CHAPTER 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesuai janji, Alan mengajak Gilbert dan Bonnie ke rumahnya setelah berbelanja di minimarket. Rumah Alan memang tidak sejauh rumah Gilbert dan Bonnie, sebab jika hanya menaiki kereta lokal ia akan turun di pemberhentian pertama. Letaknya berada di dalam perumahan yang agak sepi. Menurut Alan, para penghuni perumahan itu kebanyakan pekerja yang pulang malam, sangat sedikit anak usia sekolah di sana. Walau begitu, Gilbert menganggap perumahan itu tenang dan cocok untuknya yang tidak suka lingkungan berisik.

Bangunan dua lantai itu terletak di ujung jalan, berdempetan dengan pagar pembatas antara perumahan dan daerah lain. Di sisi lain pagar pembatas yang menjulang tinggi, sebuah toko berdiri di sana. Rumah Alan memiliki desain minimalis modern, mungkin paling minimalis modern di antara rumah-rumah lainnya di jalan yang sama. Dari luar, Gilbert sudah bisa merasakan bahwa rumah itu benar-benar nyaman, persis seperti rumah impiannya. Hanya saja tamannya kalah besar dengan ukuran taman rumah Gilbert.

Setelah puas melihat-lihat serta menunggu Alan membuka pintunya, Gilbert berjalan masuk ke dalam rumah tersebut. Sama seperti keadaan di rumahnya, rumah Alan pun sepi. Temannya itu bilang jika orang tuanya sedang dinas di luar kota dan tidak akan pulang sampai lusa.

Ketiga remaja itu mulai bergerak ke arah dapur, mengeluarkan barang belanjaan, dan Bonnie menyalakan ponselnya untuk mencari resep. Kemudian, gadis itu mulai membagi tugas. Karena di antara mereka bertiga yang bisa memasak hanya Bonnie saja, maka tugas Alan adalah mencuci sayuran dan memotongnya. Sementara itu Gilbert disuruh membantu untuk merebus dan menyiapkan bumbu.

Aktivitas memasak mereka tidak berlangsung lama, sebab Alan uring-uringan ingin segera selesai. Tiga mangkuk ramen ala rumahan dibawa Gilbert ke kamar Alan, sedangkan Bonnie membawa tiga gelas kaca kosong dan Alan membawa camilan juga minuman yang tadi dibelinya di minimarket.

Kamar Alan letaknya ada di lantai 2. Kamarnya cukup luas dengan dinding yang diwarnai krem. Ranjangnya bersprei abu-abu lengkap dengan boneka paus pemberian Bonnie. Di samping ranjangnya ada meja dengan dua layar komputer. Di sudut kamarnya yang lain, ada meja belajar disertai buku-buku berserakan, lemari buku, lemari pakaian, dan bola basket. Lantai kamarnya seperti terbuat dari kayu, meski sebenarnya bukan dari kayu sungguhan.

Gilbert meletakan nampan berisi mangkuk ramen di atas lantai, sementara temannya itu mulai menyalakan komputer sembari menggerutu karena jam livestream-nya sudah lewat dari yang ia janjikan.

"Soal game-nya," kata Gilbert seraya mengambil sumpit dan semangkuk ramen. "Itu tentang apa?"

"Oh, ini game horor yang lagi populer. Ceritanya player harus mencari ayahnya yang hilang di sebuah kota misterius. Nah, kota misterius itu aslinya sudah tidak tercantum dalam peta karena dianggap hilang. Petualangan horor kita akan dimulai setelah masuk ke dalam hutan kabut dan kota misterius," jelas Alan.

"Seperti novel yang kubaca ... hmm," pungkas Bonnie seraya mengernyit.

"Katanya, sih, memang ada novelnya," sahut Alan sambil bersiap untuk livestream.

"Apa judul game-nya? Biar aku cari." Bonnie berjalan menghampiri Alan, lalu matanya memicing tatkala melihat kekasihnya itu menunjukkan aplikasi game yang berjudul Shadowglass Covenant. "Oh ... pantas saja aku merasa familiar. Ini, sih, aku punya novelnya. Berarti, player di game jadi Cassieopheia?"

"Entah. Aku belum main game-nya."

Alan menoleh pada Bonnie, lalu berdiri dan berjalan ke luar kamar. Meninggalkan mereka berdua yang saling bertatapan. Gadis itu hanya mengedikkan bahu sebelum memilih duduk di samping Gilbert, bermaksud untuk segera makan. Baru sekali suapan ramen, Alan kembali membawa kursi, kemudian meletakannya di depan meja komputer. Ia lantas ke luar kamar lagi dan melakukan hal yang serupa.

"Nah, sudah. Ayo kita main game!" ajak Alan yang tampak bersemangat.

"Makan dulu aja. Kami lapar," ucap Bonnie sembari mengangkat mangkuk ramen.

Gilbert juga melakukan hal yang sama, tetapi ia melakukannya sambil menyeruput mie. Pada akhirnya, Alan hanya mengembuskan napas dan melakukan livestream-nya seorang diri. Tentunya dia juga sambil makan ramen.

~o0o~

Bermain satu game sebetulnya tidak cukup dihabiskan beberapa jam saja, apalagi game dengan genre petualangan, misteri, dan sedikit horor. Ada banyak misi yang dilakukan, sehingga membuat Alan harus membuat jadwal baru untuk livestream kelanjutannya. Atau mungkin saja ia hanya akan membuat video saat bermain kelanjutan game tersebut, setidaknya itu yang sedang Alan pikirkan.

Livestream diakhiri setelah Alan menyimpan perubahan terakhir di game, lalu ia mengobrol sejenak dengan para viewers-nya dan berpamitan. Kamera dimatikan, livestream dihentikan, dan lelaki itu menyandarkan kepalanya ke pundak Bonnie karena lelah. Di sisi kirinya Alan, Gilbert berdecak.

"Jadi, akhiran kisahnya seperti apa?" tanya Gilbert pada Bonnie yang sibuk mengusap kepalanya Alan.

"Mati. Kau baca sajalah novelnya, besok kubawakan."

"Kau tidak mau kasih spoiler?"

"Tidak seru kalau kukasih spoilernya. Sekarang saja kita stuck di hutan gara-gara anak ini menolak tawaran Eversly untuk diantar," kata Bonnie disertai nada mengejek di kalimat terakhir.

Alan lekas saja mendongak, tatapannya seakan-akan terlihat minta dikasihani. "Habisnya aku curiga pada Eversly. Coba lihat, dia yang paling normal bajunya selain MC dan sepupunya."

"Ya, wajar! Eversly itu bangsawan, sama kaya Cassieopheia dan Kyle. Kau ini!"

Melihat keduanya saling beradu mulut, Gilbert memilih untuk menjauh. Kursinya ia geser ke belakang secara perlahan-lahan hingga mencapai tengah ruangan, lalu bangkit untuk melihat jam dinding. Jarum pendek menunjukkan angka 9, sedangkan jarum panjangnya ke angka 6. Seingat Gilbert, kereta masih ada sampai pukul 22.30. Itu artinya, ia masih punya waktu untuk pulang naik kereta.

"Bonnie, kita harus pulang," ujar Gilbert seraya memasukkan sampah ke dalam kantung plastik.

"Eh, kau mau pulang, Gil? Menginap saja di sini. Orang tuaku pulang lusa," kata Alan yang langsung berdiri untuk ikut merapikan kamarnya.

"Tunggu ... tunggu dulu! Kalau Gilbert menginap di sini, lalu aku bagaimana?" tanya Bonnie disertai kernyitan.

"Kau pulang sana," balas Alan cepat sebelum Gilbert sempat menjawab.

"Aku tidak mau pulang sendiri!" pekik Bonnie yang langsung melompat dari kursi, lalu menarik lengan Gilbert. "Kau pulang bersamaku."

"Duh, tega sekali kalian."

"Diam kau, Al!"

Gilbert terdiam, kepalanya tengah memikirkan tawaran Alan. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Bonnie pulang sendirian. Bisa-bisa nanti ia dimarahi paman dan bibinya atau lebih parah lagi ayahnya. Setelah mempertimbangkan agak lama karena ia juga sambil bantu membereskan kamar Alan dan menemani Bonnie cuci piring, akhirnya keputusan lelaki itu sudah bulat.

"Maaf, Kawan. Aku pulang saja. Aku tidak bawa buku pelajaran dan pakaian."

Mendengar keputusan Gilbert, Alan pasrah. Lagi pula, ia juga tidak bisa memaksa temannya karena pakaian dan buku pelajaran untuk besok memang penting.

"Baiklah. Besok saja kau menginap di sini. Oh, terima kasih karena sudah mau bermain game denganku."

Gilbert dan Bonnie berpamitan sambil diantar Alan sampai depan pintu rumahnya saja. Kedua remaja itu lalu berjalan kaki menuju stasiun, menyusuri jalanan perumahan yang sepi walau lampu rumah-rumah di sana menyala. Sepanjang perjalanan menuju stasiun, Bonnie dan Gilbert mengobrol sekadarnya saja. Bukan karena canggung, tetapi keduanya sudah tidak ada energi dan ingin segera sampai rumah.

Begitu mereka keluar dari perumahan dan menyapa satpam yang berjaga, keduanya menyeberang jalan dan berbelok ke kanan. Tak jauh dari sana ada pertigaan yang mana mereka harus menyeberang lagi karena stasiunnya ada di seberang jalan. Keduanya harus berhenti dulu sampai lampu penyeberangan berubah hijau, meski memang malam itu tidak banyak kendaraan yang melintas.

Di saat Bonnie sibuk mengirimkan pesan, Gilbert memperhatikan seberang jalanan yang hanya ada seorang pegawai kantoran baru saja pulang. Orang itu berdiri di samping tiang rambu lalu lintas dengan wajah lesu, tetapi fokus Gilbert bukan ke sana. Melainkan ke samping si pegawai kantoran. Di sana lelaki itu melihat sosok berwarna hitam dengan topeng putih, persis seperti yang dituliskan dalam buku harian. Sosok spirit yang katanya menarik makhluk sial ke dunianya, termasuk Gilbert.

"Spirit K?" gumam Gilbert disertai mata membesar.

Seketika saja potongan memori muncul. Meski tidak terlalu jelas, di memori itu ada sosok Spirit K mengobrol bersama banyak orang yang tidak jelas wajahnya. Lalu, sebuah makhluk itu berkata dengan lantang, "Wahai Makhluk Sial, kumpulkanlah 15 onigiri dan persembahkan padaku untuk mendapatkan---"

"Gilbert, ayo!"

Suara agak kencang milik Bonnie membuyarkan lamuan Gilbert. Ia segera mengerjap, lalu memperhatikan lampu penyeberangan sudah berubah hijau. Mata cokelatnya juga tidak melihat lagi sosok Spirit K di seberang jalan sana, begitu juga pegawai kantoran yang kini berjalan melewatinya.

"Kau ini lambat sekali! Ayo, sebelum lampunya berubah merah lagi."

Bonnie jadi harus menarik lengan Gilbert dan menyeretnya karena lelaki itu malah terlihat seperti orang linglung. Selama berjalan menuju stasiun, ia mulai memikirkan kembali potongan memori dan yang dilihatnya tadi. Muncul rasa hangat di hatinya, karena ia pikir setidaknya ada harapan untuk memecahkan misteri buku harian dan isinya yang ia anggap tidak pernah terjadi.

~o0o~

Terima kasih sudah membaca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan vote atau komentar, ya~

See you next chapter~

Sukabumi, 26 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro