Chapter 15 ~ Bercabang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidup itu adalah pilihan.
Jika dihadapkan pada dua pilihan, maka pilih salah satunya.
Jangan lupa persiapkan untuk yang terburuk.
Karena melepaskan satu di antara dua itu sangat berat.
Ada harga yang harus dibayar setelahnya.
(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Masalah dengan sang kakak membuat Birendra semakin pusing. Ingin sekali dia melepas kepalanya kemudian membilas segala pikiran buruk yang terus mengganggunya. Masalah ini benar-benar membuat konsentrasinya sedikit pecah.

Beruntunglah dia sedang free hari ini sehingga perhatiannya bisa fokus pada beberapa anggota OSIS sedang berkonsultasi perihal pekan bahasa. Supaya tidak mengganggu kegiatan belajar-mengajar Birendra memilih perpustakaan untuk berdiskusi bersama siswanya.

"Sudah paham dengan tugasnya? Kalau begitu tinggal eksekusinya yaa," tanya Birendra kepada lima anggota OSIS di hadapannya itu.

"Silakan kembali ke kelas, jangan lupa tugas atau materi yang tertinggal dikejar ya."

"Iya, Mr. Bi. Permisi, kami kembali ke kelas."

"Terima kasih untuk waktunya. Jika ada yang belum paham bisa menghubungi saya di nomor tadi."

Mereka meninggalkan perpustakaan dengan tertib. Menyisakan Birendra yang menatap kosong meja di hadapannya, bersama dua orang petugas perpustakaan yaitu Lystia dan Rida.

"Kemarin ada ayam tetangga saya yang diem terus, kayak yang ngelamun gitu. Eh, besoknya mati!" kata Lystia sembari melirik ke arah Birendra yang masih terdiam.

"Matinya karena melamun?" Yang disindir akhirnya bersuara.

"Bukan! Ayamnya mati karena di sembelih mau dibikin soto sama yang punya." Ucapan Lystia di hadiahi dengkusan dari Birendra.

"Bu Lilis bercandanya gitu. Masa saya disbanding dengan ayam tetangga yang bernasib jadi soto ayam?" sanggah Birendra.

"Bapak masih saja ya suka sama susu seperti itu. Padahal olahan susu yang seperti itu malah bikin asam lambung naik, loh!" Lystia lantas menyodorkan ponselnya saat melihat susu kotak dan keju slice sudah terpajang manis di meja.

Birendra mengambil alih ponsel tersebut dan membacanya dengan seksama. Benar, olahan susu dengan lemak tinggi memang tak baik untuk lambung. Namun, setelahnya ada pembahasan lanjutan tentang susu yang justru baik untuk lambung.

Lemak itu memang tak baik untuk lambung, tetapi lemak tidak hanya berasal dari susu 'kan? Bisa dari daging dan makanan lainnya.

Nah, dari artikel itu Birendra akhirnya paham dirinya tetap bisa mengkonsumsi susu dengan aman asal itu berupa susu nabati, bisa susu skim, susu kedelai, susu kacang almond, ataupun susu rendah lemak lainnya.

"Makasih, Bu Lilis, saya jadi paham soal olahan susu yang aman untuk saya."

Belum juga Lystia menjawab, Birendra beranjak karena ada panggilan masuk dari Zio.

"Bi, balik cepat!" Perintah dari seberang telepon terdengar tegas.

"Asalamualaikum, salam dulu Zi!"

"Nggak sempat basa-basi. Cepat balik terus susulin kita ke RS Cipta Medika."

"Mau ngapain ke sana?"

"Banyak tanya lo, kunyuk!"

"Yee, lo juga nggak jelas kasih perintah, nyet!"

"Mama Ajeng pingsan, Bi! Ini sudah dibawa ke RS. Cepet lo nyusul!"

"Kenapa bisa pingsan? Mama sama siapa?"

"Ntaran aja gue jawab, cepet nyusul! Ayah Yudis masih otw, itu Mas Ganesh yang di ambulans nemenin Mama Ajeng. Nggak usah banyak bacot lagi!"

Birendra masih terpaku dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Padahal sambungan telepon itu sudah diputus secara sepihak oleh Zio.

Baru kali ini dia mendengar mamanya pingsan. Padahal pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah sang mama masih baik-baik saja.

Pikirannya menjadi tak tenang, Birendra bergegas mengemasi laptop dan barang lainnya yang masih berserak di salah satu meja di ruang perpustakaan. Dia lari kesetanan menuju ruangan Radit untuk memberi tahu soal mamanya.

🍁🍁🍁

"Panjang umur! Baru aja diobrolin udah muncul." Pak Tjah yang duduk di ruang konseling menoleh saat mendengar pintu dibuka.

Birendra menelan ludah karena kerongkongannya terasa kering. "Bapak cari saya? Ada apa?"

"Mas Birendra hari ini free 'kan? Boleh saya minta tolong?"

"Boleh, Pak, ta-tapi ...." Birendra mendadak gagap saat akan mengutarakan maksudnya.

"Tapi kenapa, Bi?" Kali ini abangnya yang bertanya.

"Nggak apa-apa, Bang! Mau minta tolong apa?"

"Ini, Mas, saya dapat laporan dari pihak kepolisian bahwa kemarin ada beberapa siswa yang terlibat tawuran dengan sekolah lain. Nah, beberapa siswa yang dianggap sebagai provokator ini ternyata tidak ada yang menjemput. Alasannya para orang tua malu karena kelakuan anak mereka." Sang kepala sekolah menjeda perkataannya sambil menghela napas.

"Ada sekitar lima belas siswa yang diringkus,  sepuluh sudah dijemput oleh pihak keluarga, sisa lima yang belum dan masih ngerasaain dinginnya hotel prodeo. Saya menugaskan Mas Birendra supaya menemani Pak Radit untuk menjemput mereka."

Birendra mengangguk paham pada situasi ini. Dia dilema, haruskah mengatakan permasalahannya atau menjalankan amanah dari sang kepala sekolah? Dia dihadapkan pada dua pilihan yang rumit.

🍁🍁🍁

Pada akhirnya, Birendra lebih memilih menjalankan amanah dari kepala sekolah. Dia berangkat ke kantor polisi guna menjemput dan menyelesiakan permasalahan siswanya. Mengabaikan sejenak gelisah yang terus menggerogoti hatinya.

Jika ditanya bagaimana perasaannya saat ini? Nano-nano! Sakit, sedih, ingin bertemu mamanya segera, tetapi tugas juga menunggunya. Dia sudah diberi amanah, maka harus bertanggungjawab pada amanah tersebut.

Di dalam mobil, Birendra yang tak banyak bicara menyita atensi Radit. Dari balik kemudi dia bisa melihat adiknya itu duduk dengan sangat tidak tenang.

"Ada apa, Bi?" tanya Radit.

"Nggak ada apa-apa, Bang!"

"Itu jargon kamu apa kalimat favorit?"

"Yang mana?"

"Itu yang barusan, 'nggak ada apa-apa', terus 'Bi, baik-baik saja'. Perasaan tiap ditanya jawabannya sama. Nggak kreatif semua jawabannya."

"Jangan terlalu sering pakai perasaan untuk menilai, Bang! Karena bisa jadi perasaannya sudah terkontaminasi."

"Makin ngelantur nih anak! Kesambet apaan? Ketemu sama siapa tadi?"

"Bi Cuma ketemu sama Bu Lilis, masa Bi kesambet dia, Bang?"

"Caelaah, yang sering nongkrong di perpus. Udah sampai mana tahap pendekatannya?"

Yang ditanya tak segara menjawab. Birendra fokus memandang jalanan yang ada dihadapannya sambil sesekali menatap jam yang melingkar ditangannya. Merasa diabaikan oleh adiknya Radit akhirnya bersuara keras.

" Cangcimen, cangcimen, mijon, mijon, lur puyuh, lur puyuh!" Suara Radit terdengar sangat mirip dengan suapa pedagang asongan yang biasa mangkal di terminal.

Birendra menatap abangnya heran. "Abang sejak kapan jualan? Laku? Kulakan di mana? Boleh ikut jualan nggak?"

"Ya Allah, Gusti! Setan apa yang sudah merasuki adik hamba! Kenapa dia jadi mendadak korslet begini otaknya!"

🍁🍁🍁

Sebelum berangkat, Birendra hanya berpikir tugas dari Pak Tjah itu hanya membebaskan mereka. Tak ada bayangan bahwa dia dan Radit juga harus mengantar pulang dan menjelaskan detail permasalahan yang dihadapi anak didiknya ini pada pihak wali murid.

Sudah hampir tiga jam lebih mereka bertandang dari satu rumah siswa ke rumah yang lainnya. Saat Birendra dan Radit keluar dari rumah siswa terakhir yang mereka antar, ternyata azan Asar berkumandang. Mereka bergegas mencari musola terdekat untuk melaksanakan kewajibannya.

Setelah selesai, barulah Birendra membuka suara. "Bang, lebih cepat ya! Bi mau ke rumah sakit."

"Iya, ini sudah cepat! Eh, kok ke rumah sakit? Siapa yang sakit?"

"Zio tadi telepon, Mama pingsan dan dibawa ke rumah sakit."

Mulut Radit sudah bersiap untuk mengoceh karena adiknya baru mengatakan hal segenting itu. Namun, urung dia ucapkan begitu melihat wajah adiknya itu sendu seperti dirundung penyesalan.

"Besok-besok, kalo ada urusan genting disampaikan saja," ujar Radit sambil mengacak surai lelaki di sampingnya itu.

"Bi sudah diberi amanah, harus bertanggungjawab. Bi nggak mau jadi orang yang lalai."

"Nggak apa-apa, sejauh ini kamu selalu melaksanakan amanah yang kamu dapat. Kamu hebat, Bi! Abang yakin kamu sudah paham apa dampaknya jika kamu melepas satu pilihan diantara dua, iya 'kan?"

Radit lantas menarik tangan adiknya untuk berdiri. Laki-laki itu juga merangkul erat bahu sang adik, menyalurkan kekuatan dan semangat untuknya.

Mungkin bagi kebanyakan orang, masalah Birendra adalah masalah yang terlalu sederhana. Nyatanya? Masalah itu adalah salah satu pilihan untuk melalui proses supaya menjadi lebih baik. Percaya atau tidak, adanya masalah juga merupakan proses untuk pendewasaan diri.

🍁🍁🍁

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!
Jangan lupa untuk vote dan komen. 😉😉

Dear hwarien & friends
HAPPY INTERNATIONAL DANCE DAY!

ONE DAY ONE CHAPTER

#DAY15
Bondowoso, 29 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro