Chapter 7 ~ Sepupu Masa Gitu?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tersadar ketika kau hadir.
Membawa senyum yang melumat takdir.
Menimbulkan rasa sesak yang bergelimang hingga akhir.
Ketika aku melemah, biarlah aku lengah.
Namun, jangan biarkan napasku terengah.
Karena setidaknya aku akan tetap berdiri dengan pongah!
(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Rasa gugup dan terkejutnya masih setia menemani. Bahkan ketika seorang Fabrizio Fauzan yang berstatus saudara sepupunya itu mendekat dan memeluk erat, Birendra masih saja berdiri membantu. Tak membalas pelukan hangat yang di berikan oleh Zio-sepupunya dari pihak sang ayah.

Ketika kecil, Zio dititipkan oleh ayah-bundanya di rumah Birendra. Zio datang tepat setelah Keluarga Wardhan menempati rumah baru yang sekarang mereka tempati. Lelaki yang usianya lebih muda empat tahun dari Birendra itu sudah dianggap anak bungsu oleh Ajeng dan Yudis.

Birendra tak terima dengan itu, dan dia sering cemburu ketika orang tuanya lebih perhatian pada Zio. Bahkan, kakaknya sendiri terlihat begitu nyaman jika bersama Zio. Seolah-olah semua orang terhipnotis dengan keberadaan sepupunya itu.

"Kenapa bengong? Nggak kangen sama adik bungsumu?" tanya Zio sembari mengurai pelukannya pada Birendra.

"Lo ngapain di sini? Mama sama ayah nggak ada, lagi keluar!"

"Aturannya itu kalo ada tamu disambut dengan baik, terus disuruh duduk, habis itu ditawari minum. Bukan malah dijutekin begini! Durhaka lo jadi sepupu!"

"Suka-suka yang punya rumah mau diapakan tamunya!" Birendra berucap dengan ketus pada Zio.

"Bro, lo nggak tahu apa belum diberi tahu sama Mama Ajeng? Tuh, lihat! Gue udah bawa barang dan koper segede gaban gitu masa lo nggak paham, sih? Gue resmi jadi penghuni rumah ini, terhitung sejak detik, menit, dan jam sekarang!" jelas Zio.

Birendra menggeleng tak percaya, pasalnya sang mama tidak memberi tahu sebelumnya tentang kedatangan Zio. Lelaki yang berstatus guru itu terduduk dan diam. Mengusap kasar wajahnya dengan sangat kesal.

Menerawang jauh ke masa kecilnya, Birendra harus berbagi kasih sayang dengan Zio yang dititipkan orang tuanya sejak dia masuk sekolah dasar hingga lulus SMP. Alasannya adalah orang tua Zio yang pergi menjadi TKI ke salah satu negara di Timur Tengah.

Sekarang apalagi yang dia hadapi? Baru empat tahun merasakan kedamaian menjadi anak bungsu, sepupunya itu kembali datang. Membawa banyak barang dan koper besar. Tidak mungkin jika dia hanya akan menginap seminggu atau dua Minggu.

"Ayah sama bunda berangkat lagi, Bi! Kali ini mereka ambil sepuluh tahun. Padahal gue dah bilang pengen hidup mandiri, tapi mereka kekeuh minta gue untuk tinggal di sini lagi, maaf! Mama Ajeng, Ayah Yudis, Mas Ganesh sudah setuju kalau gue tinggal di sini."

Birendra tak menanggapi apa yang dikatakan oleh Zio. Dia mengalihkan pandangannya berusaha menghindar dari tatapan mata Zio yang menajam. Bukannya Birendra tak paham keadaan hanya saja, kenapa dia tidak dilibatkan untuk memutuskan hal sepenting ini?

Jujur saja, ada rasa kecewa yang menembus relung hatinya. Birendra itu halus perasaannya, dia kasihan pada Zio yang sedari kecil harus terpisah dengan orang tuanya. Namun, Zio yang hiperaktif sering kali membuatnya jengkel dan terseret dalam masalah. Bahkan, Birendra sering dikambinghitamkan oleh sepupunya itu.

"Woy, jangan ngelamun aja! Mama Ajeng udah bilang, kamar gue di lantai dua bersebelahan dengan kamar lo. Beresin barang gue, gih! Capek nih!" ucap Zio sambil merebahkan dan menyamankan posisinya di sofa ruang tamu.

Baru saja sampai sudah membuat jengkelnya menembus ubun-ubun. Bagaimana nanti. Esok dan lusa? Sungguh Birendra ingin memaki. Namun, apalah dayanya, sudah tiga suara yang setuju Zio kembali ke rumah ini. Meski bersuara sekalipun suaranya akan kalah telak.

🍁🍁🍁

Sudah tiga Minggu Zio di rumahnya. Benar-benar terasa seperti miniatur neraka menurut Birendra. Bagaimana tidak? Sepupunya itu sungguh diperlakukan seperti anak bungsu. Ayahnya begitu manis pada Zio. Begitu juga dengan mamanya.

Di Minggu pertama, sepupu laki-lakinya itu masih sibuk dengan beres-beres. Merapikan beberapa barang, dan juga mengecat ulang kamarnya. Anak itu tak suka warna terang, sehingga warna abu-abu tua dia pilih untuk melapisi dinding kamarnya.

Birendra yang setiap malamnya sudah berkutat dengan pekerjaan baru, harus rela membantu Zio itu menata ulang isi kamarnya. Apalagi ketika akhir pekan, sungguh kadar manjanya akan meningkat tajam. Zio akan meminta Birendra melakukan ini dan itu, tak ada habisnya.

Ingin sekali Birendra mengadukan itu semua pada ayah dan mamanya. Namun, lelaki itu ingat pada ucapan mamanya ketika Zio kembali dibawa oleh orang tuanya. Mamanya pernah menasehati Birendra untuk tidak iri pada Zio, justru sebaliknya Birendra harus membatu dan menyayanginya layaknya sayang seorang kakak terhadap adiknya.

Mamanya juga berpesan jangan terlalu keras pada Zio. Bahkan mamanya pun meminta Birendra untuk mengalah supaya Zio betah tinggal di rumah itu, tetapi sayangnya wanita setengah abad yang dia panggil mama itu lupa satu hal. Sang mama lupa bahwa dia juga sering memintanya mengalah jika berurusan dengan kakaknya.

Di Minggu ke dua, Zio yang berjalan dengan tergesa-gesa tak sengaja menyenggol meja kecil tempat Ajeng memajang guci-guci kecil hadiah dari relasi suaminya jika berkunjung ke Indonesia. Sekitar empat atau lima guci menggelinding dan pecah berkeping.

Birendra yang sedang menikmati sorenya di teras, bergegas menghampiri Zio dan memintanya untuk membersihkan pecahan guci tersebut supaya tidak mencelakakan yang lain. Ketika mamanya bertanya, Zio justru dengan entengnya menjawab bahwa Birendra mengejarnya hingga menabrak meja kecil itu.

Yang dituduh merasa tak terima dan menyangkal. Namun mamanya telanjur marah dan memintanya segera membereskan kekacauan itu. Terang saja Birendra tak terima menegur Zio supaya mengatakan yang sebenarnya, tetapi anak itu hanya tertawa lebar dan berkata, "Bercanda aja, Bi! Gitu aja kok marah? Enjoy aja, Bro!

Di Minggu ketiga apalagi, Birendra benar-benar sudah habis kesabaran menghadapi makhluk yang satu itu. Selain menguras tenaga, anak itu juga mengikis kesabaran dan kedamaian di rumahnya, secara perlahan tapi pasti. Beruntunglah saat malam dia masih bisa menyegarkan pikiran sembari mengerjakan tugasnya sebagai editor.

🍁🍁🍁

Hari ini kakaknya akan pulang dari perjalanan keluar kota. Birendra menaruh harapan besar. Dia sudah menyiapkan banyak kata untuk ditumpahkan pada kakaknya.

Pintu rumah terbuka saat matahari sudah tenggelam.

"Asalamualaikum!" ujar Ganesh sambil menarik kopernya.

"Wa alaikum salam!" sahut mereka bersamaan.

"Mas Ganesh! Apa kabar? Baik-baik saja 'kan? Zio kangen nih!" rajuk Zio

"Sama, Mas juga!" Ganesh kemudian menoleh pada Birendra. "Sehat, Bi?"

Adiknya itu hanya mengangguk perlahan, kemudian beranjak dari duduknya.

"Mas, biar Bi yang bawa barang-barangnya ke kamar."

"Makasih, Bi. Tau banget yaa Mas lagi capek. Itu yang ada di tas hitam buat kamu."

Lagi, sang adik hanya mengangguk dan melangkahkan kakinya sembari menggeret barang bawaan Ganesh ke kamarnya.

"Mama lagi masak apa untuk makan malam?" Ganesh menghampiri mamanya yang sedang sibuk di dapur untuk mempersiapkan makan malam.

"Ini, ada tahu santen campur rambak, kesukaannya Zio sama tempe oreg kesukaanmu."

Sayup-sayup Birendra mendengarkan percakapan kedua saudaranya bersama sang mama. Sejak kedatangan Zio di rumahnya, apa-apa yang ditanyakan oleh mamanya adalah kesukaan Zio. Hal ini membuatnya benar-benar merasa terpinggirkan.

Sekembalinya dari menaruh barang di kamar kakaknya, Birendra berhenti sejenak saat melihat sang kakak menampakkan binar ceria ketika bercengkrama dengan Zio. Ada rasa iri yang bergelayut manja di hatinya.

Apalagi gelak tawa kakaknya itu tak berhenti sama sekali. Padalah jika bersamanya, sang kakak jarang menampilkan tawa lepas seperti apa yang dilakukannya barusan. Birendra memilih untuk menghindar, melewatkan makan malamnya dan melanjutkan pekerjaan daripada melihat kemesraan sang kakak bersama sepupunya itu.

Ketika dia menjauh, ada rasa tak enak dalam hatinya. Sedikit merasa tercubit dan sakit. Bahkan seperti ada bisikan yang bertanya dalam kepalanya. Sebenarnya, adik kandung Mas Ganesh itu dirinya atau Zio? Karena tampakknya sang kakak lebih nyaman jika bersama Zio.

🍁🍁🍁

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!
Jangan lupa untuk vote dan komen. 😉😉

Happy Kartini's Day!

Picture By:
Renanda Citra .D (my lovely niece)

ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY7
Bondowoso, 21 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro