Bagian 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dedarah
Bagian 24

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Biasanya kalian tidur jam berapa sih?

Pernah mimpi buruk? Mimpi buruk apa yang paling kalian ingat?

Pernah melupakan sesuatu yang pas ingat kalian langsung syok gitu?

Jika harus memilih,  pilih mana antara mengingkari janji dan dikhianati.

Mana yang pernah kalian alami: pingsan,  berhalusinasi, tidur berjalan, ketindihan?

○●○

Malam ini, aku termenung di kamarku. Aku terus saja memikirkan Rajo. Sudah lima atau enam hari dia hilang—aku sampai lupa sudah berapa hari saking stresnya. Harapanku pelan-pelan pupus, tidak ada kabar dari polisi dan para warga.

Satu-satunya yang tahu di mana Rajo hanya dia. Sosok itu, Mayang si penyihir. Besok, aku akan memintanya untuk mengembalikan Rajo. Namun, bagaimana aku bernegosiasi dengannya? Sepertinya, aku harus memberikan apa yang dia mau.

Di rumah ini, aku merasa sangat tidak tenang. Tiba-tiba terlintas sesuatu di pikiranku, bagaimana jika aku pergi saja? Aku ingin mencari udara segar, sesuatu yang membuatku merasa sangat nyaman, membuat tubuhku berelaksasi. Di benakku muncul pilihan yang aneh, tetapi bisa menjadi jawaban dari keinginanku. Bagaimana jika aku mengunjungi tempat itu?

Menyiapkan pakaian di dalam tas, aku keluar diam-diam. Ibu sudah tidur. Padahal baru jam delapan, tetapi dia telah terlelap di kamarnya—dia memutuskan pindah dari kamar Rajo. Aku keluar rumah dan mengambil sepedaku.

Mengayuh sepeda, kurasahan hawa dingin yang menyejukkan. Jaket dan celana olahraga tebal yang kupakai ini membuatku tidak menggigil kedinginan saat masuk ke dalam jalanan yang menembus hutan. Lampu sepedaku menyala, membantu menerangi jalanan berliuk di antara pepohonan ini.

Sesekali, aku memperhatikan sekitar, berharap ada keajaiban saat aku bisa bertemu dengan Rajo. Namun, aku tersenyum kecil karena aku terlalu berharap. Di hutan ini hanya ada kesunyian, suara serangga, dan gemerisik daun-daun yang tertiup angin malam.

Tiba-tiba, aku memikirkan tentang kasus itu. Seorang perempuan yang diperkosa di hutan. Aku tidak tahu nasib sang perempuan karena pasca kejadian itu aku sedang dirawat di rumah sakit. Aku hanya tahu nasib para lelakinya yang dibakar hidup-hidup oleh warga. Andai saja Mayang bisa ditemukan dan terbukti menculik Rajo, pasti dia akan dibakar juga. Namun. Mayang adalah hantu, sosok ghaib seperti itu memangnya bisa dibakar?

Dari kejauhan, aku melihat seseorang yang membawa senter. Dia seperti sedang mencari sesuatu di dalam hutan. Tiba-tiba, senternya menyorot ke arahku. Sontak, aku langsung menutup wajahku agar tidak silau.

"Non Rema?" panggil sosok itu.

"Pak Salman?" tanyaku yang hafal dengan suaranya.

Pak Salman mendekatiku. "Mau ke mana malam-malam begini, Non?"

"A-aku, ingin ke kota," jawabku yang agak canggung. "Bapak sendiri?"

"Mencari adikmu," kata dia.

Aku tidak bisa merespons, ternyata masih ada orang yang terus mencari Rajo.

"Ini adalah peta yang saya percayai sebagai peta menuju ke rumah Mayang," ungkapnya menunjukkanku sebuah kertas—dia menyorotnya dengan senter.

"Benarkah ini petanya?" tanyaku untuk mengkonfirmasi.

"Iya. Kakek saya yang menggambarnya dulu. Ternyata, peta ini tersimpan di gudang rumah," jawabnya yang kuingat jika kisah tentang Mayang telah diceritakan turun-temurun di keluarga Pak Salman.

"Jadi, rumahnya ada di daerah hutan ini?" tanyaku.

"Kemungkinan masih masuk cukup jauh," jawabnya.

"Apakah aku boleh menyimpan peta itu?" tanyaku. "Aku ingin ke sana sendiri besok."

"Boleh," jawab Pak Salma. "Saya juga sudah mau pulang," kata dia.

Dia akhirnya memberikan peta itu padaku, aku menaruhnya di tas. Lalu, dia pergi untuk pulang. Sementara itu, aku kembali mengayuh sepeda untuk pergi ke kota.

Aku telah berniat untuk pergi ke gelanggang olahraga. Aku akan masuk diam-diam ke kolam renang. Aku tahu pintu masuk yang tidak akan diketahui para penjaga. Aku mendengarnya dari anggota lain. Terkadang, mereka juga jahil menyelinap masuk untuk berenang di malam hari. Semoga malam ini tidak ada yang ke sana.

Perjalanan ke sana cukup aman, aku tidak menemukan ancaman apa pun. Aku hanya berpapasan dengan orang-orang yang baru pulang dari kota, mereka biasanya adalah para penjual di pasar atau penjual keliling. Aku termasuk nekat ke kota jam segini, biasanya anak perempuan—baik-baik—lain di daerahku akan mengindari keluar rumah malam-malam. Keberanianku ini hadir karena karena sifat ibuku yang sama sekali tidak mengekangku.

Saat sampai di gelanggang olahraga, aku memarkirkannya di parkiran belakang. Lalu, aku menyelinap masuk ke gedung kolam renang lewat sebuah pintu yang ada di belakang. Pintu itu tidak terkunci. Dengan selamat, aku sampai di kolam.

Cahaya di kolam ini berasal dari jendela-jendela di atas tribune—dari terangnya bulan dan lampu-lampu besar di gelanggang olahraga ini. Jadi, suasana yang dihasilkan di sini lumayan temaran. Walau kurang terang, tetapi pencahayaan di sini tidak bisa dibilang gelap. Kurasa pencahayaan seperti ini sangat cocok untuk pencari ketenangan sepertiku.

Aku membuka jaket dan celana olahragaku. Aku sudah memakai pakaian renang dari rumah. Lalu, aku menggunakan penutup kepala untuk melindungi rambutku. Duduk di tepi kolam dengan kaki masuk ke air membuatku kedinginan. Airnya sangat dingin.

Aku tertawa kecil saat aku masuk ke air. Aku pun mulai berenang perlahan. Aku tidak mau menimbulkan banyak suara. Rasanya benar-benar segar. Ternyata, ideku ini sama sekali tidak buruk. Aku menikmati berenang sendirian di kolam besar ini. Namun, aku tetap bertahan di area dangkal—satu meter. Karena area yang dalam mungkin akan lebih dingin.

Saat berdiri di tengah kolam, aku tiba-tiba teringat teman-temanku yang datang ke rumah dua hari yang lalu. Mereka memakai pakaian putih abu-abu. Itu hari Senin atau hari Selasa, ya? Aku yakin itu hari Senin, tetapi tiba-tiba aku ragu. Detak jantungku seakan berhenti. Aku ingat kata-kata Naya.

Kamu tidak masuk tiga hari buat aku khawatir tahu.

Tidak masuk tiga hari. Aku mulai tidak masuk hari Jumat. Pikiranku yang kacau menghitung Jumat, Sabtu, dan Minggu, sehingga hari saat teman-temanku datang ke rumah adalah hari Senin. Aku benar-benar bodoh! Minggu kan hari libur. Jadi tiga hari yang dimaksud Naya adalah Jumat, Sabtu, dan Senin. Jadi, mereka datang hari Selasa. Dua hari setelah Selasa adalah Kamis. Artinya, ini adalah malam Jumat!

Seketika, seluruh tubuhku langsung merinding. Aku memutuskan untuk pulang. Aku tidak boleh ada di sini. Namun, saat aku ingin kembali berenang ke tepi. Aku merasakan hal yang aneh. Kaki kananku kram! Apa yang harus aku lakukan?

"To-tolong!" teriakku seraya menoleh ke sekeliling. Tidak ada seorang pun.

Aku mulai panik. Berdiri dengan satu kaki di dalam air membuatku sangat tidak tenang. Mengatur napas yang mulai tidak stabil, aku kembali menoleh ke sekeliling. Berteriak minta tolong. Namun, tidak ada orang yang datang.

Dari jendela-jendela di atas tribune, aku melihat sesuatu yang paling membuatku ketakutan. Lampu-lampu gelanggang olahraga mati. Ruangan ini menjadi gelap, tetapi cahaya bulan masih membantuku untuk dapat melihat keadaan sekitar.

Dengan kepanikanku yang mulai mencapai puncaknya, aku merasakan rambut-rambutku keluar dari penutup kepala ini. Lalu, penutup kepala terbuka. Belum sempat aku ingin menutupnya lagi. Kaki kananku seperti ditarik. Sesuatu memilitku di dalam air.

Dengan gegabah, aku mencoba berenang dengan kaki yang masih kram. Bukannya bergerak maju, tubuhku justru masuk ke dalam air. Aku langsung mencoba untuk menaikkan kepalaku ke permukaan. Namun, sangat sulit. Aku menutup mulutku agar tidak ada air yang masuk.

Tampak tidak jelas, aku melihat sosoknya di dalam air. Mayang dengan rambut panjangnya itu tengah berdiri di bagian kolam yang dalam. Rambutnya melayang-layang di air dan salah satu untaiannya mulai menjerat kakiku.

Aku menggerakkan kaki kiriku kuat-kuat untuk melepas untaian rambut itu. Namun, itu sangatlah sulit. Akhirnya, aku memilih menggunakan tanganku, melepas jeratan rambut Mayang dari kaki kananku. Setelah berhasil, aku langsung berenang menuju ke tepi. Aku langsung naik ke pinggir kolam. Namun, belum kaki kananku naik, Mayang kembali menjeratnya.

Aku membalikkan tubuh, melihat apa yang terjadi di depanku. Dari dalam kolam. Sosok itu muncul. Mayang dengan rambutnya yang sangat panjang keluar dari air. Rambutnya mengangkat Mayang melayang di udara.

Aku ingin menangis saat rambutnya tidak hanya menjerat kaki kananku, tetapi kaki kiriku dan perlahan mulai menjerat tubuhku.

"Apa yang kau inginkan?!" seruku yang sudah mulai meneteskan air mata tanda ketakutan yang bercampur dengan panik ini. "Kembalikan Rajo padaku! Kembalikan!" Aku berteriak meminta adikku kembali, walau aku tahu dia tidak akan mendengarkanku.

Rambutnya kini sudah menjerat seluruh tubuhku. Dengan perlahan rambut-rambutnya mengangkatku ke udara. Aku mencoba untuk melawan, menggerakkan tubuhku sekuat tenaga, tetapi rambut itu justru semakin kuat menjeratku.

Dia menghadapkan tubuhku padanya di atas kolam ini. Perlahan, dia mengangkat tangannya. Tangan itu tidak berbentuk gunting, tetapi secara berkala jari tengah dan jari telunjuknya berubah menjadi gunting.

"Kenapa kau melakukan ini padaku?! Siapa yang menyuruhmu?!" seruku yang mencoba memberanikan diri.

Rambut-rambutku membungkam mulutku, tetapi aku masih terus berusaha berteriak.

"De ...."

Aku masih mencoba menggerakkan tubuhku agar dia membebaskanku.

"Da ...."

Dia mulai menampakkan mulutnya, lalu hidungnya, dan kemudian matanya.

Aku mencoba menutup mata, menggerak-gerakkan kepalaku dan tubuhku sekuat yang aku bisa. Tanganku kiriku mampu keluar dari jeratan.

"Rah ..."

Aku menarik rambutnya dan kujadikan tameng saat dia ingin menggunting rambutku. Alhasil, dia menggunting rambutnya sendiri. Darah langsung memuncrat dari sana, mengenai wajahku. Saat itu juga, aku terjatuh karena jeratan rambutnya lepas dari tubuku.

Jatuh ke kolam, aku membuka mata dan melihat begitu banyak darah menetes ke air. Aku pun segera berenang—kaki kananku sudah tidak kram. Namun, Mayang sepertinya kembali masuk ke air. Dia memelukku dari belakang. Wajahnya kini ada di sampingku. Dadaku langsung terasa seperti ditekan.

"De... da... rah...," bisiknya yang mampu bicara di dalam air. Dia menggunting rambutku yang melayang-layang di dalam air.

Ketakutanku memuncak saat dia menjulurkan lidahnya, ke arah darah yang menyebar dari rambutku. Setelahnya, dia dia melepaskan pelukannya dan menghilang. Aku kembali berenang sebelum napasku habis. Aku berhasil keluar dari kolam renang. Dengan cepat, aku mengambil napas sebanyak-banyaknya. Seluruh tubuhku gemetaran.

Saat aku berniat untuk berdiri, kakiku yang lemas tak mampu melakukannya. Aku justru terpeleset dan jatuh.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Bagian paling horror di cerita ini yang mana?

3. Bagian paling kalian suka yang mana?

4. Bagian yang paling kalian tidak suka yang mana?

Siapa pengin lanjut?! Comment: Aku Selow!

Hadiah permainan di Bagian 28: Mendapatkan kupon khusus hadiah di Bagian 02 dan 03 sekaligus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro