Deep Down In Manhattan Forest, There Is A Home For Peculiar Childrens

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa orang menyebut bahwa rumah besar beratap penuh abu di pedalaman hutan pinus Kota Manhattan adalah rumahnya laba-laba—terpencil dan jauh dari perkotaan. Apabila seorang pemburu tupai, pencari biji pinus, atau pasangan muda yang tengah berjalan menuju Danau Kekasih melewati bangunan aneh itu, niscaya suara serak bercampur kematian akan langsung memanggil para pejalan untuk memasuki rumah dan menetap di dalamnya sembari menyesap teh bunga columbine.

Beberapa orang lagi mengatakan bahwa rumah dengan pagar timpang itu adalah panti asuhan bagi anak-anak terlarang Manhattan. Anak-anak itu aneh, eksentrik, dan tidak ada yang tidak dijauhi oleh seisi kota. Cara bicara mereka menggelikan. Terkadang seperti babi di rumah jagal, beberapa kali seperti penderita demam ladang tebu yang meradang, pun sebagian besarnya seperti orang gila yang baru belajar membaca. Meski begitu, semua penduduk Manhattan yang mendengar suara-suara mereka sekonyong-konyong akan langsung lari tunggang langgang seperti seorang pria menghindari perceraian.

Daerah itu memang aneh. Di kota ini, hanya hutan itu saja yang hawanya tidak mengenakkan. Seorang tuan pengacara yang hendak membunuh waktu pernah melihat anak-anak kecil dengan kepala keemasan berkejaran di jajaran pohon pinus. Seorang guru matematika pernah hampir menabrak seorang bayi perempuan yang tengah merangkai tanaman perdu, tetapi kehilangan keberadaannya begitu ia berkedip separuh detik.

Meski penduduknya banyak yang melakukan tindakan kriminal, penjahat utama Manhattan tahun 1910 adalah walikota, dan jajaran manusia di kantor pemerintahan. Empat dekade lalu, kota ini memiliki kasus aneh tentang kelahiran bayi-bayi aneh. Di utara, beberapa wanita melaporkan bayinya berkulit emas. Di bagian selatan, rumah sakit mencatat kelahiran anak-anak berkepala cahaya.

Kala itu, pemerintahan Manhattan teramat kalut seperti badai bulan Juni. Walikotanya gila—wakilnya juga. Orang-orang tanpa perasaan itu membuat peraturan sinting yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk Manhattan.

Tiap-tiap bayi bertubuh aneh harus dibunuh di hutan pinus kota.

Melanggar sedikit, jeruji besi pusat kota menanti. Melanggar terang-terangan, seisi kantor kota akan memaki-maki di tiang gantung. Kepala pemerintahan kota ini kelewat dungu dan aneh—hampir sama anehnya dengan bayi-bayi yang mereka bunuh.

Kala itu, empat puluh tahun yang lalu, tidak ada orang tua bayi aneh yang tidak protes. Peraturannya kala itu berat sebelah—hanya menguntungkan satu pihak, dan pihak yang diuntungkan adalah kalangan kaum-kaum pemerintahan itu sendiri. Hendak dilengserkan dari jabatan, tetapi kekuatan politiknya begitu kuat.

Pria itu culas. Mulutnya berbisa. Tiap-tiap ucapannya akan selalu mengarah kepada ibu-ibu dari bayi aneh itu. Ia mengatakan bahwa bayi-bayi tadi adalah buah dari praktik sihir modern. Lebih dari setengah penduduk kota percaya. Pun, ibu-ibu yang tidak mau membuang anaknya ke hutan pinus tadi diburu hingga ke pedalaman desa Birmingham. Dianggap penyihir hitam, diarak beramai-ramai ke pusat kota, dibakar hidup-hidup di pancang kayu bakar tanpa menyisakan kata-kata terakhir. Suaminya juga sama. Beberapa dipenggal, tetapi sebagian besarnya digantung di dekat sungai.

Anak-anak mereka, yang kini telah yatim piatu, dikumpulkan satu-satu ke tengah kota. Dibiarkan dulu bayi-bayi itu hidup sendirian tanpa ada yang merawat. Penduduk-penduduk kota juga tidak ada yang memiliki hati nurani—dan walaupun ada, sebagian besarnya memilih untuk percaya tentang ancaman akan tertular keanehan bayi-bayi tadi bila berdekatan dengan mereka terlalu lama. Hingga menginjak usia lima tahun, dibiarkan anak-anak itu hidup di kota dengan dikelilingi kebencian dan putus asa yang teramat.

Saban tahun, walikota gila itu akhirnya memerintahkan bawahan-bawahannya untuk kembali mengumpulkan semua anak aneh tadi. Pun setelahnya, ia meletakkan tiap-tiap bocah aneh ke dalam gerobak kayu untuk selanjutnya dibawa ke hutan kota. Jumlahnya ada delapan, dan kesemuanya diiring separuh besar warga Manhattan ke tengah hutan pinus yang akan membeku tiap kali musim dingin tiba.

Diletakkan kedelapan anak-anak aneh itu ke tengah hutan, di dekat rumah tua peninggalan raja terdahulu yang dibunuh paksa oleh pasukan Perancis. Tidak langsung dibunuh. Mati dipenggal terlalu cepat—begitu kira-kira yang diucapkan si walikota begitu ditanyakan keputusannya oleh si wakil. Tuan walikota gila ingin melihat delapan bocah bertubuh ganjil tadi mati tersiksa di tengah hutan tanpa makanan, dan tidak ada yang menanyakan kewarasannya dari sana.

Bayi-bayi itu kini menjadi legenda Manhattan yang cerita-ceritanya tidak boleh lagi disentuh oleh para penduduk. Si walikota mati beberapa tahun setelahnya karena terserang lepra parah. Tidak ada bacaan di perpustakaan kota yang membahas tentang kisah tidak menyenangkan itu. Satu-satunya sumber aku bisa tahu tentang kisah bayi-bayi aneh itu adalah dari Kakek Jimmy yang sering mengigau ketika rumahnya kukunjungi tiap musim panas.

Ibu selalu mengantarkan aku ke rumah Kakek Jimmy tiap kali libur musim panas sudah tiba. Di sana, aku akan bermain bersama anjing betinanya yang berbulu lebat. Terkadang, ia akan membiarkanku bermain di kebun wortelnya yang rimbun—satu-dua pernah kucabuti dan kumakan mentah-mentah, tetapi esok paginya, langsung sakitlah perut dan kepalaku.

Kakek Jimmy juga sering menceritakan kisah-kisah masa lalunya kepadaku. Ia adalah tentara, dan setelah selesai berperang, ia berubah profesi menjadi pengelana. Ia pernah singgah dengan menaiki kapal layar ke beberapa negara. Jerman, Swiss, bahkan hingga satu negara di benua hitam yang namanya sulit sekali untuk dieja. Secara keseluruhan, cerita-ceritanya bisa membuatku ikut hanyut ke dalam perjalanannya. Namun, tidak jarang pula ia membuatku mengernyit, terutama ketika kuadukan kepada Ibu.

Ia pernah berkata bahwa dari semua tempat yang pernah ia kunjungi, Manhattan adalah tempat paling aneh. Kota ini menarik dan orang-orangnya menyenangkan. Begitu menurutku, sebelum ia mulai menceritakan kisah tadi lamat-lamat. Ia bersumpah jika saja ia memiliki uang lebih untuk membangun rumah dan kebun wortel di London, ia akan langsung pindah ke sana tanpa basa-basi satu detik pun.

"Laura, kau tidak boleh pergi ke hutan itu. Hanya orang dewasa yang boleh memasukinya." Begitu ucapnya berkali-kali, tiap-tiap aku menunjukkan tanda-tanda antusias akan ceritanya. Kemudian setelahnya, ia akan mulai bercerita lagi tentang topik yang lain—aku bersumpah ia selalu menceritakan hal-hal tidak berguna setelah kisah menarik tentang sejarah kelam Manhattan.

Musim panas tahun ini, aku kembali mengunjungi kediamannya yang nyaman. Ibu mengantarku menggunakan mobil tuanya yang selalu berderak tiap kali melewati jalan berbatu. Rumah Kakek Jimmy berada di ujung tanjakan dan akan selalu ada masalah di mobil tua kami apabila pergi ke rumahnya.

Tahun ini, Ibu tidak menetap. Ia langsung kembali ke rumah dan langsung menitipkanku ke Kakek Jimmy—katanya tadi, ia masih memiliki urusan dengan koleganya yang tidak bisa ditinggalkan. Wanita itu sudah bekerja terlalu keras untukku. Karenanya, aku tidak akan protes ketika tahu bahwa dirinya masih harus bekerja di pusat kota. Lagipula, Kakek Jimmy pasti memiliki banyak permainan baru yang akan ia mainkan bersamaku sekembalinya Ibu ke kota—ada piring terbang melingkar di serambinya. Aku yakin ia akan mengajakku memainkan benda itu kelak sore.

Kakek Jimmy mengajakku bergabung dengannya di dalam rumah. Rumahnya masih sama. Kuno dan artistik. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu, pun di sisi-sisi ruangan akan ada gantungan kepala beruang yang terpajang rapi. Ia pernah mengatakan kepadaku bahwa seorang kerabat selalu memberikannya barang-barang unik itu apabila telah usai musim berburu.

Setelahnya, tidak ada lagi yang kami lakukan selain bermain, memanggang daging rusa di halaman belakang, atau mengejek jalan pincang Sass, anjing Kakek Jimmy. Begitu seterusnya hingga dua hari. Ketika sudah bertemu dengan Kakek Jimmy, aku selalu terbuai dengan sikapnya yang terlalu memanjakan hingga aku lupa tujuan awalku: membuktikan kisah-kisahnya tahun lalu.

Jadilah, hari ini, di kunjunganku yang ketiga, aku akan bersambang ke rumah tengah hutan pinus itu. Aku tidak membawa apa-apa—baju ganti dan cairan penghindar nyamuk pun tidak. Aku tidak mau tertangkap basah memiliki rencana untuk datang ke hutan pinus terkutuk yang sering Kakek Jimmy bicarakan. Satu-satunya tempat yang boleh aku kunjungi sendirian bilamana tengah berangjangsana ke rumahnya adalah kebun wortel dan aliran sungai kecil di dekat rumpun bunga dafodil.

Kebun wortelnya terlalu dekat dengan rumah Kakek Jimmy. Aku tidak bisa kabur bila memilih alibi untuk pergi ke sana. Karenanya, aku memutuskan untuk mengatakan bahwa aku akan mencari batu berbentuk aneh di tepian sungai. Ia setuju. Satu-satunya pesan yang ia katakan kepadaku adalah tidak boleh terlalu lama berendam di air karena ada hewan aneh hidup di dalamnya—Sepupu Robert sempat dibawa ke rumah sakit di pusat kota karenanya.

Ia tidak curiga sama sekali. Baguslah. Dengan begini, aku bisa lebih bebas pergi ke rumah itu.

Tidak ada hal pasti yang akan kulakukan sesampainya di sana. Aku hanya akan berkeliling dan berdiam beberapa menit. Jika tidak ada suara yang terdengar, aku akan pulang dengan kecewa. Jika ada suara yang terdengar, tetapi mirip serigala, aku akan lari menjauh secepat kilat ke rumah. Namun, jika ada suara yang memanggil namaku, maka aku akan membuka pintu rumahnya.

Perjalanan ke tempat itu melelahkan dan membuat kepalaku pusing. Udaranya panas, tetapi keadaan di dalamnya gelap gulita. Tidak menyenangkan sama sekali. Oh Tuhan, di hutan ini bahkan tidak ada tupai atau kelinci abu liar!

Susah-susah aku berjalan masuk ke bagian dalam hutan. Keadaannya suram. Aku tidak bisa melihat apa-apa selain barisan pohon pinus kuda yang berjajar seperti serdadu kaki satu. Jalanku masih dilanjutkan, tetapi dengan terseok-seok hingga tertangkap oleh pelupuk mataku sebuah rumah besar berdebu.

Aku menegak ludah kasar, mengembuskan napas berat, mempercepat detak jantung. Memang inginku datang ke tempat ini. Namun, begitu sampai, nyaliku langsung ciut bak tikus yang dihadapkan dengan kucing jalanan. Rumahnya besar dan aku mulai tahu mengapa orang-orang memanggil rumah ini dengan sebutan rumah laba-laba.

Aku—

Demi Neptunus, seorang kerdil mengetuk-ngetuk lututku tiga kali! Aku tidak tahu bagaimana rupa si pengetuk. Aku terlalu takut melihat ke bawah. Bersamaan dengan ketukannya, telingaku mendengar sesuatu.

"Laura, ayo masuk ke dalam.  Kami akan membuatkanmu teh." Aku bersumpah aku ingin sekali pergi dari tempat ini bila saja tidak ada yang menahan kakiku untuk kabur. Kemudian, beberapa saat kemudian, tujuh manusia pendek keluar dari dalam rumah bersamaan.

Mereka adalah anak-anak aneh Manhattan. Mereka hidup. Mereka masih berkeliaran di alam bebas.

Mereka legenda hidup Manhattan.

Tiga di antaranya memiliki kulit keemasan, dua berkepala cahaya, dua sisanya memiliki bulu seperti serigala gunung. Sisa satu yang memegang kakiku, dan anak perempuan ini memiliki gigi runcing menyerupai hiu. Anak-anak ini tidak menua.

Aku terperanjat. Tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan melihat mereka di tempat ini. Meski begitu, aku ikut bingung perihal alasanku takut dengan kehadiran mereka. Mereka tidak berperilaku kurang ajar. Anak-anak ini hanya tersenyum di tempat mereka sembari bertanya pelan-pelan mengenai tawaran mereka agar aku bisa mengobrol di dalam rumah.

Aku dilema. Sungguh, aku tidak tahu harus apa. Anak-anak ini terlihat seperti penduduk beradab, tetapi aku masih takut dengan kehadiran mereka. Namun, setelah salah satu dari mereka mengatakan bahwa mereka tidak ingin ditakuti lagi oleh para penduduk kota, langsung luluhlah pertahananku. Aku masuk juga ke tempat itu. Berbincang lima menit tidak akan membuatku mati.

"Kami hanya ingin dihargai," ucap salah satu dari mereka kala kami tengah mengobrol. Air muka yang lain tampak menahan sedih. Kini aku tahu mengapa mereka memilih untuk tidak muncul lagi di komunitas. Warga Manhattan terlalu bengis untuk jiwa-jiwa mereka.

Percakapan berlanjut. Mereka mulai memperkenalkan diri. Adam, Eve, Rebecca, Maria, Theodore, John, Pollock, dan yang paling kecil, Abigail. Kesemuanya anak-anak yang ceria dan baik hati. Mereka bahkan sempat mengajakku bermain lempar tangkap biji pinus di halaman depan.

Mereka tidak bisa menjadi masalah. Begitu pikirku, sebelum anak kesembilan muncul dari balik kamar. Dilanjutkan dengan anak kesepuluh, kesebelas, kedua belas, dan seterusnya hingga dua puluh. Aku tidak tahu apa-apa. Aku terlalu lamban mencerna keadaan. Kepalaku pusing, mataku berat, tehnya aneh. Namun, sebelum terlelap, suara dari anak yang paling tua membuat jantungku jatuh hingga ke perut.

"Kami bukan anak aneh. Kami adalah anak kutukan. Manhattan bukan kota yang aneh. Manhattan adalah kota terkutuk. Terima kasih karena sudah mau berbincang dengan kami. Karena sudah bersikap baik, kami akan ikut menyihirmu menjadi salah satu dari kami. Terima kasih, Laura. Setelah ini, kita bisa hidup bersama-sama di Manhattan hingga dunia tertubruk batu angkasa.

***

Beberapa orang menyebut bahwa rumah besar aneh di pedalaman hutan pinus Kota Manhattan adalah rumahnya laba-laba—terpencil dan jauh dari perkotaan. Namun bagiku, rumah di tengah hutan pinus itu adalah kediamanku yang paling nyaman.

Untuk selamanya.

Fin.

Cerpen ini dipersembahkan dalam seleksi open member famts_writer

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro