Datang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

            Gedung-gedung tinggi dan rona kemacetan sudah menjadi pemandangan lumrah di sini. Pada jam makan siang, jam pergi dan pulang kantor, jalanan terasa menjelma menjadi penat yang terkutuk. Asap-asap kendaraan sudah menjadi aroma biasa yang kuhirup sehari-hari, jika memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Aksi para supir angkot yang menyalip di sana-sini juga menjadi hal yang biasa kupandang di kota ini. Atau yang paling baru adalah kasus perseteruan para pengemudi online dan pengemudi konvensional yang sempat menjadi headline news di sejumlah media cetak tanah air.

Problematika selalu erat kaitannya dengan era edan ini, aku tahu, ini sebagai konsekuensi perkembangan zaman yang semakin melaju cepat, seperti perjalanan sebuah roket menembus untuk melakukan pendaratan di sebuah planet baru bernama angka. Awal aku menginjakkan kaki di sini, cukup terkejut, ternyata kota jauh lebih menyeramkan daripada desa tempatku tinggal, padahal di sini ini indah, mobilitasnya yang kupikir tidak akan pernah cocok denganku. Maklum aku datang dari tempat yang tertinggal, hanya pernah pergi ke kota sesekali, itu pun bersama guruku untuk mengikuti lomba. Tinggal di tempat ini selama kuliah, membuatku berpikir ulang untuk kembali menukar kenyamananku dengan desa, tentu dengan situasi aku bisa berkumpul dengan bapak dan ibuku di kampung.

Aku adalah pendatang, pendatang yang berasal dari tempat nun jauh di sudut pulau Jawa. Mereka kadang menatapku aneh, mungkin gaya berpakaianku tidak sekeren dan semodis apa yang dikenakan oleh mereka. Rok hitam dan atasan batik adalah pakaian yang hampir sehari-hari kugunakan ketika berangkat kuliah. Jujur, aku hidup di sini hanya mengandalkan beasiswa dari pemerintah, bapak dan ibu di kampung hanyalah petani biasa yang selalu mendapat untung minim dari hasil padi yang dijual. Tidak usah diduga, aku tahu tengkulak adalah dalang dari segalanya. Yang pintar lebih sering membodohi yang tertinggal.

"Fat, nanti rapat."

Seseorang menepuk bahuku dari belakang, adalah Ferdy—rekan seorganisasiku di kampus. Dia seperti kebanyakan pemuda kota lainnya, modis dan berpengetahuan luas.

"Oh iya, Fer. Jam berapa?"

Aku bertanya dengan suara medokku. Ia akan selalu tertawa ketika aku berucap.

"Suaramu masih medok, Fat hehe. Jam empat sore nanti."

Ia terkekeh lagi, aku hanya tersenyum seadanya. Biarlah medok, aku bangga.

"Oh yaudah, aku mau ngelesi dulu ya, duluan Fer."

"Yaaa Fat, hati-hati."

Aku membalasnya dengan tersenyum. Lalu kutelusuri koridor kampus untuk menuju gedung belakang kampus, jalan tercepat untuk mencapai perumahan penduduk, tempat aku kost dan tempatku memberi pelajaran tambahan bagi anak-anak di sana, ya aku mendapat uang tambahan dari sana. Lumayan untuk membeli beberapa kebutuhan yang tak mampu kucukupi dengan uang beasiswa.

"Hai, Ti."

Aku menyapa seseorang, Siti—namanya, kudengar belakangan ini ia menggantinya dengan Titi, katanya malu dengan nama itu. Siti itu temanku dulu satu SMA, kami sama-sama berasal dari desa, tapi ketika kau lihat, aku dengannya seperti bumi dan langit, ia sudah menghilangkan jati dirinya sendiri. Siti bukan lagi teman yang kukenal dulu. Ya, maklum, kehidupan baru adalah sebuah seleksi, ketika kau mampu menyaringnya, maka selamatlah, ketika tidak, maka itulah dirimu yang baru saja terbentuk.

Siti melengos, ia tak menjawab sapaanku. Pergi begitu saja bersama gerombolan teman-temannya yang berambut lurus sebahu. Ia tak lagi mengakuiku sebagai teman. Tersenyum tipis, aku melanjutkan perjalananku, biarlah yang penting mulutku masih bisa menyapanya. Perihal ia tak mau menjawa atau menoleh padaku, bukan urusanku. Hidup memang kadang tak bisa ditafsirkan dengan mudah.

***

Pukul empat, aku tiba di Ormawa kampus, kami akan rapat membahas Ospek fakultas pada bulan Agustus nanti. Aku senang-senang saja mengikuti kegiatan di sini. Tidak semua orang baik memang, namun tak ada hal yang harus kuperkarakan dari banyak wajah yang mereka tampilkan. Sudah kodratnya, manusia memiliki banyak wajah yang tersembunyi di balik topeng yang sedang ia gunakan.

"Jadi, Fatima yang akan menjadi koor sie acara untuk Ospek nanti, kamu setuju kan, Fat?"

Ferdi bertanya, aku lupa mengatakan ia adalah ketua pelaksana untuk program kerja ini. Sedikit terkejut, mengetahui akulah yang ditunjuk, padahal aku yakin mereka pasti sangsi, aku datang dari desa, pasti memiliki selera rendah pada konsep acara.

"Aku setuju."

Aku menjawab, aku ingin realistis, aku juga menginginkan posisi itu. Sie acara adalah salah satu sie central yang ada dalam sebuah kegiatan, jalannnya acara dan baik buruknya bergantung pada sie itu.

"Aku nggak setuju, Fer."

Ingga mengacungkan tangannya ke udara, gadis berkemeja ungu itu menatap Ferdi dengan tajam. Membicarakan penolakannya atas pengajuan diriku yang sudah disahkan oleh Ferdi.

"Kenapa Ingga? Bisa kamu utarakan alasanmu?"

"Dia tidak pantas memegang acara sebesar ini, lagi pula dia sama sekali tidak mengerti tentang konsep acara."

Suara Ingga itu disahuti setuju oleh pihak lain. Mereka mendukung pendapat Ingga sepenuhnya. Aku hanya diam, mengamati mereka satu per satu.

"Setiap orang di organisasi ini kedudukannya adalah sama, lepas dari dia ketua atau anggota biasa, Fatima juga berhak menunjukkan eksistensinya di sini. Lalu, kenapa bisa kamu tidak percaya, Ga? Karena dia terlihat kuno? Don't judge a book by it cover, kalau kamu masih ingat," ucap Prama, ketua BEM F di kampusku. Dia adalah sosok paling bijak yang pernah kukenal.

Ingga diam, mungkin ia sedang memikirkan kata-kata Prama. Atau sedang mencari celah untuk membalasnya. Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu, biar menjadi urusan mereka saja. Organisasi adalah politik, apa pun bentuknya dan kedudukan tempatnya, ia akan selalu melibatkan pro, kontra dan permasalahan yang tak pernah selesai. Setingkat kampus pun, kadang sudah disusupi beberapa doktrin, jika tak kuat maka mengalirlah pada arus yang salah.

***

"Fat soal Ingga tadi, kamu nggak usah ngurusin ya?"

Ferdi menghampiriku, ia pikir aku tersinggung. Aku biasa saja, tepatnya, sudah menjadi biasa untukku.

"Nggak masalah, Fer. Sudah biasa."

Ferdi tersenyum, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Usai rapat, beberapa dari kami masih berkumpul di ormawa untuk membahas kegiatan ini.

"Aku balik dulu ya, Fat. Irene sudah nunggu," katanya sambil lalu.

Aku mengangguk. Jangan pernah berpikir laki-laki seperti Ferdi menyukaiku, realistisnya aku hidup dalam dunia nyata, bukan di dunia dongeng tentang si miskin dengan si kaya atau si kota dengan si desa. Orang-orang seperti Ferdi cenderung melirik perempuan dari kalangan yang sama dengannya, cantik, bersih, berpendidikan dan bertata krama baik. Bukan berarti aku kotor, aku hanya tertinggal pada tingkat pergaulan. Orang-orang sepertiku akan sulit untuk memasuki zona seperti itu.

Angin malam berembus pelan, di sepanjang perjalanan menuju kost di Gang Lima, aku berjalan seorang diri. jalanan di sini cukup ramai, banyak mahasiswa yang suka nongkrong di warung kopi, yang berjajar rapi di belakang kampus, atau mereka yang masih berada di dalam kampus untuk mengikuti UKM dan sejenisnya.

Kampus ini seperti tidak pernah mati untuk beraktivitas. Tapi jangan kaget kalau-kalau kau menemukan beberapa mahasiswa yang berbocengan dengan laki-laki tua, beberapa dari mereka memang memiliki pekerjaan sampingan sebagi 'ayam kampus' istilah halus untuk para mahasiswi yang menjajagan dirinya atau mungkin mereka sekedar pergi dengan pacar dan berakhir di kamar kontrakan, sudah menjadi hal biasa di sini. Dan ini realita. Mungkin awalnya aku kaget, aku yang datang dari pemikiran kolot orang desa, tentu tak paham dengan semua itu, tapi kebutuhan yang semakin tinggi, tak diimbangi dengan tambahan pemasukan, memaksa mereka untuk menjalani dunia hitam itu. Dan pergaulan yang semakin tak terkendali, tak kenal batas membuat kesalahan jalan itu semakin menjadi.

"Assalamualaikum," ucapku sewaktu sampai di kamar.

Aku satu kamar dengan anak jurusan akuntansi. Ika namanya, ia satu jurusan dengan Siti.

"Waalaikumsalam, kok baru sampai, Fat?"

"Rapat tadi, Ka. Sudah makan?"

"Belum hehe, nunggu kamu nih. Katanya mau bikini nasi goreng."

"Oh iya lupa hehe, yasudah aku buat nasi goreng dulu," kataku, ia mengangguk semangat.

Aku menuju dapur usai mengganti bajuku dengan celana training dan kaus. Ika sudah menanak nasi rupanya, jadi aku tinggal menggorengnya saja. Kata Ika, nasi goreng buatanku enak, karena pakau bumbu yang diulek, yang paling penting rasanya pedas. Gadis itu adalah penggemar makanan pedas.

"Fat, gimana kamu sama Ferdi?"

Aku mengerutkan keningku, "aku sama Ferdi? Memang kenapa?"

"Kayaknya dia suka sama kamu, dia sering nyariin kamu, kamu juga suka kan sama dia?" katanya.

Ika mengenal Ferdi karena semasa kami Ospek dulu mereka satu kelompok.

"Ngaco, nggak pantes aku suka sama dia."

"Loh kenapa? Cinta itu murni, nggak pandang bulu."

Aku mulai mengulek sambal yang akan kujadikan bumbu nasi goreng. Ia yang sedang memakan buah apel sambil melihatku dari depan pintu dapur terlihat tidak sabaran menunggu jawabanku.

"Kita hidup di dunia nyata, orang-orang kayak Ferdi nggak mungkin suka sama aku. Realistis, Ka. Dan lagi dia sudah punya pacar. Dia nyari aku ya karena kami satu oragnisasi."

"Tapi kamu suka sama dia kan?"

Aku mengangkat bahuku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu, perasaan suka itu seperti apa. Jika suka itu berarti nyaman dan senang ketika berada di dekatnya, mungkin perasaanku bisa diasumsikan seperti itu.

"Hah kamu ini, Fat. Eh tahu nggak berita tentang Titi?"

"Kenapa?"

"Dia kecelakaan, habis dari tempat karaoke sama pacarnya...dan meninggal," kata Ika, ada sekilas raut iba dari wajahnya.

Aku terkejut dengan berita ini, Siti kecelakaan lalu meninggal? Siti temanku itu?

"Kapan?" aku berkata lirih, masih terkejut akan berita ini.

"Satu jam yang lalu, anak-anak seangkatanku pada heboh di grup."

"Inalilahi wainalilahi. Aku permisi dulu, Ka, kamu lanjutkan ya."

Aku bergegas ke kamar. Meraih ponsel model usang yang selalu kubawa kemana-mana. Tak ada akses internet di ponsel ini, orang-orang akan memandangku iba dan mengenaskan, tapi aku tidak peduli.

Assalamualaikum Mbak Sri.

Tolong sampaikan pada keluarganya Siti, tadi ba'da maghrib Siti kecelakaan dan meninggal dunia.

Aku mengirim pesan singkat itu pada Mbak Sri, tetanggaku yang memiliki ponsel dan kediamannya tak jauh dari rumah Siti, aku yakin keluarganya belum tahu. Siti jarang berkomunikasi dengan mereka.

Setelahnya aku kembali ke dapur, menuntaskan sisa masakanku yang belum rampung. Ika memandangku dengan kerut di dahinya, tapi saat aroma masakan menguar ia tampak sibuk menghindunya.

Di kepalaku, tentang Siti masih terlunta-lunta. Padahal baru tadi aku bertemu dengannya, sekarang ia sudah berpulang, hidup memang cepat berlalu. Hidup memang tidak terduga, hidup adalah kejutan. Dan pendatang sepertiku harus kuat, dalam istilah Jawa disebut tatak jika pergi ke suatu tempa baru. Siti adalah cerminan, bagi mereka yang tidak mampu melewati seleksi.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro