Demi Selfie

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Wuaaadhuuuh, maaf Mbak ... Hapenya belum dateng. Mungkin baru nanti malem setoknya nyampe."

Logat medok Mas-Mas Penjaga Toko Ponsel itu terdengar bagai sambaran petir bagi Marimar.

Dia sudah sebulan ini berusaha mengumpulkan uang dengan menyisihkan sebagian uang sakunya. Entah berapa kali ajakan teman-temannya untuk nongkrong di kafe trendi dekat kampus, ditolak demi mencapai target nominal yang dibutuhkan.

Beruntung bocah tetangganya sedang butuh les privat, waktu berbulan-bulan yang diperkirakan jadi terpotong banyak, berkat penghasilan dari kerja sambilannya itu.

"Kalau gitu ... Saya datang lagi nanti malam saja."

"Yakin, Mbak? Kurir yang anter setok paling cepet nyampenya masih nanti jam 9, lho. Kemaleman Mbaknya nanti ... Buwahayaaa!"

Marimar meremas-remas jemari. Tawaran magang dari Pak Porres, dosen yang sangat dia hormati sudah terlanjur diterima. Padahal kalau ponsel itu sudah di tangan, syarat yang selama ini tak bisa dipenuhi, yaitu bisa menggunakan aplikasi chat di ponsel pintar, seharusnya sudah tak masalah lagi.

"Besok aja, Mbak. Puuuwagi-pagi banget juga, nggak apa ... Toko wis buka."

Mas-Mas Penjaga itu menjanjikan juga untuk menyimpankan satu unit ponsel yang diinginkan Marimar, seandainya ada pembeli lain yang datang lebih pagi. Setelah mendapatkan, tidak hanya nomor telepon toko, tetapi juga nomor ponsel Mas-Mas Penjaga itu sendiri, akhirnya Marimar bersedia untuk pulang, walau dengan langkah gontai.

Usia ponsel lamanya sudah terlalu tua. Bukan hanya masalah baterai yang hanya bisa bertahan kurang dari setengah hari, ponselnya juga masih ponsel bodoh yang hanya bisa mengirim pesan SMS dan menelepon menggunakan pulsa langsung. Urusan kampus yang butuh online, selama ini teratasi berkat komputer laptop dan WiFi rumah.

"Zaman sekarang, mana ada yang punya cukup pulsa buat ngobrol lewat telepon?" cemooh Angelica, sepupunya. Ketika tak sengaja memergoki Marimar yang berusaha menelepon balik teman seper-kerja-kelompoknya, setelah beberapa kali mendapat misscall.

"Tapi, Ange dan pacarmu juga saling telepon?" Tak perlu menguping, Marimar sering tak sengaja mendengar suara manja dan riang Angelica ketika mengobrol saking kencangnya sepupunya itu ketika berbicara.

"Hei!" tukas Angelica, mengacungkan telunjuknya yang bermanikur sempurna. "Maaf, saja. Aku nelepon ayang-ebeb-ku lewat video call, ya ... Kita beda level!" tambah gadis itu seraya mengibaskan rambut bob cokelatnya yang selalu disetrika setiap habis keramas hingga lurus licin.

Marimar menggigit bibir bawahnya, mengunyah kembali protes yang hendak dia utarakan. Salah satu sebab mengapa dia tak ingin menggunakan ponsel pintar, dia tak bisa lagi berkilah untuk menyalakan video bila harus menjalani kuliah atau rapat daring. Dengan komputer dan laptop, Marimar masih bisa mengusahakan webcam yang kualitasnya lumayan.

Seperti bisa menebak apa yang terlintas dalam pikiran sepupunya, Angelica melanjutkan, "Ih, makanya ... Beli hape yang kamera depannya bagusan dikit, kenapa? Kalau pake hape bapukmu itu, mau tampang secantik apa juga bakal tetep burik, tahu!"

Walau ada sedikit rasa bangga karena diakui cantik oleh Angelica yang terkenal angkuh itu, kata-kata sepupunya lumayan membuat Marimar dongkol. Diperparah ketika esok hari dia curhat pada teman-temannya saat istirahat makan siang di kampus, bukannya dihibur mereka malah mendukung pendapat Angelica.

"Kalian lebih setuju sama pendapat Ange?!" seru Marimar. Sedikit merasa terluka.

Teman-temannya saling berpandangan sebelum Monika, sobat akrabnya mengaku, "Habisnya, menghubungimu memang sulit, Mar. Apalagi kalau sedang di luar gini."

"Iya, kami tidak selalu sedia cukup pulsa untuk SMS, apalagi menelepon. Secukupnya saja untuk darurat dan sekadar supaya bisa paket internet."

"Kalau nilaimu nggak oke, mungkin Dosen-Dosen juga ga bakalan mau balas sms kamu untuk urusan asistensi. Makan pulsa banget, mana terbatas banget pula jumlah katanya."

"Untung kamu masih pake email, Mar!"

Marimar mengerjap beberapa kali. Selama ini tak ada yang langsung protes atau mengeluh kepadanya, hanya menyarankan untuk menggunakan aplikasi chat yang tersedia fasilitas menelepon saja. Entah karena mereka sungkan atau Marimar yang gagal membaca sinyal dari kalimat yang ditujukan padanya.

"Tapi ... ponsel pintar kan mahal," keluh Marimar mencoba berargumen.

"Ada yang terjangkau, koook!" Monika buru-buru membuka browser pencarian lalu menyodorkan ponselnya sendiri, menunjukkan contoh jenis ponsel yang kira-kira masuk anggaran finansial mahasiswa.

"Kira-kira ... ada yang punya kamera selfie yang bagus, nggak, ya?"

Gumaman Marimar itu langsung disambut gembira oleh Monika dan yang lain. Mereka saling berlomba menyarankan aneka merk dan tipe ponsel pintar.

Gadis itu sangat senang atas dukungan yang diberikan teman-temannya, tetapi tak lama wajahnya kembali muram. Dia teringat akan satu alasan lagi penyebab dirinya tak pernah mengganti ponsel bodohnya. Alasan yang jauh lebih penting daripada kamera jadul ponsel bodohnya.

"Kenapa, Mar?" tegur Monika. "Kok, diem?"

"Nggak apa-apa," dusta Marimar. "Kalau gitu, aku coba kumpulin uang dulu. Mungkin 3-4 bulan lagi baru bisa beli."

Beberapa dari teman-temannya menghela napas. Keluarga Marimar bukan dari kalangan tak mampu, malah cukup berada. Tetapi keseharian gadis itu sangat sederhana. Konon, dia harus berhemat karena menumpang di rumah keluarga Tante Esperanza, ibu Angelica, sejak ayahnya tiada.

"Kubantu dikit-dikit, deh, Mar!" Monika menepuk pundaknya dengan penuh simpati.

"Iya, Mar. Nih ... Kuberi lauk separuh," tambah yang lain. Diikuti juga oleh semua yang semeja.

Sekejap saja piring Marimar penuh dengan tambahan lauk dari piring teman-temannya.

"Makasih, Gaes. Tapi nggak usah repot-repot, aku- ... EH, TUNGGU! Ini semua lauk yang kalian nggak suka, kan?! Diiih, balikin rasa terharuku!"

Saat itu mereka tergelak bersama-sama. Tetapi ketika tiba saatnya Marimar akan pergi membeli ponsel, ternyata tak ada seorang pun dari mereka yang punya waktu luang untuk menemaninya. Bukan karena tak mau, tetapi angkatan mereka memang sedang sibuk mengejar kredit tambahan dari magang. Jadwal mereka semua tidak ada yang sinkron.

"Sori banget, Mar!" sesal Monika. "Tapi kusarankan kamu datang langsung ke toko, daripada beli online. Kamu bisa lihat-lihat sendiri barangnya langsung dan tanya-tanya soal cara pakainya. Ini, kuberi daftar toko yang bisa dipercaya."

Sobatnya itu bergegas pergi mengejar bus, setelah menjejalkan selembar catatan ke tangan Marimar.

Ragu-ragu Marimar mengintip isi catatan. Benar saja, beberapa dari toko yang tercantum di situ berada di gedung mall yang terkenal sebagai pusat penjualan barang-barang elektronik di kota mereka. Perut Marimar mulas seketika.

Sekali, Marimar pernah diajak Tante Esperanza dan Angelica ke sana. Saat itu dia belum lama tinggal bersama keluarga kerabatnya. Suasana kota besar yang ramai masih asing bagi Marimar yang sebelumnya tinggal di desa.

Hingar-bingar suara panggilan para SPG dan SPB setiap toko yang memanggil bersahut-sahutan. Tiba-tiba di hadapan mereka bisa teracung brosur dan kertas berlaminating, daftar harga barang. Ketika mendekat toko merk ponsel yang baru sedang naik daun, terdengar dentuman musik kencang dan beberapa SPG berjoget di depan toko.

Angelica tergelak, begitu juga tantenya. Tetapi Marimar merapat di balik punggung Angelica. Di antara para SPG, terdapat badut maskot—sepertinya begitu, karena warna yang digunakan serupa dengan warna dominan hijau toko ponsel—ikut berjoget. Marimar mencoba menarik lengan baju Tante Esperanza, berharap untuk mencari jalan memutar saja karena dia paling takut pada badut maskot.

Belum sempat ibu dari sepupunya itu menanggapi, tiba-tiba dari arah lain muncul badut maskot kedua. Badut yang berwarna biru itu ikut berjoget seperti berusaha menutupi pandangan pengunjung pada badut maskot yang hijau. Seperti tidak terima, badut yang hijau maju dan ganti menutupi si badut biru.

Sekejap saja kegiatan mereka berubah jadi saling dorong dan saling sikut. Bahkan mereka saling pukul. Tidak terlalu kencang, karena toh mereka sama-sama dalam kostum balon, gerakannya terbatas. Pengunjung yang menonton ikut bersorak bersama SPG dan SPB masing-masing toko, kecuali Marimar. Dia ketakutan setengah mati.

Gadis itu tak ingat bagaimana dia bisa pulang Dia hanya tahu Angelica yang sebelumnya ramah, menjadi sangat ketus, sedangkan Tante Esperanza jadi sangat berhati-hati bila bicara padanya sejak saat itu.

Satu-satunya harapan tinggal sebuah toko kecil di pertokoan lama, dekat halte bus yang menuju kampus mereka. Nama tokonya seperti nama orang, mungkin anak pemilik toko atau nama pemilik toko itu sendiri, berarti bukan toko waralaba dan bukan toko resmi merk hijau maupun biru. Seharusnya Marimar bisa tenang.

"Merk hapenya Onno, Mbak."

"...Maaf?" gumam Marimar yang baru saja tersentak dari lamunan.

"Yang logonya ijo itu, Mbaknya mau beli, kan? Merknya Onno. Tuh ... ada tulisan tipe yang Mbak mau, di sebelahnya."

Mas-Mas Penjaga Toko menunjuk pada sebuah gambar di salah satu brosur. Seketika, ingatan Marimar akan dua badut toko yang berseteru, muncul kembali. Wajahnya yang mendadak pucat, membuat Penjaga Toko buru-buru menyodorkan air mineral dalam kemasan gelas padanya.

"Ada ... Merk lain yang kira-kira setara dengan harga tak jauh beda, tidak?" tanya Marimar setelah menenggak dua gelas air dan merasa lebih tenang.

Gadis itu sebetulnya tidak mau mengabaikan rekomendasi teman-temannya, tetapi sangat tidak lucu bila traumanya bangkit setiap kali harus menggunakan ponsel.

"Oh, ada, Mbak. Sebentar, ya ... saya cek dulu masih ada setok, nggak."

Sayang, ternyata merk yang dimaksud belum tersedia, sehingga Marimar terpaksa harus menunggu hingga hari berikutnya. Untungnya janji dengan Pak Porres masih siang, jadi dia bisa menyempatkan diri untuk kembali ke toko itu paginya.

"Yakin, tokonya yang ini?" Angelica sepupunya berkacak pinggang di depan bangunan ruko mungil yang diapit oleh bangunan ruko lain.

"Ya, Ange. Toko ini yang kemarin kudatangi," jawab Marimar, menghela napas panjang.

Dia tak mengerti mengapa sepupunya ngotot ikut serta.

Sepertinya Angelica mendengar Marimar yang minta izin pada tantenya untuk berangkat lebih awal, malamnya. Bahkan gadis yang biasanya amat-sangat susah bangun pagi itu sudah berdandan rapi, menunggu di dekat pintu ketika Marimar hendak berangkat dari rumah. Sampai rela membawa mobil untuk mereka berdua.

"Pagi, Mbak! Pas buwaaanget ... Ini hapenya udah tak siapin!" sapa Mas-Mas Penjaga Toko, ceria.

"Sergio?!" pekik Angelica. Gadis itu sampai membuka kacamata hitamnya, seolah memastikan apa yang dia lihat tidak salah. "Ngapain kamu, di sini. Bukannya kamu pulang kampung karena DO?"

"Lhooo, Dek Angel?"

"Umm ... Kalian saling kenal?"

Ternyata, Mas-Mas Penjaga Toko itu sekampus dengan Angelica. Mereka satu lingkungan pertemanan karena pacar Angelica sekelas dengannya.

"Saya nggak DO, Ngel ... Cuma cuti sementara. Nggantiin ngurus toko sampai Pakdhe pulang dari opname," dia menjelaskan sembari membuka kotak kemasan ponsel yang hendak dibeli oleh Marimar dengan cekatan.

"Semuanya komplet, ya, Mbak. Kartu garansi, colokan buat buka tempat kartu, sama charger. Mau dipasang sekalian kartunya?"

Marimar mengangguk. Dia tak yakin bisa memasang sendiri, karena belum pernah memiliki ponsel pintar sebelumnya. Sambil menunggu Sergio memindahkan kartu dari ponsel lamanya ke ponsel baru, dia melirik pada Angelica yang duduk santai di salah satu kursi toko sambil memainkan ponselnya sendiri.

"Pembayaran sudah saya terima, ya. Barangnya sudah dibawa semua, Mbak?"

"Sudah semua. Makasih Mas -err ... Sergio?"

"Sembara, Mbak," dia mengoreksi. "Lengkapnya Sembara Bagio, mbuh ... Kok anak-anak guyon, manggil jadi Sergio," tambahnya sambil tertawa renyah memperlihatkan lesung pipi dan sebaris gigi putih.

Tanpa sadar pipi Marimar bersemu merah jambu.

"Mending kamu jangan jadian sama si Sergio," celetuk sepupunya, ketika mereka sudah kembali ke mobil.

Marimar yang sedang mencoba-coba selfie kamera depan ponsel barunya, gelagapan mendengar tuduhan Angelica, tetapi dia berusaha tetap tenang.

"Me-memangnya kenapa ... Jangan bilang kau juga naksir?"

"Jangan bego! Aku masih sayang sama Ayang-Ebeb. Justru kamu ... Memang pengen pingsan lagi?"

Marimar masih mencoba mencerna kalimat Angelica, ketika sepupunya melanjutkan, "Si Sergio itu dulu sering kerja sambilan jadi badut maskot, Mar!"



===ooo000ooo===


Catatan Penulis

Halo, semuanya! >w<)/

Terimakasih sudah mampir untuk membaca cerita ini.

Mumpung ada waktu untuk membuat catatan penulis, saya masukkan sedikit perubahan yang terjadi. Rencana awal, guguk kesayangan Marimar si Fulguso/Ferguso yang iconic berkat meme yang sempat populer beberapa tahun yang lalu, akan saya masukkan. Tetapi tidak ada tempat.

Setelah cerita selesai ditulis, baru terpikir untuk mengubah Ferguso jadi manusia  sahabat Marimar, tetapi ceritanya berpotensi melar karena posisi Monika dan Angelica jadi tipis kalau seperti itu.

Sempat juga menimbang-nimbang untuk mengganti Monika dengan Ferguso saja sekalian, toh dalam telenovela aslinya, Monika itu sahabat Angelica. Lalu saya ... lupa.

Sampai akhir, Ferguso tidak jadi muncul. Maafkan saya, Ferguso.
Jasamu tidak akan terlupakan TvT)/~

Sekali lagi, saya ucapkan terimakasih untuk semua teman-teman dan pembaca yang menyempatkan diri untuk membaca sampai titik ini.  Semoga bisa terhibur.


Surabaya, 22 Februari 2023

Prakash.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro