11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hujan turun dengan derasnya dari jendela kelas aku memandang tanah yang mulai becek. Guru mengoceh di depan kelas, dan aku tidak berkosentrasi untuk pelajaran hari ini. Hari-hari yang biasa, hari – hari yang terus diulang bagai kaset radio yang telah usang.

Sebenarnya, hidup itu apa?

Pertanyaan itu terus berlarian di dalam kepala, tak mau hilang ataupun lenyap. Sebanyak apapun aku berusaha, kekosongan akan selalu memanggilnya untuk bermain di tanah gersang ini.

Monokrom, semuanya terlihat hitam putih di mataku, apa itu gairah masa muda? Kurasa itu hanya dongeng pengantar mimpi bagi anak – anak yang naif.

Ketika aku mulai tumbuh aku menyadari bahwa dunia tak seindah yang pernah mereka ceritakan, sebanyak apapun aku membuka diri sebanyak itulah luka yang menganga.

Meskipun aku menaruh percaya dimana – mana, mereka akan tetap mengabaikannya, menatapku bagaikan sebuah fosil hidup yang tiba – tiba bangkit. Mereka melihatku bagaikan spesies asing yang memaksa masuk ke dalam kelompok.

Aku menyerah, aku tak lagi berusaha.

Memaksakan diri untuk diterima bukanlah hal yang baik, aku menyadari itu. Membuang semua topeng yang memberatkan wajah ini. Akhirnya aku pun berjalan sambil memamerkan bulu hitamku yang begitu mencolok.

Ya begitu mencolok sehingga aku semakin terpinggirkan lalu di pojokkan.

Mereka mulai menodongku dengan kesialan, padahal aku tak pernah meneriaki mereka.

Apa salahku?

Apa salahnya menjadi berbeda?

Apakah aku sebuah ancaman?

Untuk beberapa malam aku menangis, kenyataan bahwa aku selalu berbeda dan tak memiliki kelompok membuatku dilempar-lempar seenak hati, mereka tertawa sambil terus menujukku. Apakah aku ini lelucon bagi mereka?

Bahkan orang – orang yang memiliki warna yang sama denganku, membuang kulit mereka dan ikut menendangku.

Aku tak bisa memaksakan diri untuk berpura – pura lagi, itu melelahkan dan menyakitkan. Aku tak bisa lagi memakai topeng kemana – mana.

Tapi mengapa?

Mengapa mereka terus mendorongku dalam kesendirian?

Tumpukan luka ini membuatku menyusun sajak parak, menyanyikannya bersama angin.

Istirahat siang itu, aku berdiri memeluk hujan di atas atap sekolah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro