Dear Violin | 02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anak laki-laki di depan Tia tak menjawab. Sebaliknya, mereka sama-sama terdiam karena terkejut.

"Kamu ke sini dengan siapa?" tanya Tia lagi, menunjuk sepeda di balik pohon mangga, "Itu sepeda kamu, ya?"

"Iya," jawab lelaki di hadapan. Tia mengulum bibir, lalu ikut duduk di sampingnya. Anak laki-laki itu membiarkan saja Tia duduk di sampingnya.

"Kita belum kenalan. Nama kamu siapa?" tanya Tia lagi, menatap ke kiri. "Namaku Rana Mutiara Azzahra. Tapi, aku lebih suka dipanggil Tia."

Lelaki di samping Tia ini mengangguk. "Farid."

"Ooh, nama kamu Farid aja?"

Farid menggeleng. "Farid Abdilla ...." Jawaban menggantung Farid membuat Tia memiringkan kepala.

"Ivankov," lanjut Farid di akhir hampir tak terdengar. Tia menautkan alis, rasanya asing mendengar nama seperti itu.

"Kamu pindah ke sini baru aja?"

Farid mengangguk. "Iya. Dua minggu."

"Kamu asalnya orang mana? Kok muka kamu kayak bukan orang Indonesia?"

"Apa aku harus menjawabnya?"

Jawaban dingin Farid membuat Tia memundurkan kepala. Ia cemberut, berkata, "Kalau kamu gak mau jawab, ya udah. Tapi, kalau kamu kayak gitu ke orang, kamu bakal dikira sombong."

"Begitu?" Farid menunduk sedikit. "Maaf."

"Kamu gak suka basa-basi, yah. Aku maklum, kok. Bilang aja kalau kamu enggak nyaman. Wajar karena kamu baru banget di sini."

Farid menggeleng. "Aku hanya tidak terbiasa."

Tia mengangguk-angguk. "Terus, asalnya kamu tinggal di mana?"

"Kazan. Republik Tatarstan."

Tia ternganga, lalu menggaruk kepala yang tak gatal. "Itu dari mana?"

"Singkatnya, dari Rusia."

"Ooh." Tia berkoor rendah. "Jadi, mata kamu hijau karena kamu memang asli orang sana, ya? Kok kamu bisa di sini?"

Farid terdiam, membuat Tia jadi bingung dan tersentak.

"Eeh, kalau kamu gak mau jawab juga gapapa, kok!"

"Ibuku dari Indonesia."

Merasa Farid tak akan nyaman dengan pertanyaan susulan, Tia pun diam saja. Beralih ke depan, menikmati semilir angin dari danau dan memejamkan mata. Tanpa ia sadari, sedari tadi Farid memperhatikannya.

Tia membuka mata. Farid sedikit tergagap dan langsung menunduk. Ketika melihat ke air, Tia mengamati ada goresan luka di dahi Farid.

"Dahi kamu luka gara-gara aku, ya?"

Farid mendongak saja, tak menjawab. Tia merogoh kantong jaket, mengeluarkan sebuah plester luka.

"Aku tadi ada lebihan beli plester. Baru aja tadi aku beli, gara-gara tanganku kena pisau. Ini buat kamu, ya. Coba, aku pasangin."

"Aku bisa sendiri."

Tia menggeleng cepat. "Kamu gak boleh nolak lagi! Anggap aja aku bertanggung jawab karena dahi kamu kena case biola aku kemarin."

Farid tak bisa mengelak. Ragu-ragu ia memajukan kepala, membiarkan Tia memasangkan plester luka ke dahinya. Gugup menguasai, sebab seumur hidup, ia belum pernah sedekat ini dengan perempuan. Mata sewarna karamel milik Tia membuat Farid tertegun. Seperti tersihir oleh keindahan di hadapan, terlebih bibir Tia sedikit terbuka dan pipinya cukup tembam, seperti memanggil-manggil Farid minta dicubit.

"Udah, Farid! Maaf sekali lagi, yah! Lain kali aku harus hati-hati, jangan sampai nabrak orang lagi!"

"I-Iya."

Mereka sama-sama terdiam. Tia melepaskan sandal, merendam kakinya ke air danau. Farid mengernyit ketika melihat Tia sesantai itu merendam kaki.

"Ada apa? Airnya aman, kok. Kalau aku sudah terbiasa, tidak akan gatal-gatal bila berendam."

Farid meneguk ludah. Sebenarnya, ia ingin mengikuti Tia juga, tetapi ia urungkan niat. Ingin bicara untuk mengusir keheningan, tetapi ia masih merasa canggung. Mulutnya terbuka, lalu menutup lagi. Tia jadi sedikit heran.

"Sejak kapan kamu tahu ada danau di sini?" tanya Tia. Ia mengangkat kedua alis karena Farid terlihat ragu-ragu hendak menjawab.

"Sekitar dua hari yang lalu."

Tia mengulum bibir dan mengangguk.

"Di sini tempat pelarianku, tempat aku melampiaskan segala kemarahan, kesedihan, kekesalan. Melihat danau luas gini, aku seperti mendapatkan kedamaian tersendiri," jelas Tia.

Farid mengangguk saja dan mengucapkan "Ya."

"Di sini tempat aku menangis, tempat aku bercerita dengan alam. Yah, aku merasa lega saat duduk di sini."

Kali ini Farid tertunduk. Entah mengapa, ia tak protes mendengar celotehan perempuan di sampingnya. Padahal mereka baru saja kenal dan seringkali ia tak suka ada orang banyak bicara. Apakah itu rasa nyaman? Farid juga tak mengerti. Ia juga merasa tak terganggu.

"Kalau kamu bagaimana? Apa kamu punya tempat untuk kamu mengeluarkan kekesalan?"

Pertanyaan Tia membuat Farid berpikir, dahinya berkedut.

"Selama ini, aku tak punya tempat untuk melampiaskan kekesalanku."

Tia mengangguk dan tersenyum lebar. "Jadi, kamu pasti bakal suka tempat ini! Tidak apa-apa bila kita berbagi tempat! Oh, yang kamu duduki itu biasa tempatku duduk."

Farid ingin bergeser, tetapi dicegah. "Gapapa, duduk aja."

Lelaki di samping Tia mengangguk paham, kembali menunduk. Melihat ke sekitar, tak ada siapa-siapa di sana selain mereka berdua.

"Jadi, kamu suka main biola?"

Tia mengangguk. "Mm ... begitulah. Tepatnya, itu hobiku. Kemarin aku kursus biola dan hari itu adalah hari terakhir. Mungkin dua hari lagi aku sudah mendapatkan sertifikat dari pengajarku."

"Oh." Farid mengangguk-angguk.

"Tapi, kenapa kamu pulang jalan kaki? Hujan-hujanan, pula."

Farid tak bisa berlama-lama menatap mata Tia. Ia beralih pada pemandangan di depan. Hamparan air danau kehijauan, matahari sedikit tertutup awan, membuat keadaan tidak begitu panas. Lain dengan Tia, ia merasa sedikit gerah. Melepaskan jaket terlebih dahulu, barulah ia menjawab.

"Kemarin aku pulang naik taksi. Motorku bannya bocor, jadi aku enggak bisa make. Abis buka bengkel nanti aku tambal," jawab Tia ditambah melepaskan ikatan rambut. Terlihat rambut lurus hitam sebahu itu terurai, menutupi wajahnya. Sejenak Farid terdiam karena wangi sampo samar tercium bersama helaian rambut berkilau kena cahaya matahari.

Benar-benar indah.

Tia memiringkan kepala karena Farid terdiam menatapnya. "Farid? Kenapa kamu ngeliat aku kayak gitu?"

Cepat-cepat Farid berpaling. Ia merasa wajahnya memanas karena terpergok menatap Tia tadi.

"Tidak, tidak apa-apa. Rambutmu bagus."

"Eh?"

Ia terbelalak, menyadari bahwa dirinya keceplosan memuji rambutnya Tia. Tia sendiri jadi tersenyum malu dan sedikit canggung.

"Um, terima kasih. Omong-omong, kenapa mata kamu warnanya hijau?"

Farid mengerjapkan mata sekali karena agak kaget dengan pertanyaan Tia.

"Dad-ku matanya berwarna hijau juga."

"Maksudmu Ayah?"

"Iya, benar," jawab Farid singkat.

Tia mengerucutkan bibir, berpikir pertanyaan apa lagi yang bisa ia tanya ke lelaki ini.

"Boleh aku tahu, kenapa kamu tinggal di sini? Kamu sudah SMA? Sekolah di mana?"

Farid menghela napas mendengar pertanyaan Tia yang beruntun. "Alasannya cukup rumit, berhubungan dengan masalah keluarga. Aku memang sudah SMA, tingkat kedua. Aku baru mendaftar pindah di SMA 55."

Mata Tia membelalak. "Eh? Masih bisa? Kan mau masuk semester genap?"

"Semua Ibu yang urus. Aku juga kurang tahu bagaimana caranya, aku disuruh ikut saja dan mulai masuk sekolah semester genap ini."

Tia mengangguk, lalu tersenyum antusias. "Rani juga sekolah di sana!"

"Rani siapa?"

"Dia saudara kembarku."

"Kalau kamu? Tidak sekolah di sana?"

Tia menggeleng. "Aku di SMA 60. Kami pisah sekolah, bahkan sejak TK. Kata Ibu, biar kami berdua tidak tertukar. Padahal, aku dengan Rani juga tidak banyak kemiripan. Tapi, entahlah. Aku hanya menurut apa kata Ibu."

Farid mengangguk.

"Kalau kamu gimana? Apa kamu punya saudara?"

Laki-laki di samping Tia ini terdiam sebentar, lalu menjawab, "Kak Adrian. Dia masih tinggal di sana karena kuliah semester akhir. Si mata empat menyebalkan."

Lantas, Tia tertawa kecil mendengar Farid menggerutu. "Mengapa kamu ngasih gelar kakak kamu kayak gitu?"

"Aku sangat membencinya. Selain samsak, aku sasaran kedua latihan tinju. Untung aku selalu menahan dan menghindari. Dia selalu iri padaku hanya karena masalah mata. Matanya berwarnya cokelat tua, dan dia selalu tidak bersyukur. Aku tak mengerti dengan kelakuannya."

Tia kembali tertawa. "Kalau aku seperti itu, aku juga pasti sangat kesal. Tapi, punya kakak itu tidak selalu buruk, kan?"

"Kamu benar. Terkadang, dia yang membantuku mengerjakan PR Sastra dan Ekonomi. Aku tidak suka dua mata pelajaran itu. Dia juga sering membalas surat-surat aneh yang setiap hari ada di lokerku. Dan pastinya dengan jawaban yang sama."

"Apa?"

"Maaf, aku tidak mau jadi pacarmu."

Tia tertawa sampai menutup mulut dengan tangan kanan. Farid jadi sedikit kesal, tetapi ia tahan saja.

"Begitu, ya? Jadi, dulu kamu populer di sekolah?"

Mengangkat kedua bahu, Farid menambahkan, "Mungkin. Kira-kira begitu. Dan aku tak tertarik dengan pacaran atau sejenisnya. Buang-buang waktu saja."

"Ooh." Tia berkoor rendah. Ia nilai, Farid adalah seseorang yang cukup unik. Di kala masa muda dihabiskan untuk mengenal cinta antar lawan jenis seperti teman-temannya lakukan, ia malah berpikir sebaliknya. Meski begitu, ia tak ingin mengatakan secara langsung, lebih-lebih karena mereka baru saja berkenalan.

Mereka kembali berbincang seputar sekolah. Tak ada yang khusus. Sampai mereka sama-sama penat duduk di titian danau, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Kebetulan rumah Tia dan tempat tinggal Farid searah. Maka, mereka jalan bersama sembari mengobrol, dan sepeda Farid ia bawa tuntun saja. Sampai Tia di depan pagar, barulah mereka berpisah dan Farid mengendarai sepeda.

Baru saja Tia membuka kunci pagar, seorang perempuan seumurannya, berambut hitam panjang berkacak pinggang di depan pintu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro