7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 "Jadi harus bagaimana?"

Terjebak di dalam gedung sekolah karena hujan memang terdengar biasa, namun tunggu hingga kalian mendapati kejadian tidak normal dan kalian akan mengutuk hujan selama seharian penuh.

"Kurasa memang tidak ada pilihan lain," ucap Genta, "Kita harus mencoba mendobraknya,"

"Itu gila," sahut Musi,

Ya memang, usulan dari Genta termasuk mustahil karena pintu utama gedung sekolah, terkunci. Pintu yang cukup tebal, kudengar pintu itu pernah terlepas engselnya dan jatuh menimpa seorang siswa, naasnya siswa itu harus mengalami luka patah tulang.

Dan gerbang utama gedung hanya dibuka dan ditutup oleh satpam atau penjaga sekolah, seumur-umur aku bersekolah disini aku tidak pernah menggeser pintu yang selalu terbuka itu.

Ketiga cowok yang masih bertahan mencoba untuk membuka pintu sedangkan aku dan cewek lainnya memilih untuk diam, tugas mendobrak pintu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memang punya kekuatan lebih.

Tidak sepertiku yang ngos-ngosan ini.

"Tidak bisa," sahut si bocah PMR-yang tidak kuketahui namanya.

Ya sepanjang pelarian kami, tak ada satu pun yang memanggilnya dengan nama. Bahkan di seragamnya saja tidak ada name tag yang selalu terpasang seperti yang ada di seragamku.

Hanya sebuah rompi yang biasa di gunakan oleh anak-anak PMR ketika upacara bendera saja yang ia kenakan yang membuatku memanggilnya bocah PMR. Berwarna kuning stabilo yang begitu mencolok.

"Kurasa kita memang disuruh menginap disini,"

Polin nyeletuk, dan aku sama sekali tak bisa tertawa, meski ia sudah bergelar 'Raja Stand Up Comedy' saat festival seni sekolah tahun lalu.

Kami tidak bisa keluar melalui jendela karena seluruh jendela di lantai satu sampai tiga dipasangi dengan trail besi.

Dan aku pun mendengar suara langkah kaki yang tak beraturan, serempak kami menoleh ke asal suara.

"Anjing!"

Dua siswa yang sempat selap tampak mendekat ke arah kami, salah satunya tampak berjalan dengan posisi kayang sedangkan yang lain berlari dengan terseok-seok. Raut wajah mereka juga tidak menyenangkan.

Dalam hati aku langsung menyusun kitab sumpah serapah, kurasa setelah mala mini berakhir aku akan mencetaknya dan menjualnya di toko buku.

Sedangkan Musi dan cewek-cewek lainnya hanya bisa menjerit.

BRUK! BAK! BRUK!

Si anak PMR entah darimana sudah memegang sebuah sapu dan membanat salah satu dari mereka dengan sapu. Polin juga melakukan hal yang sama dengan siswa yang kayang.

Mereka membanat kedua siswa yang sedang selap itu dengan tega, ya aku sebut tega karena aku dapat melihat lebam setelah mereka selesai membanat.

"Kita ke lantai atas sekarang, ruang radio," usul si anak PMR

Ya berhubung ponsel kami kehilangan singal dan kami tak bisa meminta tolong pada orang luar jadilah ruang radio satu – satunya alat komunikasi yang bisa kami gunakan. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro