CHAPTER 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sosok hitam dengan topeng putih itu melambaikan tangan, sesekali mengelap bagian mata di topengnya dengan sapu tangan. Jika dilihat sekilas, makhluk bertopeng itu tidak menangis, tetapi gerakannya seolah-olah mengatakan ia sedih. Gilbert menengadah, langit berbintang yang indah itu menjadi pemandangan terakhirnya sebelum portal berbentuk lingkaran aktif.

"Sampai jumpa, Makhluk Sial! Kalian bebas!" seru makhluk bertopeng itu. Dari nadanya terdengar isak tangis. "Aku akan merindukan kalian."

Di bagian lingkaran portal tersebut, air bergerak memutar. Lama-lama seperti air yang tercampur tinta dan siapa pun yang masuk ke sana akan kembali ke tempat asalnya. Di tengah suara-suara para manusia yang saling berpamitan, Gilbert menunduk. Semilir angin sejuk malam itu membuat rambut hitamnya bergerak pelan, mengikuti arah angin. Mata cokelatnya memperhatikan sepatu hitam yang ia kenakan. Lelaki itu enggan melangkah, walau teman-temannya sudah lebih dahulu masuk ke dalam portal.

Tangan lembut seorang perempuan menyentuh pipi Gilbert. Gadis itu tersenyum, lalu memeluknya dengan erat. Dari sana hati Gilbert makin menolak untuk meninggalkan tempat itu. Maka, ia pun memejamkan mata, membiarkan pelukan hangat perempuan itu menjadi hal terakhir yang ia rasakan.

"Sampai jumpa lagi, Gilbert."

~o0o~

Kereta baru saja memasuki terowongan ketika suara tangisan bayi pecah. Beberapa orang melirik ke sumber suara, lalu kembali ke aktivitas mereka. Tatkala James Ferngrin menggerutu, Gilbert langsung saja terbangun. Jendela kereta kini memantulkan bayangannya karena kepalanya menempel ke kaca. Wajah kusut sehabis bangun tidur terlihat jelas di mata Gilbert, tetapi bukan itu yang membuat suasana hatinya kacau.

Sejak bangun dari tidurnya, Gilbert merasa sangat sedih. Ia tidak ingat apa yang membuat suasana hatinya memburuk. Padahal ingatan terakhirnya adalah lelaki itu membeli beberapa bungkus wafer dan makanan kucing di mini market bersama James, lalu bergegas menaiki kereta. Setelah mendapat tempat duduk, ia makan sebungkus wafer dan tidur.

Gilbert lantas mencoba mengingat mimpinya, berpikir bahwa mungkin penyebab suasana hatinya kacau berasal dari mimpi. Namun, kepingan-kepingan mimpi yang berantakan itu tidak membantu sama sekali. Bahkan, menurutnya mimpi tadi itu biasa saja. Langit malam berbintang dengan semilir angin yang sejuk.

Kereta kini keluar dari terowongan, membuat cahaya siang itu kembali menyinari bagian dalam gerbong. Gilbert lekas menoleh ke jendela, matanya melihat pemandangan kota Luxi diiringi rasa rindu.

Aneh, padahal aku pergi ke ibu kota hanya sehari saja, batin Gilbert seraya menggaruk kepala.

"Nak, kalau sudah sampai stasiun, bangunkan, Ayah," ujar James sambil memejamkan mata.

Gilbert menoleh, di sampingnya duduk sang ayah dengan wajah lelah. Alih-alih mengomeli sang ayah karena tidur padahal stasiun sudah dekat, Gilbert justru terdiam. Sekali lagi muncul rasa rindu dari dalam hatinya, bahkan matanya nyaris berkaca-kaca. Perasaan yang ia sendiri tidak tahu penyebabnya itu cukup membingungkan, sehingga membuat Gilbert lebih banyak diam.

Setelah kereta benar-benar berhenti di stasiun dan ayah-anak itu berjalan menuju tangga dekat peron, otak Gilbert masih menggali seputar mimpinya. Berharap potongan mimpi yang hilang bisa ditemukan dan ia bisa tahu penyebab suasana hatinya memburuk. Namun, mau sekuat apa pun ia mengingatnya, tak ada kepingan mimpi yang muncul. Bahkan, sepotong cuplikan mimpi acak yang ia ingat saja jadi tidak jelas, kecuali langit malam berbintang dan semilir angin.

Lelaki itu nyaris saja menabrak orang lain tatkala berjalan menuju pintu keluar, untungnya ia buru-buru tersadar dari lamunan dan meminta maaf sebelum mengejar sang ayah. Pintu keluar terlihat jelas di depan mata. Orang-orang berjalan cepat melewati Gilbert yang terlihat kebingungan. Begitu kakinya berhasil menginjak trotoar, lelaki itu menengadah. Matanya memperhatikan bangunan-bangunan di depannya, sementara telinganya menangkap suara hiruk-pikuk di sana.

"Tempat itu damai sekali," gumamnya.

"Apanya yang damai?" tanya sang ayah tiba-tiba.

Gilbert cepat-cepat menoleh, matanya membelalak. Kemudian, ia menggeleng pelan. "Bukan apa-apa."

"Oh, ya sudah. Makan apa hari ini?" James mengedarkan pandangan. Netra lelaki itu kemudian berhenti di sebuah restoran tak jauh dari posisi mereka.

"Onigiri," jawab Gilbert cepat.

Sebenarnya, Gilbert tidak terlalu ingin makan. Namun, entah mengapa otaknya tiba-tiba memunculkan memori onigiri berbentuk kucing. Ia sendiri tidak ingat kapan dan di mana pernah memakan onigiri itu, sebab seumur hidupnya ia hanya memakan onigiri dengan bentuk yang paling umum, segitiga.

"Ayah ingin mie instan pakai telur setengah matang," imbuh James sembari memasukkan satu tangannya ke dalam saku jaket. "Beli saja di mini market kalau kau ingin onigiri."

Pada akhirnya, kedua lelaki itu membeli onigiri dan mie instan di mini market. Untung saja, di sana menyediakan layanan menyeduh mie instan cup beserta topping tambahan berbayar dan tempat untuk makan. Jadi, ayah-anak tersebut memutuskan untuk makan di sana seraya memperhatikan jalanan yang ramai.

Acap kali Gilbert mengunyah onigiri topping tuna, ia merasa tidak seenak onigiri bentuk kucing. Selain itu, lelaki itu juga merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Gara-gara hal ini pula, Gilbert jadi tidak mood untuk melanjutkan makan dan memilih memberikan onigirinya pada sang ayah.

"Tumben sekali makanmu tidak habis," kata James disertai kernyitan dahi.

Gilbert merunduk, tangannya sibuk membuka tas yang diletakan dekat kakinya. "Kenyang."

Tatkala Gilbert berhasil membuka tasnya dan mencoba mencari makanan kucing, matanya membelalak. Di sana ia menemukan sebuah buku yang tidak pernah dimilikinya. Buku itu berwarna hitam dengan sampul taburan bintang seperti di langit malam. Ketika disentuh, sampulnya terasa halus dan bagian kertas halamannya berwarna putih. Karena buku ini pula Gilbert bingung. Ia merasa buku itu bukan miliknya, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana buku itu bisa ada di tasnya.

Gilbert mengeluarkan bukunya seraya bertanya, "Ayah, buku ini milikmu?"

James yang baru saja menyeruput kuah mie langsung melirik putranya, kemudian lelaki itu menggeleng. "Bukan."

"Lalu ini punya siapa---Oh!" Perkataan Gilbert terhenti saat ia membuka halaman pertama buku tersebut dan ada namanya di sana.

"Itu punyamu," tukas James sambil beranjak dari kursi untuk memesan makanan lain.

Seingat Gilbert, ia tidak pernah memiliki buku itu. Namun, namanya yang tertulis di halaman pertama membuatnya bingung. Lelaki itu mulai berpikir jika ingatannya jadi kacau semenjak kembali dari ibu kota. Padahal ia dan ayahnya pergi ke ibu kota untuk mengobati penyakit misteriusnya. Seharusnya ia baik-baik saja, tetapi sekarang Gilbert meyakini pengobatan itu memiliki efek samping ke ingatannya.

Tiba-tiba saja di kepalanya muncul sekelebat ingat soal penyakit misteriusnya. Bercak hitam yang menyebar dari dada hingga lengan kiri itu, membuat Gilbert cepat-cepat memeriksa tubuhnya. Jadi, lelaki itu segera meletakan kembali buku ke dalam tas, lalu bergegas menuju toilet umum. Di sana ia segera melepaskan jaket, lalu membuka satu per satu kancing kemeja. Bercak hitam itu masih ada, tetapi ukurannya jelas lebih kecil dari terakhir kali ia ingat. Besarannya hanya melingkupi dada hingga garis ketiak kiri.

"I-ini ... mengecil? Apa pengobatannya berhasil?" gumam Gilbert.

Dari sorot matanya, lelaki itu terlihat memiliki secercah harapan untuk sembuh. Walaupun dalam lubuk hati terdalamnya ia takut akan kemungkinan peluang hidupnya yang sedikit. Penyakit misterius itu meninggalkan bekas yang terlihat di tubuh penderitanya semenjak mereka lahir. Gejala lainnya yang sering kambuh meliputi sesak napas, sakit kepala, rasa terbakar di mana bercak hitam itu mulai meluas, bahkan bisa menyebabkan kehilangan kesadaran. Dulu, Gilbert mengira bahwa penyakit ini memang bisa dikatakan seperti penyakit pada umumnya yang ada obatnya, sampai ia tahu kalau itu bukan penyakit. Sebab penderitanya rata-rata memiliki darah campuran dari ras lain selain penyihir dan manusia. Sampai-sampai Gilbert menyebutnya sebagai kutukan nasional.

Gilbert tidak pernah menyalahkan ayahnya yang seorang manusia menikahi mendinag ibunya yang berasal dari ras yokai. Meski ia sendiri tidak tahu jenis yokai mendiang ibunya. Lelaki itu hanya marah pada siapa pun yang membuat kutukan tersebut sehingga menjadi masalah nasional. Akan tetapi, tak ada satu pun penyihir yang bisa menghilangkan penyakit misterius itu.

Para penyihir kerajaan memang tidak berguna, pikir Gilbert seraya mengancingkan kembali bajunya.

Setelah selesai, Gilbert kembali menghampiri ayahnya di luar minimarket, tempat meja-meja untuk makan diletakan. James di sana sibuk mengunyah kroket sembari ditemani seekor kucing liar bercorak calico. Sontak saja langkah Gilbert terhenti, netranya membelalak kala otaknya mulai memunculkan sebuah nama.

"Paimon."

"Siapa?" James mendongak, matanya memperhatikan sang putra yang kebingungan.

Namun, lagi-lagi Gilbert seperti orang linglung, sehingga membuat James cukup khawatir.

"Nak, dari tadi Ayah perhatikan kauterlihat seperti kebingungan. Ada apa denganmu?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro