kalo pake tes itu, kita bakal tahu mana yang emang cocok kepilih," ujar Raksa.

Jika menunjuk secara langsung pasti itu akan membuat mereka shock. Mengadakan tes atau wawancara pun tentu hasilnya akan buruk. Hanya ada jalan pintas.

"Makanya, jangan galak-galak sama karyawan lo. Sekali-kali senyum, bos!" saran Panji. Sahabatnya itu perlu pendidikan keramahan.

"Males!"

-0-0-0-

Update gaiss

Tadinya belum mau lanjut ini, tapi tiba-tiba pengen nulis cerita ini hehe

Jangan lupa vote and komen yaa gaiss biar semangatt

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro