bab dua puluh tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kita putus, Nadir!"

"Milan!" pekik Nadir.

"Kita memang harus putus," tegas Milan yang tengah duduk di seberang Nadir.

Tatapan Nadir mengarah ke luar kedai. Ia tak mau menatap mata Milan yang selalu berhasil membuatnya hancur. "Kenapa, Lan?" tanyanya yang masih tak mau mengerti.

"Ya, karena kita itu gak sama."

"Kenapa, Lan?"

"Kenapa buat apa lagi?" bingung Milan.

"KENAPA DULU KAMU GAK TERIMA KEPUTUSAN AKU BUAT UDAHAN?" Nadir meninggikan suaranya tanpa peduli dengan orang-orang yang kini menatapnya.

Milan tersentak. Ia ingin menjawab pertanyaan Nadir, namun lidahnya terasa kelu.

Air mata Nadir terus menetes tanpa ia seka. "Kenapa, Lan? Kenapa sekarang kamu minta udahan?" lirihnya sembari menundukkan kepala.

"Demi kebaikan kita, Nad."

Nadir menggelengkan kepalanya kuat. "Kamu bohong!" tandasnya.

"Nad, dengerin aku." Nadir mendongak menatap netra Milan yang terlihat sangat teduh. "Kalau kita tetep lanjutkan hubungan ini, akhirnya saling terluka, Nad. Aku gak mau nyakitin kamu. Jadi, aku pikir pisah adalah solusi terbaik."

"Milan, hidup aku gak lama lagi kok, cuma tinggal beberapa bulan lagi. Kalaupun aku harus terluka, gak papa, seenggaknya aku bisa habiskan sisa hidup aku sama kamu."

Kepala Milan berdenyut nyeri. Ia berpikir keras bagaimana mengakhiri hubungannya. Karena, ia tak ingin melihat kekasihnya itu terluka. "Nad, LDR itu serem. Semua orang berubah jadi psikopat, saling nyakitin."

"Aku gak bakalan nyakitin kamu, Lan. Mungkin di Surabaya nanti kamu bakalan ketemu sama orang yang lebih dari aku, dan gak kecil kemungkinan perasaan kamu memudar ke aku. Oke! Aku terima, Lan. Asalkan satu, jangan pernah tinggalkan aku sebelum nyawa aku hilang!"

Perkataan Nadir membuat Milan memijat kepalanya. "Jangan egois, Nad!"

Milan melupakan bahwa Nadir paling tidak suka disebut orang yang egois. Seketika senyuman Nadir terbit, air matanya terhenti dengan menyisakan jejak di pipi. Pandangan Milan yang semula ke bawah meja, kini berangsur naik kala tak mendengar lagi isakan Nadir.

"Kamu mau pisah kan? Oke, Lan, aku terima keputusan kamu!" Nadir memaksakan bibirnya semakin melebar. "Kamu bebas, Lan. Gak akan ada lagi yang ngerepotin kamu gara-gara gak kuat jalan jauh. Kamu boleh pergi, cari kebahagiaan kamu yang bikin kamu puas. —aku rela."

Sejujurnya saat Nadir mengucapkan dua kata terakhir, ia sangat berasa berat. Tetapi, itu harus ia katakan untuk membunuh ego-nya.

Milan tampak terkejut dengan ucapan Nadir. Ia tersenyum tipis, lalu berdiri dari duduknya. "Selamat malam, Nadir." Tanpa berucap lebih jauh, Milan membalikkan badan, pergi dari kedai itu.

Sembari menatap punggung Milan yang sedang menyeberang, air mata Nadir kembali turun membuat pandangnya menjadi sedikit kabur.

Milan berjalan lambat menyeberangi jalanan luas itu. Tanpa disadari, sebuah mobil melaju kencang ke arahannya. Dengan sekali tabrak, tubuh Milan terlempar cukup jauh.

Nadir yang masih memusatkan perhatiannya pada sosok Milan kini menahan napasnya. Matanya benar-benar merekam apa yang baru saja terjadi. Suara ricuh di luar membuatnya tersadar, kemudian berlari sekuat mungkin menghampiri Milan yang tengah tergeletak di tengah jalan.

Saat tinggal beberapa langkah lagi, kaki Nadir terasa berat untuk melangkah. Air matanya terus mendesak keluar. Nadir melihat Milan yang tergeletak dengan darah yang bersimpuh di dekat kepalanya.

Nadir terus mendekat dengan harapan ini hanyalah mimpi. Namun, saat ia memegang tubuh Milan yang sudah berubah menjadi dingin, Nadir menangis histeris, kepalanya menggeleng kuat.

"MILAN!"

Indira terbangun dari tidurnya dengan pipi yang sudah sangat basah. Dada perempuan itu naik turun dengan cepat, keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi dahinya.

Indira memeluk kedua lututnya dengan erat. Air matanya kembali turun. Ingatan pada malam dimana Nadir melihat bagaimana Milan kehilangan nyawanya, masih melekat di kepalanya.

"Milan, kenapa harus begini akhirnya?" lirihnya terdengar pilu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro