Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apakah kau penasaran akan kematian?

***

Aku hanya berdiri diam, membiarkan hiruk-piruk kota membawaku mengikuti arus. Saling bersahut-sahutan dan memaki, kala emosi kendaraan mereka saling melawan arah dan bertabrakan. Atau dikala seorang gadis kecil tak sengaja menyenggol wanita kantoran hingga minumannya tumpah ke pakaiannya. Keributan dan ricuh-ricuh kerap terdengar.

Ramainya kota bisa kau rasakan. Satu, dua, tiga, bahkan puluhan kendaranan terus berlalu-lalang memenuhi jalanan. Orang-orang terus berkumpul, menunggu lampu penunjuk memperbolehkan mereka menyebrang. Benar-benar keramaian yang gila. Aku muak, keramaian ini membuatku muak.

Ah ... sambil menunggu detik-detik yang menyesakkan ini, aku ingin menceritakan satu hal. Dengarkan baik-baik seolah apa yang aku sampaikan adalah berita kematianmu.

Kau tahu ... kau pasti sering merasakan ini. Sesuatu yang kau rasakan ketika kau bersemangat dalam menggapai tujuanmu. Perasaan yang berkobar dan selalu menyakitkan seolah membelenggumu , memelukmu erat-erat. Kau tahu namanya, 'kan?

Ambisi.

Yah, begitulah para makhluk fana itu memanggil perasaan tak berwujud yang nyaris menggerogoti diri mereka. Ambisi yang selalu bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, tak sesuai dengan kapasitas pribadi. Membuat mereka jatuh karena terlalu keras menggapai harapan. Seperti sayap Ikarus yang terbang terlalu dekat dengan matahari. Miris sekali, ya?

Ambisi itu ... sangat berwarna. Merah, kuning, biru, bahkan hitam. Warna-warni saling bertabrakan. Aneh memang, tapi melihatnya cukup unik. LIhat saja ambisi-ambisi itu. Dari mendominasi dunia, hingga ingin menghancurkan orang lain. Dari menyelamatkan diri sendiri hingga menyakiti diri. Atau bahkan ... mati.

Mati ... mereka bahkan tidak tahu perasaan saat berada di kegelapan nan sunyi.

"Bukankah film kemarin sangat menyenangkan? Apa kau ingin menontonnya lagi di akhir minggu?"

"Maaf, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa ikut."

"Heh, kenapa? Bukankah kau suka dengan film seperti ini?"

"Aku harus belajar."

"Kenapa harus repot-repot belajar, huh? Kita kan sedang libur semester. Ayolah, kapan lagi kita bersenang-senang bersama. Hidup tidak ada yang tahu, loh~"

"Lain kali saja, ya. Aku berjanji."

"Hei ... kau membosankan."

Aku menatap sepasang manusia yang saling mengobrol ria, kala lampu jalan memperbolehkan kami menyebrang. Ah ... ambisi untuk naik dan ambisi untuk menjatuhan. Aurana terpancar jelas dan berkobar di bawah langit muram. Semakin lama semakin memudar seiring keduanya menjauh.

Hm? Kau penasaran mengapa aku bisa mengetahuinya?

Aku bisa melihatnya. Aura-aura ambsi yang terpancar dari makhluk fana itu, bisa kulihat dengan jelas. Sudah kubilang bukan? Mereka sangat berwarna-warni. Merah, kuning, biru, hitam, dan putih. Sangat berwarna—

Tunggu ... putih?

Tidak aura ambisi sebersih putih.

Tapi tadi, di tengah kerumunan orang-orang ini aku melihatnya. Di tengah aura yang menari-nari dan menjijikan ini, aku melihatnya dengan jelas. Ah ... apa itu hanya khayalanku?

.

.

.

Aku mendapati sosok pemuda tengah berdiri di pinggir pagar pembatas rooftop gedung tua yang terbengkalai. Pakaian dan surai hitam legam itu bergerak mengikuti garis angin. Diam tak goyah, bahkan saat berada di tempat mengadu nasib seperti itu. Di pinggi jurang yang akan mengantarkannya langsung pada dewa kematian.

Yah sosok dengan aura putih tipis tadi menuntunku pada seorang pemuda. Ia lah pemilik aura yang kini berada di hadapanku. Auranya sangat tipis dan tak dapat kubaca sama sekali. Apakah pembalasan, dendam, kesal? Atau pemuda ini berniat bunuh diri begitu saja? Ah ... mungkin?

Bahkan orang yang memilih bunuh diri, masih memiliki ambisi dalam hatinya. Ambisi yang selalu memicu dan menggerakkan hati mereka untuk mengetuk pintu kematian. Ambisi itu ... akan selalu menemani tubuh inangnya bahlan setelah mati sekali pun.

Tapi ambisi pemuda ini sangat redup dan bersih. Kematian dan kehidupan seolah tak ada apa-apanya di hadapan pemuda itu.

Lihatlah, pemuda itu hanya diam, tak berkutik. Sudah lama kutunggu, tapi ia tak kunjung melompat. Entah karena takut atau apa, tapi berada di sini sangat membuang-buang waktu dengan sia-sia.

"Kau penasaran dan ingin mencoba merasakan kematian dengan melompat?" tanya seseorang yang mengatakan jika waktunya terbuang percuma. Maaf saja, aku terlal penasaran dengan aura milik pemuda ini dan memilih mendekat, bertanya langsung padanya.

"Mati ...?"

Pemuda itu tak terlihat terkejut dengan keberadaanku yang tiba-tiba. Tatapannya justru kosong dan sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Ia hanya mendongak, menatap langit yang muram yang kini memayungi kami.

"Mati, ya? Bagaimana rasanya?"

Aku hanya terdiam. "Rasanya ... aneh dan menjijikan. Gelap, sunyi, tidak ada apapun di sekitarmu. Hanya penyesalan dan rasa takut yang terus menggerogoti dirimu. Kau ada tapi dianggap tidak pernah ada. Pilihan sulit mennentukan nasib. Pembalasan dari rasa kesepianmu atau mengumpulkan pundi kebaikan untuk menghapus dosa."

Aku bersumpah, itu adalah kalimat terpanjang yang pernah kuucapkan seumur hidupku.

Dan dengan kalimat penjelasan sepanjang itu, ia tidak terlihat tertarik. Matanya masih terus menatap langit, sehingga aku tidak bisa menebak tatapan dan raut wajah yang ia pasang. "Apa dengan mati ... semuanya akan selesai?" tanyanya.

Pertanyaan remeh dari seseorang yang pasti berniat bunuh diri, aku paham betul tentang itu. Berniat mengakhiri kisah tragis, huh? "Tidak ... mati bahkan tidak menutup kisahmu."

Tiba-tiba pemuda itu tertawa lepas. Aku sedikit risih melihatnya. Ia benar-benar kosong, hampa. Bahkan setelah mengobrol sedekat ini, aku benar-benar tidak bisa merasakan ambisinya sama sekali.

Orang ini memang tidak ada niatan untuk menjalani hidup, bahkan setelah matipun ia tidak akan mau memilih antara surga dan neraka. Memiilih menjadi seonggok sampah tak berguna, kah? Bahkan sampah saja masih ingin dianggap berguna.

"Jika mati tidak menutup kisahku, lalu aku harus apa?" tanyanya, sambil mengalihkan tatapannya padaku dengan raut wajah yang tak bisa kubaca.

Aku kembali terdiam. "Mati tidak akan menutup kisahmu. Mati hanya akan membuatmu tidak terlihat, menjadi entitas yang tak dipedulikan. Kau tidak bisa merasakan apapun selain kesepian dan ketakutan. Bahkan saat melihat orang terdekatmu disiksa, kau tidak akan merasakan sedih. Hatimu mati.

Kesepian, sendiri, dan rasa takut. Hanya itulah yang terus menggentayangimu. Kisahmu ...tidak akan pernah selesai."

"Lalu aku harus apa?" Ia tersenyum sendu.

"Entahlah." Aku menggantung ucapanku. Menarik napas panjang sebelum melanjutkan, " Tanyakan saja pada langit. Mungkin langit memiliki jawaban bagaimana agar kisahmu berakhir."

"Tidak ada yang tahu harus mengakhiri kisahnya bagaimana. Bahkan tidak ada yang takut mati untuk mengakhiri kisahnya sendii, walau itu percuma." Dan itulah kalimat terakhir yang kuucapkan.

"Kau sama sekali tidak menjawab pertanyaanku." Ia berceletuk remeh.

Pemuda dengan lagak sombong ini benar-benar membuatku muak. "Lalu kau berharap aku menjawab apa? Jika tentang mengakhiri kisahmu, maaf saja. Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk menghentikan alur takdir yang sudah terlukis oleh langit."

"Jika pertanyaan tentang kematian?"

Aku terdiam untuk kesekian kalinya. Pemuda ini, entah apa yang memicunya untuk mengakhiri kisahnya sendiri, bahkan rasa penasarannya akan kematian mampu membuatku bergidik. "Kenapa kau begitu penasaran soal kematian? Dan kenapa pula kau bertanya padaku?"

"Karen kau seperti tahu terlalu banyak soal kematian." Pemuda itu kembali terkekeh dan berceletuk, "Apa kau malaikat pencabut nyawa?"

Aku terdiam. Hanya menunduk, menatap pemandangan dari atas sini dan bergumam kecil, "... bukan."

"Lalu?"

Aku mengingatnya. Kala hembusan angin menerpa wajahku, dengan pakaian lusuh bernoda merah dan berdiri dalam posisi pemuda itu. Perasaan takut yang mendadak datang dan seolah kakimu diselimuti hawa hitam yang menarik dan menuntunmu menyebrangi neraka. Pemandangan yang mencekam yang terus menghantuiku sampai sekarang. Aku mengingatnya dengan jelas.

Aku mendongak dan menatap langsung netra hitam tanpa arah itu. Dan untuk pertama kalinya, aku ... tersenyum.

"Aku sudah mati."

***

1.164 kata

Writer's note:

Yahoo~ selamat datang dan selamat menikmati buku merah penuh biru ini~~ (apa-apaan itu.)

Ehehe buku ini sebagai bentuk permulaan dari sebuah event menarik dari komunitas kepenulisanku, hanya event kecil-kecilan. Event dimana kami para member akan bertarung di jalan berdarah menuju garis finish dengan menamatkan buku kami dalam 60 hari. ROAD TO THE END!

Hehe, jika tertarik dengan cerita menegangkan yang melalui jalan keputusasaan ini, silahkan kunjungi tagar #flc60rte ada di book ini juga kok tagarnya. Atau kunjungi profileku di readlist akan kutambahkan disana. Selamat menyaksikan perjuangan kami!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro