Chapter 15. Pregnant

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku punya banyak pengalaman menunggu di klinik bersalin sejak usiaku kurang dari lima tahun. Mama selalu secara rutin memeriksakan kesehatannya setiap kali beliau hamil dan aku menemani semua proses pemeriksaan dari bulan ke bulan, sampai masa persalinan tiba. Dari tiga kehamilan mama, ayah hanya kebetulan pulang saat si kembar lahir.

Dia berada di Toronto, kalau tidak salah—aku masih terlalu kecil untuk mengingat—saat Kal-el lahir, dan berada entah di mana di benua Eropa saat Kefan dapat giliran.

Mama bilang, aku akan jadi suami yang baik, saking seringnya berada di klinik bersalin. AKu berbincang-bincang dengan wanita hamil dan tidak pernah mengeluh. Sebenarnya aku mengeluh, aku hanya tidak menyuarakan, atau memperlihatkannya. Namun, aku tidak pernah tidak menyukai usapan di puncak kepalaku oleh para wanita hamil yang memujiku sebagai anak berbakti, kemudian mengelus perut mereka supaya anaknya seberbakti aku.

Kalau kupikir-pikir, memang itu satu-satunya kelebihanku. Berbakti, atau lebih tepatnya tidak tegaan terhadap orang lain. Saat adik-adik lahir, terutama saat mama hamil Kefan, Kal-el seharusnya sudah cukup besar untuk diajak gantian menemani mama kontrol, tapi nggak pernah mau. Dan aku nggak pernah bisa membiarkan mama duduk sendirian menunggu giliran dipanggil. Walaupun ada puluhan wanita hamil lain yang sama-sama menanti dan mereka biasanya tak pernah saling membiarkan, tapi tetap saja ... aku selalu menawarkan diri untuk menemani.

Kalau nggak salah, menurut pengamatanku, 75% wanita hamil yang periksa selalu ditemani sang suami, atau teman mereka. Jarang sekali ada yang periksa seorang diri. Kalaupun ada, pasti menimbulkan pertanyaan dari wanita hamil lain, mengapa mereka sendirian? Kemana suami mereka? Jadi aku merasa bertanggungjawab kalau-kalau ada yang bertanya mengapa mama tak ada yang menemani. Dengan adanya aku, bukannya pertanyaan itu tak pernah ada, tapi paling tidak bisa kuatasi.

Urutannya selalu sama. Mendaftar, menunggu, menunggu, menunggu, dipanggil, diperiksa antara beberapa menit sampai dengan satu jam—tergantung sehat tidaknya si ibu dan kandungan—kemudian menunggu kembali untuk mendapatkan resep vitamin dan obat jika diperlukan, beralih ke apotek, menyerahkan resep, menunggu, menunggu, menunggu, membayar, baru pulang.

Mama selalu membelikanku es krim sepulang dari sana. Upahku karena sudah bersabar, katanya. Mulai dari kehamilan si bungsu, aku tidak lagi minta es krim, melainkan macam-macam yang lain sesuai kebutuhanku bulan itu. Aku sudah 18-an saat kefan lahir dan cukup paham bahwa ayah menghasilkan banyak uang, jadi aku mulai banyak tuntutan.

Dan seakan sebagai kompensasi ketidakhadirannya, ayah mengabulkan semua keinginanku.

Baiklah, aku akan jujur, mungkin itulah penyebab aku tidak pernah mengakui betapa kesal aku terhadap ayah yang sudah membuatku berkorban banyak hal untuk keluarga ini. Karena dia memenuhi setiap keinginanku.

Klinik ini tampaknya open on demand setiap hari minggu. Beberapa wanita hamil lain juga tampak duduk mengantre.

Jadi kuulangi sekali lagi, ini bukan pengalaman pertamaku 'main' ke klinik bersalin, mengunjungi dokter obgyn, atau semacamnya. Ini pengalamanku keratusan kali.

Akan tetapi, lain dari pengalaman sebelumnya, aku segugup para wanita hamil lain di sini. Ini adikku yang hamil, aku meremas jemarinya, tapi Kanaya mengibasku dengan mimik muka penuh tanda tanya. Lantas, untuk mengusir grogi, aku duduk menyilangkan kaki, mengambil sebuah majalah, dan mulai melihat-lihat.

Paling tidak, dia tidak mengunjungi klinik aborsi ilegal.

Meski rasanya sudah tidak mampu menahan diri untuk bertanya kepada Kanaya bagaimana dia bisa hamil, dengan siapa, dan apa rencananya, aku memutuskan menanti sampai kami hanya berdua saja. Tanpa dua wanita lain yang nyaris tidak mau buka mulut, kecuali saat menyapa, setelah Kanaya memperkenalkan siapa mereka kepadaku.

Sebuah nama disebutkan oleh salah satu suster.

"Jadi Mamanya teman kamu juga hamil? Apa dia nggak terlalu tua untuk hamil lagi?" bisikku.

Kanaya hanya melirik tajam kepadaku.

"Well ... tapi saat Kefan lahir, aku malah sudah berusia delapan belas," ralatku.

Kanaya adalah perempuan paling galak yang pernah kukenal. Kalau aku lebih dekat dengannya, aku pasti akan memberinya nasehat supaya agak ramah. Biar enteng jodoh. Namun sepertinya itu tidak perlu, dia hamil sebelum genap tujuh belas. Jodohnya terlalu enteng malah.

"Di mana pacarmu?"

Lagi-lagi hanya dibalas lirikan mematikan.

Kalau saatnya tiba, aku benar-benar akan bertindak tegas pada siapa pun pacar Kanaya. Bisa-bisanya dia membiarkan adikku memeriksakan kehamilannya sendiri.

"Waktu aku masih kecil sampai remaja,"—aku tidak peduli meski Kanaya memutar bola mata—"aku selalu mengantar mama ke klinik bersalin. Aku menyaksikan kalian semua dari perut mama rata, sampai membesar seperti bola basket. Bahkan, saat mengandung kamu dan Kenan, Mama seperti hamil bayi sapi, perutnya besaaar sekali!"

Berhasil, meski sedikit, dia tersenyum.

"Gue nggak pengin punya anak," katanya. Sekonyong-konyong.

Ulu hatiku agak sakit mendengarnya, apakah itu berarti dia akan menggugurkan kandungan? Menyedihkan bagiku mendengar seorang perempuan menyatakan keinginan untuk tidak punya keturunan, padahal, setengah atau bahkan lebih populasi pria mengharapkan keturunan. Termasuk aku. One of the reasons men decide to get married was to be able to raise a kid.

"You'll have one or two, anyway. That's why a woman was born with a womb," kataku. "Semua orang bisa jadi ibu, bisa jadi orang tua, tapi hanya wanita yang bisa melahirkan anak-anak yang lucu. Laki-laki tak bisa."

"Kelihatannya menakutkan." Kanaya mendesis gamang.

"At that time, someone you love will be staying by your side to help you get through the pain."

Aku berjanji demi nama Tuhan aku akan menyeret laki-laki yang berani menghamilinya, untuk berada di sisinya pada saat-saat itu.

"Apa ayah selalu menemani mama?" tanya Kanaya, sambil menoleh ke arahku, dan kami pun saling menatap.

Aku hampir saja kehilangan kepercayaannya, sebelum satu dalih berkelebat di benakku. "Someone you love doesn't always mean a guy who impregnate you. Being pregnant and being in love is whole different kind of story."

Kanaya mengekeh pelan, kembali mengambil tatapannya dariku.

"Ada begitu banyak orang lain yang akan peduli padamu saat kamu hamil, apalagi melahirkan. Semua orang memberimu tempat duduk di dalam kereta, mendahulukanmu di antrean, memikirkan ratusan cara untuk mempermudah proses kelahiran dari masa ke masa. Semua orang di dunia ini tunduk pada wanita hamil. Trust me, you'll never walk alone."

"Oke, I'll think about it." Kias senyum tampak di wajah Kanaya. Saat aku memberanikan diri mengelus tempurung kepalanya, dia bahkan menatap wajahku. Tidak sering dia melakukannya, tapi hari ini kami terus bersitatap. Dan aku, terdorong insting, meraih tangannya sekali lagi dan meremasnya lembut. Kanaya mengernyit, tapi aku tetap memberinya senyum lebar.

"Ugh!" Tahu-tahu Kanaya meringis, sambil memegangi perutnya.

"Kenapa? Ada apa?" tanyaku panik.

"Gue mual," katanya sambil menutup mulut.

Astaga. Sudah mulai morning sick! Seluruh tubuhku rasanya kaku.

"Aku mau ke toilet," ringkiknya sembari berdiri.

"Biar kuantar!" Dengan sigap aku menawarkan diri, tapi Kanaya menahan bahuku supaya aku tetap duduk.

"Nggak!" bentaknya. "Aku bisa sendiri. Bilang saja ke dokter kalau namaku sudah dipanggil."

Ya Tuhan. Aku meraup wajahku dengan tangan gemetar. Aku benar-benar akan jadi seorang paman, dan mungkin sekaligus seorang ayah.

Sebelum namanya dipanggil, Kanaya sudah kembali dengan wajah pias. Keringat dingin membuat sekujur tubuhnya agak menggigil. Usia kehamilannya mungkin sudah memasuki dua belas minggu kalau sudah mual-mual begitu. Aku membimbingnya duduk, menawarkan sebutir permen berperisa mint yang disediakan di meja tunggu. Kanaya menerimanya tanpa banyak perlawanan. Wajahnya kelihatan sangat gusar dan aku tak lagi sanggup meluapkan sejuta pertanyaan.

Semuanya jelas sudah. Aku tak bisa apa-apa selain menunduk lesu. Ini merupakan pukulan besar pertamaku, akibat dari sikapku yang egosentris di masa lalu. Bahkan kematian ayah tak membuatku merasa segagal, atau semenyesal ini.

Kami lantas diam sepanjang proses penantian dan aku memaksa untuk ikut masuk ke ruang periksa bersamanya ketika sudah tiba giliran.

Seorang dokter berusia empat puluhan menyambut kami dalam snelli dan stetoskop menggantung di lehernya. Kami duduk bersisian menantinya yang masih sibuk mencatat sesuatu di sebuah buku, sesekali mengerling dan tersenyum.

"Oke, ada yang bisa saya bantu, nona atau nyonya ini?" tanya dokter itu setelah pekerjaan menulisnya selesai.

"Nona," jawab Kanaya cepat. "Ini kakakku. Dia memaksa masuk."

"Saya hanya agak khawatir," aku menimpali.

Dokter itu tidak tampak terganggu sama sekali, sama tidak terganggunya dengan dokter lain yang memeriksa mama jika aku ikut masuk menemani. Dia mulai bertanya kepada Kanaya sekali lagi, apa yang bisa dia lakukan untuk membantunya.

"Saya nggak tahu, ada sesuatu yang nggak nyaman di sekitar perut. Setiap habis makan, saya merasa sangat, sangat, mual, bahkan kadang harus muntah. Pagi ini saya sudah muntah sebanyak dua kali, dok, dan itu sangat mengganggu,"

Itu namanya morning sick, Kanaya, tapi aku tidak mengatakannya.

"Kapan terakhir kali datang bulan?"

"Nggak teratur, saya nggak ingat."

"Kita coba periksa di dalam aja, ya? Kalau memang nggak ada apa-apa, baru kita cek dengan metode lain. Apa yang bikin kamu berpikir itu ada hubungannya dengan rahim?"

"Teman saya sering sakit perut dan mual-mual, perutnya kadang menggelembung tanpa sebab dan terasa perih. Waktu diperiksa, dia ada kista dan harus dioperasi. Saya khawatir saya mengalami hal yang sama, apalagi datang bulan juga nggak teratur."

Huh?

"Tunggu. Tunggu dulu," kataku memotong. "Kanaya, apa itu berarti ... kamu nggak ..."—aku nggak tega mengucapkannya.

"Nggak apa?" Alis Kanaya mengernyit, matanya memelototiku seolah mengingatkan supaya aku tidak mengatakan sesuatu yang bodoh karena ada orang lain di antara kami.

Aku memutar badan—menyembunyikan wajahku—supaya dokter yang duduk di balik meja tidak bisa melihat gerakan bibirku, "Hamil?"

"Are you insane?!" pekik Kanaya tertahan, tangannya memukul lenganku dengan sekuat tenaga, membuatku benar-benar merasa super konyol.

"Bisa kita periksa sekarang? Kakaknya tunggu di luar aja, yah? Nggak apa-apa, kan?"

Ta—tapi? Kenapa dia harus periksa ke obgyn kalau nggak hamil??? Kenapa dia mempermainkanku selama ini? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro