Luapan perasaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Andra...
Apa mencintaimu adalah luka?
Apa kamu tak pernah melihat luka hatiku sedikit saja?
Apa kamu tak pernah mempedulikanku sedetik saja?
Kenapa kamu mengoreskan luka hatiku?
Jawab Andra, jawab!
Jika awal hubungan kita membawa luka, kenapa di teruskan?
Apa memang kamu sengaja?
Winda menutup buku diarynya setelah menuliskan luapan isi hatinya untuk Andra sambil menyenderkan bahunya di kursi meja belajarnya.

"Kenapa, Ndra? Kenapa? Aku benci Ndra sama kamu. Aku berharap nggak ketemu penipu kaya kamu lagi yang bisanya cuma melukai hati perempuan!" gumam Winda geram. Ia masih tak percaya dengan yang dilakukan Andra yang menurutnya mempermainkan perasaannya.

Perasaannya masih panas. Apa iya mencintai seseorang hanyalah goresan luka? Seakan ia sudah tak percaya apa yang namanya cinta karena seorang Andra sudah memupuskan harapannya begitu saja tanpa ada kejelasan dari Andra.

Tiba-tiba ponselnya berdering, dengan rasa malas ia mengangkat telepon dari nomor yang tidak di kenal.

"Ini siapa?" tanya Winda di dalam telepon.

"Gue Rati. Mantannya Andra. Gue disuruh Andra buat jelasin semuanya ke lo." Jawab Rati dengan nada serak.

Deg
Kenapa Andra meminta mantannya untuk menjelaskan semuanya. Apa yang terjadi kemarin hanya salah paham belaka?

"Maksud?"

"Pas gue bilang Andra masih sayang sama gue, gue bohong. Semuanya itu cuma tipu muslihat gue aja buat hancurin hubungan lo sama Andra. Gue minta maaf," jelas Rati panjang, lebar.

"Iya, nggak apa."
Tak ada rasa marah lagi dalam hatinya. Semuanya sudah jelas. Mungkin ia lah yang harus mengalah karena mantannya masih sangat menyayangi Andra.

Mereka saling terdiam dalam telepon dan akhirnya Winda angkat bicara. "Kamu masih sayang, ya sama Andra?"

"Jujur iya. Tapi udahlah lupain aja. Gue janji nggak bakal ganggu lo sama Andra lagi."

"Kenapa gitu? Kayanya Andra juga masih sayang sama kamu."

"Nggak lah. Andra itu sayangnya sama lo bukan gue. Gue berharap lo bisa baikan sama Andra," ucap Rati kemudian menutup sambungan teleponnya.

Ucapan Rati barusan membuat Winda bergetar. Apa benar Andra lebih menyayangi dirinya di bandingkan mantannya itu? Rasa bingung kini berada di benaknya. Entah apa yang harus ia lakukan kalau semisal Andra ingin memperbaiki hubungan mereka berdua. Sepertinya tidak, lebih baik ia berteman baik dengan Andra bukan menjadi pacarnya.

Awalnya ia pikir memiliki seseorang yang di cintai akan membuat bahagia. Nyatanya tak seindah apa yang dibayangkan. Apalagi banyak rintangan untuk mereka berdua. Ya, seharusnya rintangan di hadapi bersama bukan alasan untuk menyerah. Ia tahu akan hal itu, tapi rasanya ia sudah tidak sanggup lagi.

             ****
"Win," Andra menghampiri Winda yang tengah duduk di depan kelas dan Winda menoleh. "Apa?"

Andra bermaksud menjelaskan semuanya supaya tidak ada kesalahpahaman di antara mereka lagi. Toh Rati juga sudah menjelaskan semua lewat telepon. Andra melakukan ini semua karena Andra sangat menyayangi Winda. Ia tak mau kehilangan Winda, sosok perempuan yang sangat ia cintai.

"Semua udah jelas, kan?" tanya Andra kemudian sambil menatap Winda.

Winda hanya mengangguk. Tapi ia tetap pada pendiriannya, ia tak mau balikan dengan Andra kalau Andra memintanya balikan sekalipun. Meskipun perasaan terhadap Andra masih sama. Ia hanya tak mau di antara mereka ada yang terluka, suatu saat nanti.

"Berati kita bisa dong baikan lagi?" tanya Andra penuh harap.

Winda menggeleng pelan. "Maaf, Ndra. Aku nggak bisa. Lebih baik kita temenan aja."

Andra kaget mendengar ucapan Winda. Hatinya hancur seketika. Dunia seolah akan kiamat. Apa maksud Winda menolaknya untuk baikan? Apa sudah tak ada rasa  cinta lagi untuknya semenjak kesalahpahaman di antara mereka. Pertanyaan itu bermain di otaknya. Pupus sudah harapannya. Apa yang harus ia lakukan untuk meyakinkan seseorang yang ia cintai untuk kembali percaya pada dirinya.

"Kenapa, Win?"

Winda mengangkat bahuya. "Nggak apa, Ndra. Aku mohon satu lagi, jangan ganggu hidup aku lagi. Biarkan kita punya jalan hidup masing-masing."

Andra tak percaya, Winda menyuruhnya menjauh dari hidupnya. Bagaimana bisa? Ia tak kan mampu. Jujur semenjak ia dekat dengan Winda, ia sangat nyaman dan tak bisa jauh darinya.

"Kamu benci sama aku?"

"Aku nggak benci sama kamu, Ndra. Jangan tanya kenapa. Aku nggak akan jawab," gumam Winda lirih.

Winda beranjak dari duduknya, berdiri sambil sedikit melihat ke arah Andra. Ia takut melirik Andra. Entah ekspresi  apa saat  ia menyuruh Andra untuk menjauh dari hidupnya.

"Kenapa kamu lakuin ini ke aku? Aku sayang sama kamu. Tapi balasan kamu ke aku kaya gini," Andra berteriak sampai semua mata tertuju padanya melihat apa yang terjadi di antara mereka berdua. Tetap saja Winda pergi, tanpa menghiraukan ucapan Andra.

Diva yang tahu kejadian itu langsung menghampiri Andra yang terlihat lesu.

"Maaf ya, Ndra. Semua ini gara-gara gue," ucap Diva merasa bersalah. Andai saja waktu itu ia tak langsung memberitahukan Winda tanpa tahu kebenarannya, pasti keadaannya tidak tambah runyam.

Andra tersenyum tipis. "Bukan salah lo kok. Mungkin Winda emang nggak mau percaya sama gue lagi. Padahal gue udah jelasin semua, Rati juga udah jelasin semua. Tapi sama aja Winda gue ajak baikan nggak mau dan lebih parahnya lagi dia nyuruh gue jauhin dia."

Mata Dita terbelalak kaget. Ia masih tak percaya Winda menyuruh Andra untuk menjauhinya. Yang ia tahu, Winda sangat menyayangi Andra. Apalagi akhirnya Winda bisa bersama dengan orang yang ia sukai sejak dulu.

"Apa alasan dia bilang kaya gitu ke lo, Ndra?"

"Gue nggak tahu."

"Bentar ya Ndra. Gue mau cari Winda. Kali aja gue bisa ubah pikiran dia."

Diva berlari mengejar Winda yang sudah terpaut jauh.

"Winda. Tunggu." Suara Diva berteriak, spontan membuatnya menengok dan menghentikan langkahnya. "Kenapa, Div?"

"Kenapa kamu nyuruh Andra jauhin kamu? Maaf, soal info yang kemarin. Nggak seharusnya aku bicara yang belum tahu kebenarannya." Ucap Diva merasa bersalah lagi saat melontarkan kata itu.

Winda maju dua langkah menghampiri Diva, lalu menepuk bahu temannya itu. "Bukan gara-gara kamu kok, Div. Ya mungkin udah jalannya aku sama Andra kaya gini." Winda berusaha tersenyum walapun dalam batinnya terluka.

"Tapi apa harus nyuruh Andra buat jauhin kamu?"

Winda menghela napas panjang. "Hmmm... udah ya jangan di bahas."

"Kamu bisa bohongin orang tentang perasaan kamu. Tapi kamu nggak bisa bohongin perasaan kamu sendiri, Win," jelas Diva. Ia tahu membohongi perasaan sama saja membohongi diri sendiri dan itu hanya membuat terluka.

"So?"

"Jangan suruh Andra jauhin kamu. Kamu nanti menyesal." Diva berusaha memberikan pengertian agar Winda bisa sadar hal yang di lakukannya melukai perasaan Andra.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro