PART 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

15 TAHUN KEMUDIAN.

15 tahun berlalu, Lucy menghilang dari hadapan semua orang yang dikenalnya.

Beberapa hari setelah kedua orangtuanya dimakamkan, Lucy tiba-tiba meninggalkan rumah tanpa meninggalkan jejak, tanpa mengatakan apa pun kepada kedua sahabatnya. Zeline dan Clarissa bahkan menyuruh sahabatnya itu untuk tinggal bersama di rumah salah satu dari mereka. Akan tetapi, Lucy menolak dan memutuskan untuk tinggal di rumahnya seorang diri.

Saat mereka bertemu Lucy di hari kejadian, Lucy nyaris tak pernah bicara. Tatapannya selalu kosong dan dia tidak menangis bahkan saat kedua orangtuanya tengah dikuburkan.

Hal itu justru membuat Zeline dan Clarissa khawatir. Zeline dan Clarissa menemani Lucy tinggal di rumahnya sampai Lucy bisa pelan-pelan mengikhlaskan kepergian kedua orangtuanya. Suatu hari sepulangnya mereka dari sekolah, Lucy tidak ada di rumah.

Hari itu. Sampai hari-hari berikutnya. Hingga 15 tahun telah berlalu.

Zeline, Clarissa, dan Dewa sudah menduga memang ada yang tidak beres dengan meninggalnya mendiang kedua orangtua Lucy. Lucy menceritakan kepada polisi apa yang terjadi malam itu untuk mengusut pelaku pembunuhan kedua orangtuanya, tetapi kasus itu tak pernah berlanjut. Zeline, Clarissa, maupun Dewa sudah langsung menebak bahwa semua ada kaitannya dengan Dean.

Zeline justru khawatir, hilangnya Lucy 15 tahun lalu juga berkaitan dengan Dean.

"Hai." Dewa menghampiri istrinya, Zeline, yang tengah duduk di sofa memikirkan Lucy lagi yang tak kunjung ketemu. Dewa mencium perut Zeline, lalu beralih mencium puncak kepala Zeline. "Kamu lagi mikirin apa? Kasihan anak kita. Dan kamu."

Zeline tersenyum miris. Empat tahun lalu dia dan Dewa menikah dan Lucy tak hadir ke acara pernikahan mereka. Entah di mana Lucy saat itu. Sampai sekarang, baik Zeline maupun Clarissa tak pernah lelah untuk mencari. Zeline sudah menikah dan sebentar lagi anak keduanya lahir. Lucy tak tahu itu dan membuat Zeline selalu merasa sesak.

Lucy bagai hilang di telan bumi. Berbagai cara telah mereka lakukan untuk mendapatkan sedikit saja informasi mengenai Lucy, tetapi nihil.

"Masih belum ada informasi, ya?" bisik Zeline.

"Ada informasi baru. Aku juga nggak yakin, tapi ...," Dewa memandang istrinya ragu-ragu, "kata temen aku di bar langganannya ada pelayan yang namanya Lucy."

***

Pria berjas hitam tengah mabuk dan membuat keributan di bar. Perempuan berambut hitam legam dan memakai seragam pelayan di sana langsung mundur ketakutan. Baru saja dia menjatuhkan botol-botol minuman beralkohol yang harus diantarkannya ke meja yang memesan. Semua botol itu jatuh bersama pecahan gelas-gelas yang berhamburan di lantai.

"Lo!" Pria itu mengacungkan telunjuknya sambil berjalan linglung ke arah perempuan itu, Lucy. "Nggak usah sok jual mahal kalau lo aslinya murah. Hahahaha. Huk. Eh, muka lo tuh biasa aja. Jangan sok cantik sial."

Lucy menegang di tempatnya ketika melihat pemilik bar. "Apa-apaan ini?"

"Itu itu. Cewek sialan itu, tuh." Pria itu menunjuk Lucy yang sedang gemetaran. "Saya cuma minta service lebih malah nyuekin saya. Katanya di sini bisa beli mereka-mereka juga!"

Marina, salah satu pelayan di sana mendekati pria itu dan menamparnya dengan keras. "Jaga mulut kotor, Anda."

"Marina!" Pemilik bar menegur dengan suara keras. Marina berdecak. Lucy memegang nampannya dengan lemas dan hanya bisa memandang tanpa bisa mengeluarkan satu kata.

"Bawa orang ini keluar!" seru pemilik bar kepada satpam. Lucy menghela napas melihat pria itu ditarik paksa, lalu pandangannya beralih ke Marina yang dengan sigap membersihkan pecahan-pecahan kaca di lantai. Lucy menghampiri perempuan itu dengan panik.

"Lo ngapain, sih? Ini kan tugas gue. Ulah gue," kata Lucy sembari membersihkan pecahan dengan tangan kosong. Pergelangannya lalu diangkat naik oleh Marina.

"Apa-apaan lo? Tangan lo bisa luka kalau nggak hati-hati gitu. Mending lo istirahat dulu. Pasti masih syok, kan?"

"Tapi—"

"Nggak ada tapi-tapian!" kata Marina tegas. Kepalanya bergerak ke samping. "Sana pergi. Izin ke Pak Renald sekalian buat istirahat."

Lucy tidak menuruti perintah Marina. Dia mengambil ember dan pel untuk membersihkan lantai yang basah.

Lucy meninggalkan semua yang berkaitan dengan masa lalunya dan membiarkan dirinya tak bertemu dengan Zeline selama belasan tahun hingga detik ini hanya untuk melupakan kejadian yang tak pernah terlupakan seumur hidupnya. Dia pikir, dengan pergi dari Zeline dan lainnya dia akan bisa pelan-pelan lupa semua yang berkaitan dengan masa lalunya terutama mengenai kepergian kedua orangtuanya. Rupanya kejadian malam itu masih kadang menjadi mimpi buruk di dalam tidurnya. Namun, Lucy pikir mungkin ini adalah langkah yang lebih baik dibanding jika saat itu dia tidak pergi meninggalkan semuanya. Lucy juga khawatir, jika dia tetap di samping mereka maka ketiga sahabatnya itu akan kena masalah yang tidak diinginkannya. Lucy tidak ingin itu terjadi.

Selama ini, Lucy selalu berpindah-pindah tempat kerja. Namun, dia terjebak kontrak di bar ini dan tak lama lagi kontraknya berakhir. Dia lebih dulu bekerja di bar itu dibanding Marina. Marina bekerja beberapa bulan setelah Lucy resmi bekerja. Lucy yang tertutup kepada siapa pun akhirnya bisa membuka diri saat Marina selalu menolongnya dari pria-pria hidung belang yang sering menggoda Lucy. Seperti apa yang terjadi barusan. Selain dilecehkan secara verbal oleh orang-orang mabuk, pria-pria itu beberapa kali berani ingin menyentuh Lucy, tetapi Marina selalu dengan sigap menolongnya.

Pria-pria itu selalu menjadikan Lucy sasaran karena terlihat lemah. Berbeda dengan Marina. Mereka tak berani mendekat mengetahui bahwa Marina bisa melawan mereka dengan fisik. Marina pernah membanting seorang pria yang ingin melecehkannya ke lantai. Beruntung Pak Renald lebih mengapresiasi Marina yang melindungi dirinya sendiri dibanding khawatir dengan barnya yang akan sepi dari orang-orang yang sejenis dengan pria hidung belang.

Setelah selesai membersihkan semuanya, Lucy kembali bekerja melayani tamu lain.

"Lucy," panggil Pak Renald. Lucy melihat ke arah bosnya itu kemudian melangkah ke arahnya.

"Ada apa, Pak?" tanya Lucy gugup. Dia gugup karena baru kali ini Pak Renald memanggilnya dengan tatapan sangat serius. Apa ada hubungannya dengan insiden barusan.

"Di sana." Pak Renald menunjuk sebuah meja di mana ada pria yang sedang duduk sendirian. "Kamu tahu dia, kan? Langganan di sini. Pasti sering lihat. Dia ingin bicara sama kamu. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."

Lucy memandang Marina yang sedang sibuk melayani tamu lain.

"Dia itu orang baik-baik, kok. Teman saya. Nggak usah khawatir. Dia bukan laki-laki yang seperti biasanya kamu temui," kata Pak Renald yang seolah tahu apa kekhawatiran Lucy.

Lucy segera menghampiri meja itu dan duduk saat dipersilakan. Laki-laki itu langsung mengulurkan tangannya dan berkenalan dengan Lucy.

"Jadi, begini." Laki-laki itu yang barusan Lucy ketahui bernama Haikal agak ragu saat memulai ke inti pembicaraan. Lucy bahkan tidak mendengar basa-basi darinya.

"Kamu pasi kenal Dewa dan Zeline, kan?" tanya Haikal dan Lucy langsung terdiam kaku. "Dari ekspresi kamu sepertinya memag kamu yang Dewa dan Zeline maksud. Ah, maaf. Maaf. Dewa dan Zeline bilang ini mungkin agak sensitif bagi kamu, tapi seperti yang Zeline bilang dia pengin ketemu sama kamu. Katanya udah kangen banget."

"Ah, itu." Lucy terbata. "Mereka di mana...?"

"Besok. Kamu ada waktu buat ketemu mereka nggak? Biar saya yang beritahu di mana dan kapan. Zeline titip salam dari dia dan dari anak-anaknya juga."

Lucy menunduk, tersenyum sedih. Hatinya terasa sesak. Tak terasa sudah belasan tahun berlalu dan dia meninggalkan banyak momen kebersamaan dengan Zeline dan Clarissa.

***

Lucy memberanikan diri untuk bertemu mereka di rumah Zeline. Mereka sudah janji untuk bertemu siang hari karena di malam hari Lucy harus kerja. Lucy sengaja memilih rumah Zeline karena setelah mengetahui bahwa Zeline sedang hamil besar, Lucy khawatir dengan keadaan ibu hamil itu.

Lucy melangkahkan kakinya pelan-pelan melewati halaman rumah Zeline yang luas. Perasaannya campur aduk. Antara ingin dan tidak ingin bertemu. Dia sangat rindu. Di sisi lain dia masih tidak ingin melihat mereka dan kembali meresapi ingatan masa lalu.

Senyum Lucy terbit bersama air mata yang tak tertahankan ketika melihat Clarissa dan Zeline menyambutnya dengan tangis di teras rumah. Clarissa menghambur ke pelukannya dengan erat. Sementara Zeline duduk di kursi sambil menutup wajah dengan kedua tangan, tak bisa mendeskripsikan rasa senang yang dirasakannya.

"Lo jahat banget, Lucy." Zeline terisak dan Lucy segera menghampiri sahabatnya itu, menunduk, memeluknya pelan sambil menangis.

"Maaf."

"Selama ini lo baik-baik aja, kan?" tanya Zeline setelah pelukan mereka terlepas. Zeline masih menangis dan Clarissa hanya memandang Lucy yang tak banyak berubah selain wajah yang lebih dewasa dibanding dulu. Tingginya bahkan masih sama seperti dulu.

"Baik banget." Lucy menghapus air matanya dan memandang perut Zeline yang membeser. "Maaf," katanya dengan bibir bergetar. "Gue pergi lama banget ya sampai nggak lewatin momen nikahan lo bareng Dewa?"

"Hiks. Lo nggak tanya gue?" tanya Clarissa sambil bersedih.

"Iya, gue punya banyak pertanyaan dan gue fokusnya ke perut Zeline." Lucy tersenyum. "Lo gimana, Issa?"

"Satu bulan lagi gue nikah. Datang, ya!" Clarissa memegang kedua tangan Lucy. "Pokoknya harus. Zeline juga bentar lagi lahiran. Pokoknya kalau lo udah dapat jodoh, kita bertiga harus janjian hamilnya. Biar lahirnya juga bisa barengan!"

Clarissa terlalu semangat sampai tak sadar pembahasan itu adalah hal sensitif bagi Lucy.

"Ah, Lucy...." Clarissa memandang wajah Lucy yang berubah murung.

"Kenapa?" tanya Lucy saat sedetik kemudian dia tersenyum. "Pasti. Pokoknya pasti akan ada saatnya!"

"Haikal bilang lo di sana sering diapa-apain ya sama laki-laki hidung belang?" tanya Zeline, khawatir.

"Iya. Dari dulu gue pengin berhenti, tapi gue harus nyelesaiin kontrak kerja." Lucy tersenyum kecil. "Tapi, bentar lagi, kok! Menghitung minggu. Gue akan keluar dari sana dan cari pekerjaan yang jauh lebih baik."

"Mama...."

Pandangan Lucy teralihkan ke ambang pintu. Di mana sosok anak kecil berumur 3 tahunan muncul malu-malu. "Eh, siapa?" Lucy refleks tersenyum.

"Rama, sini, Nak. Kenalan sama Tante Lucy," panggil Zeline, menggoyangkan tangannya lembut. Rama menghampirinya dan berdiri di samping Zeline sembari memandang Lucy malu-malu.

"Halo, Nak," sapa Lucy sembari mengulurkan tangan. Rama mencium punggung tangan Lucy. "Ya ampun gemes."

Mata Lucy berkaca-kaca. Dia teringat sesuatu.

Andaikan saat itu dia tahu dia hamil, dia akan menjaga kesehatannya, dan pasti anak itu bisa lahir sehat dan hidup sampai detik ini.

Hari itu, Lucy, Zeline, dan Clarissa bercerita banyak hal tanpa mengungkit masa lalu dan Lucy membuka dirinya untuk diperkenalkan dengan seorang lelaki.

Belasan tahun sudah cukup baginya untuk melupakan cintanya kepada Dean, tetapi tidak dengan apa yang dilakukannya kepada kedua orangtuanya.

Sampai detik ini, Lucy masih membenci laki-laki itu.

Hari itu, Lucy terkejut dengan sebuah fakta yang diungkapkan oleh Zeline.

"Gue serius ngomong, loh. Iya, Dewa cerita ke gue kalau Haikal udah naksir lo lama. Makanya dia jadi pelanggan tetap di sana cuma buat merhatiin lo, tahu?"

Lucy tak tahu harus merespons seperti apa. Saat bertemu dengan Haikal semalam, Lucy tidak bisa tertarik kepada cowok itu. Entah kenapa selama belasan tahun ini beberapa laki-laki menawarkan sebuah hubungan kepadanya, tetapi selalu Lucy tolak dengan halus karena hatinya sudah seperti batu.

Hari itu mereka memang membahas pernikahan dan Lucy yang memancing pembahasan jodohnya. Lucy memang tidak tertarik kepada Haikal meskipun bagi Zeline Haikal oke dari segi fisik, sifat, dan tentu mapan.

Hari itu, meskipun hati Lucy masih sulit untuk dimasuki, tetapi Lucy membalas perkataan Zeline dengan hal yang mencengangkan, "gimana kalau gue coba pendekatan sama dia?"

"Setuju! Banget!" seru Zeline, dia sangat tahu tentang Haikal. Lucy memandang Clarissa dan Clarissa juga sangat setuju dengan keinginan Lucy.

Mereka sudah berumur 31 tahun. Zeline sebentar lagi akan melahirkan anak keduanya. Clarissa yang satu bulan lagi akan menikah.

Dan Lucy mulai membuka hatinya untuk laki-laki lain; Haikal.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro