Chapter 9 ~ Trauma

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika kenangan diuraikan, apa yang kau dapat?
Pahit, manis, asam, asin, baik dan buruk, semua bersatu.
Tak hanya ada satu rasa untuk membentuk kenangan.
Tak hanya ada satu cerita untuk membentuk kenangan.
Ada banyak kisah dan kejadian untuk terangkai menjadi kenangan.
(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Saat istirahat pertama berlangsung, Birendra yang sudah mulai membaik berpamitan kepada Lystia. Tak lupa ucapan terima kasih juga dia lontarkan. Dengan membawa kembali tas ransel berwarna hitam itu, dia melenggang dan menuju ke ruangan Radit.

Birendra menunggu sejenak di luar ruangan karena abangnya sedang berbicara dengan sosok wanita paruh baya. Bila tak salah menebak, wanita itu pasti salah satu wali murid yang mendapat panggilan dari pihak sekolah.

Begitu wanita itu selesai berurusan dengan Radit, Birendra langsung saja masuk tanpa permisi, tanpa dipersilakan pula. Radit yang kaget memundurkan tubuhnya dan memberi jalan untuk saudaranya.

"Kenapa, Bi?" tanya Radit saat melihat saudaranya langsung merebahkan tubuhnya di kursi panjang.

"Pusing, Bang!"

Sebagai guru BK, Radit memang diberi ruangan khusus untuk tempat konsultasi siswa yang sering bermasalah atau membutuhkan bimbingan. Ruangannya ber-AC, dengan satu set kursi seperti layaknya ruang tamu pada umumnya. Dua kursi tunggal dan satu kursi panjang.

"Kamu telat?"

"Bisa jadi, Bang! Soalnya mual-mual terus, nih!"

"Eh ..., kunyuk! Abang serius nanya! Maksudya itu telat datang ke sekolahnya terlambat?"

Birendra hanya mengangguk dan menggunakan lengannya untuk menghalau silau dari lampu ruangan . Tiba-tiba Birendra mendudukkan badannya yang mendadak mual. Dia bergegas mengambil air kemasan dan menandaskan isinya.

"Tadi telat datang, sampai di depan dimintai tolong sama Pak Tjah untuk bantu Bu Lilis buat ngeberesin dan masukkan identitas buku ke dalam data perpustakaan." Birendra mengakhiri dengan helaan napas dan sedikit meringis saat nyeri kembali merambati perutnya, meski tak separah tadi.

"Kok pucat, Bi? Perutnya kenapa?"

"Mag-nya kambuh, Bang! Telat ngisi, jadi protes habis-habisan. Mana protesnya di depan Bu Lilis." Birendra mengusap kasar wajahnya.

"Siapa, Bi?"

"Bu Lilis, Bang!"

"Siapa? Siapa?"

"Bu Lilis! Ish ..., Abang mah sukanya godain!"

Ada suara salam yang mengalihkan perhatian kedua lelaki tersebut. Kompak mereka menoleh ke arah sumber suara. Di pintu yang terbuka, seorang siswa berdiri dengan membawa kantong kresek berwarna putih, berlabelkan nama apotek yang berada di jalan menuju ke sekolah ini.

"Permisi, Pak ..., Bu Lystia meminta saya untuk mengantarkan ini. Katanya untuk Mr. Bi." Siswa itu lantas meletakkan bungkusan yang dibawanya di atas meja. "Saya pamit dulu, permisi."

"Le, bilang sama Bu Lystia, terima kasih dari Mr. Bi. Terima kasih juga untuk kamu yang sudah mau mengantar ke sini," ujar Birendra.

"Wah! Sepertinya sudah mendekat ini. Aroma romansa muda-mudi akan menguar dengan hebatnya, sebentar lagi."

Selesai menggoda, Radit fokus kembali menanyakan perihal pekerjaan barunya sebagai editor lepas. Birendra kembali menghela napasnya. Seperti ada beban yang menindih di dadanya. Lelaki yang belum lama menjadi guru itu menceritakan beberapa kesulitannya menjadi editor lepas.

Birendra mengeluhkan, ternyata perkiraannya selama ini salah. Awalnya dia berpikir bahwa menjadi editor hanyalah menandai beberapa hal yang tidak sesuai dengan KBBI dan PUEBI, nyatanya dia salah besar.

Begitu terjun dalam dunia literasi, khususnya menjadi editor naskah, setidaknya dia harus memiliki tujuh kemampuan dasar. Yaitu mampu membaca cepat, dapat menyusun kalimat yang enak dibaca dan mudah dipahami, sanggup menilai kelayakan sebuah naskah, bisa membuat susunan buku yang tepat, memilik kemampuan melihat trend khususnya di dunia perbukuan, berkomunikasi dengan baik kepada penulis dan pihak-pihak lain yang saling berkaitan, dan yang paling penting adalah mampu mengerjakan tugas di bawah tekanan deadline.

Dengan tujuh hal yang disebut tadi, Radit sudah menggeleng tak percaya. Dia hanya mengusap pelan bahu yang merosot milik Birendra.

"Tapi gaji yang akan kamu terima sebanding dengan ribet yang kamu lalui 'kan?" tanya Radit sambil menaik-turunkan alisnya beberapa kali. "Kalo memang seperti yaa sudah, aman hidupmu, jangan lupa bagi royalti sama Abang. Karena Bang Radit yang menjerumuskanmu dalam kubangan berduit itu." Gelaknya terdengar menggema di ruang yang tertutup itu.

"Dasar, Abang mata duitan!"

🍁🍁🍁

Selama menanti jam mengajarnya, Radit mengajak Birendra untuk membuat teh hangat di dapur sekolah. Setidaknya teh hangat itu lebih nyaman dan meredam mual yang tak kunjung hilang.

Begitu memasuki dapur sekolah, bukannya mendapatkan teh hangat, justru bau bangkai yang menyapa mereka berdua. Birendra dan Radit menutup hidungnya rapat. Meski begitu, gejolak dalam perut Birendra yang memang sedang tidak baik-baik saja itu semakin menggila.

Seperti ada yang mengaduk perutnya dengan serampangan. Namun, dia menahan dengan sekuat tenaga untuk tidak memuntahkan isi perutnya, sayang.

"Pak Parmin, kok bau bangkai begini?" tanya Radit sedikit mengernyit saat bau itu menggelitik hidungnya lagi.

"Oh ..., ini sepertinya ada bangkai binatang ini, Mas, tapi belum ketemu di sebelah mana. Mas Radit bisa bantu nggak? Biar cepat ketemu. Kalo perkiraan saya sih di balik lemari. Karena baunya santer banget dari sana. Bantu geser lemarinya saja," pinta Pak Parmin.

"Bi, bisa bantuin? Lemarinya lumayan gede itu, sanggup nggak? Kalo nggak sanggup bilang saja, Abang bisa panggil yang lain saja."

Birendra hanya mengangguk pasrah dan segera bergeser ke sebelah Radit untuk mendorong lemari tersebut. Lemari dua pintu berbahan kayu jati itu hanya di geser oleh tiga orang saja. Tentulah mereka sangat kesusahan.

Setelah berhasil menggesernya, hanya Pak Parmin yang memeriksa bagian belakang lemari itu. Birendra memilih untuk mengistirahatkan badannya yang basah bermandikan keringat.

Radit dan Pak Parmin sama-sama mendesis dan mengeluarkan benda yang menjadi sumber bau. Benda panjang berwarna gelap itu sudah tidak utuh lagi. Sebagian tubuhnya digerogoti belatung.

Seekor ular yang panjangnya kurang dari lima puluh sentimeter, dengan tubuh berdiameter sekitar dua sentimeter itu diraih dengan gagang sapu oleh Radit. Sedangkan Pak Parmin mempersiapkan alat kebersihan dan desinfektan untuk membersihkan area tersebut.

Otak usil Radit mulai bekerja, dibawanya bangkai ular tadi kehadapan Birendra. Maksudnya untuk memberitahukan bahwa itu adalah sumber bau yang dicari sedari tadi. Birendra yang fokus menggulung lengan baju menoleh ketika Radit memanggil.

Begitu membalikkan badan sepenuhnya, Birendra membelalakkan matanya. Benda panjang yang menggantung di sapu itu membuat tubuhnya bergidik .

"Nah! Ini nih yang jadi masalahnya, Bi!" Radit memajukan sapunya membuat bangkai ular itu bergoyang dan jatuh tepat di dekat kaki Birendra.

Sontak, Birendra melompat dari kursi, merapatkan tubuhnya ke dinding.

"Lah! Malah ceblok!" ujar Radit dengan logat Jawa yang kental.

"Bang ..., buang ..., buang, Bang!" pinta Birendra dengan suara lirih.

Radit masih terlalu fokus pada bangkai ular itu. Dia baru mendongak kala mendengar deru napas yang terdengar memburu. Barulah dia menyadari bahwa sosok dihadapannya itu terlihat sangat mengenaskan.

Wajahnya pucat, seakan-akan tak ada darah yang mengalir di sana. Belum lagi dengan napasnya yang memburu, baju dan kening Birendra bahkan sudah basah dengan keringat.

Jaringan koneksi Radit ternyata sangatlah lambat. Bukannya segera mengambil dan membawa bangkai itu, sang guru BK malah memperhatikan wajah Birendra dan bangkai itu secara bergantian.

"Bang Radit! Buang! Bi nggak kuat, Bang!" Teriakan Birendra seolah memulihkan jaringan di otak Radit.

Dia baru teringat bahwa adik lelakinya itu memiliki trauma hebat terhadap binatang melata. Bukan hanya ular saja, biawak, buaya, tokek, bahkan cicakpun Birendra tak suka. Bergegas Radit membawa bangkai itu keluar, meninggalkan Birendra yang masih gemetar dan lemas.

Birendra memiliki pengalaman buruk saat kecil. Dia pernah digigit ular hijau saat bermain di kebun kakeknya di Jawa Timur. Hal ini mengakibatkan kakinya bengkak selama lebih dari seminggu.

Belum lagi pengalamannya bersama cicak. Saat masih SD, sepulang sekolah dia sudah sangat kelaparan. Mamanya memintanya untuk bersabar. Namun, dia kekeuh ingin mengambil nasi di pemanas nasi sendiri. Begitu dibuka, nahas! Seekor cicak sudah terbujur kaku tak bernyawa.

Birendra menangis seharian karena menahan lapar. Mama dan ayahnya berusaha untuk mengajaknya makan, tetapi baru beberapa suap, Birendra memuntahkannya kembali. Alasannya dia masih terbayang mata cicak yang membelalak seolah menatapnya.

Radit kembali, mencuci tangannya, kemudian menghampiri adiknya yang masih membeku dan bersandar ke dinding. Birendra berkali-kali menggelengkan kepala. Dia berusaha menghalau ingatan tentang bangkai tadi.

"Bi ...." Radit memanggilnya perlahan dan memegang lengan adiknya saat tubuh itu merosot dan terduduk di lantai dengan tatapan sayu.

"Bang ..., kakiku lemas nggak berasa apa-apa."

"Maaf, Abang lupa soal binatang itu, Bi! Abang antar pulang saja, ya?"

"Masih mau ngajar! Tapi lemas!"

"Nggak usah belagak batu, kamu nggak akan bisa fokus ngajar kalo gini."

Birendra tak menjawab, menyandarkan kepalanya ke dinding sambil memejamkan mata. Kernyitan timbul di dahinya, perutnya mual. Sadar bahwa sesuatu mulai naik ke kerongkongannya, Birendra mencari tergesa mencari pegangan untuk berdiri.

Ditemani Radit, Birendra masuk ke kamar mandi di sebelah dapur. Mualnya teramat parah, satu kali lelaki itu memuntahkan isi lambungnya. Double kill! Muntahan kedua terdengar. Triple kill! Muntahan ketiga kembali terdengar. Savage! Muntahan keempat terdengar, di sertai dengan batuk karena tak ada apa-apa lagi yang bisa dikeluarkannya selain cairan lambung yang pahit itu.

Habislah menu sarapan yang dia nikmati di perpustakaan, tak bersisa sama sekali di lambungnya. Birendra lemas, tubuhnya benar-benar kehilangan tenaga. Akhirnya Radit meminta bantuan Pak Parmin untuk memapah Birendra ke ruang UKS.

"Bang, ini hari apa, ya?"

"Kok tanya hari? Kenapa?"

"Macem hari sial ini, Bang!"

"Mulutnya, Bi!" jawab Radit sambil membekap mulut adiknya yang tengah berbaring di ranjang UKS.

"Beneran, Bang! Mama lupa sama bekalku, terus lambungku manja minta perhatian, terakhir dikasih bingkisan ular sama Bang Radit. Ibarat kata pepatah; sudah jatuh dari atap, kaki tertusuk paku, masih juga ketiban tangga."

"Mana ada pepatah model begitu , bocah! Tidur aja, gih! Itu muka kamu sama bantal udah samaan. Sama-sama nggak berwarna!"

"Ngajarku setelah jam istirahat ke dua, Bang!"

"Nurut nggak? Apa perlu dipanggilkan pawangnya?"

"Ha? Pawang apaan, Bang?"

"Pawang hatimu!"

"Hatinya siapa, Pak?"

Suara perempuan terdengar mengisi ruangan tersebut. Kedua lelaki itu langsung menoleh dan langsung salah tingkah. Radit berdeham, sedangkan Birendra memilih menutup mata dengan lengannya.


🍁🍁🍁

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!
Jangan lupa untuk vote dan komen. 😉😉

Sekedar info, pas lagi ngetik bagian nemuin bangkai ular, kakakku lagi ribut di samping rumah. Dan yang bikin heboh, ternyata ada ular yang dijadikan mainan sama kucing. Jadilah keponakan dan bapaknya berburu ular.
Hmm, jangan-jangan ....



Selamat Hari Buku Internasional, 23 April 2020


ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY9
Bondowoso, 23 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro