dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

derana

TAHUN sebelumnya...

"Ra! Udah bikin video puisi buat Bahasa Indonesia?"

Elvan tiba-tiba datang mengejutkan Ara yang sedang mengerjakan tugas prortofolio di ruang kelas X MIPA 3. Wajahnya yang sejak tadi serius sekarang berubah panik. Sebentar lagi Penilaian Akhir Tahun dan seluruh tugas harus dikumpulkan sebelum agenda itu dilaksanakan. Ara mengacak-acak rambutnya frustrasi. Entah mengapa ia cukup menyesal karena ikut OSN sampai provinsi kemarin. Untung saja Elvan juga. Kalau tidak ia pasti sendirian.

"Belum. Puisinya aja belum dibikin. Mau baca apaan?" jawab Ara dengan wajah merah hampir menangis.

"Ya udah lo bikin dulu. Ini tugas portofolio biar gue bantuin."

"Beneran El?"

Elvan tersenyum, mengangguk. Ia suka saat Ara memanggilnya begitu. "Iya, mumpung gue udah selesai."

"Oke!"

Ara mengambil sehelai kertas dan bolpoin lalu menyendiri di pojok ruang kelas. Elvan sendiri duduk di meja guru, menggantikan posisi Ara. Hanya mereka berdua di kelas ini karena kebanyakan anak sudah pulang sejak setengah jam yang lalu.

Ara merenung, menulis, berpikir, merenung lagi, menulis lagi. Elvan yang beberapa kali melihat hanya tersenyum kecil seraya mengerjakan tugas Ara yang belum selesai.

Sudah jam lima dan mereka berdua tak kunjung selesai. Elvan melirik jam dinding di kelas itu, lalu pandangannya tertuju pada Ara yang masih menatap lurus-lurus ke jendela. Mencari inspirasi untuk tugas puisinya.

"Ra? Pulang yuk! Udah sore. Bentar lagi pasti kita diusir."

Perempuan itu menoleh. "Belum selesai. Gimana dong?"

"Diselesein di rumah, atau besok aja. Besok kita bikin video puisinya sama-sama. Gantian. Di depan gedung olahraga aja kayaknya deh!" usul Elvan bersemangat.

Ara berpikir sejenak. Karena tak mau repot, ia tinggal mengangguk.

"Lo dijemput atau naik apa?" tanya Elvan sambil membereskan buku-buku Ara.

"Dijemput Bapak."

"Ya udah. Ke gerbangnya bareng yuk!"

Ara berdiri dari duduknya. Ia lantas memasukkan buku, pensil, bolpoin, dan alat tulis-menulisnya ke dalam tas. Ia juga sebenarnya ingin segera pulang dan beristirahat.

"Makasih El! Gue jadi ngerepotin elo."

Laki-laki itu tersenyum. Mereka berdua mematikan lampu kelas dan menutup pintu. Sudah saatnya kembali ke rumah.

...

Ara membaca puisinya dengan cermat sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya. Kata Elvan, puisinya sudah bagus. Namun, entah mengapa Ara merasa ada saja yang mengganjal.

Elvan sendiri masih mengatur kamera ponselnya. Ia sejak tadi mondar-mandir mencari angle yang bagus untuk membuat video. Ketika selesai, ia berseru kepada Ara agar bersiap-siap karena baterai ponselnya hampir habis.

"Ayo, Ra!"

Dengan perasaan gugup Ara membacakan puisinya. Elvan fokus mengamati. Cara Ara bicara, cara mata cokelat itu menatap kamera, juga cara Ara membaca tulisan di sehelai kertas yang ia pegang lagi-lagi membuat jantung Elvan berdetak tidak normal. Elvan rasa, kali ini memang waktu yang tepat. Ia menyukai Ara dan entah sejak kapan rasa itu ada.

Setelah Ara selesai, Elvan menyerahkan ponselnya kepada perempuan itu untuk bergantian. Kali ini Elvan yang divideo dan Ara yang merekam. Selagi Ara mengatur pencahayaan dan sejenisnya, Elvan menghirup napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Jika diukur, kadar kegugupan Elvan lebih besar daripada Ara tadi.

"Psst!" Ara mendesis, memberi kode bahwa kamera sudah siap.

"Elvan Ganendra Wirasena dalam karyanya, Untuk Dia," mulainya.

Semesta punya cara
tuk membuatku tak berdaya

Seperti...
kita bicara tapi tak bersuara
Melangkah,
tapi tak ada jarak tertera
Hidup,
tetapi seakan tak punya nyawa
Tertawa,
cuma untuk menyembunyikan duka

Sekali lagi,
semesta selalu punya cara
untuk membuatku tak berdaya

Pada angin, kusampaikan rindu
Pada senja, kusampaikan pilu
Pada laut, kuteriakkan namamu
Pada langit, kukatakan rasaku

Sayangnya, angin berlalu tak kembali
Senja pergi,
membiarkan fajar tuk datang ke sini
Debur ombak
membuyarkan ketenangan laut yang sepi
Dan pada langit,
yang kuharap takkan pergi
Dia justru cuma menatapku
seakan aku tak punya arti

Salahkah bila kukatakan?
Salahkah bila kusampaikan?
Salahkah kuutarakan rasa yang tak tertahan?

Biarlah,
biarlah kubiarkan kamu pergi
Maka jika masanya,
kamu pasti akan kembali

Biarlah,
biarlah kubiarkan kamu tak di sini
Maka jika masanya,
kamu pasti akan di sampingku lagi

Ara menghentikan perekamannya ketika Elvan selesai membaca puisinya. Perempuan itu langsung bertepuk tangan. Jujur, saat ia merekam gambar Elvan tadi, ia berusaha untuk tetap fokus karena puisi itu juga Elvan membuatnya merinding. Terlalu sempurna.

"Bagus asli!"

Senyum cerah muncul di bibir Elvan mendengar tanggapan Ara. Ia mengambil ponselnya, lalu meletakkannya di saku. Setelah itu Elvan menyobek kertas puisinya, membuang dua bait terakhir yang ia anggap tidak perlu.

Elvan menyerahkan kertas puisi itu kepada Ara. Puisi yang sudah dipisahkan dari dua bait terakhirnya. "Buat lo. Boleh minta jawabannya?"

Ara yang tadinya tersenyum riang kini diam. Tubuhnya tambah merinding. Lebih merinding daripada tadi.

"Elvan? Maksudnya apa?"

"Gue suka sama lo. Salah nggak?"

Gue suka sama lo. Salah nggak?Sesederhana itu, tapi cukup membuat Ara diam tak berkutik terlalu lama. Sesederhana itu, tapi cukup membuat pikiran Ara rumit seketika.

"Nggak salah, El."

Mata Elvan berbinar. "Jadi, lo mau jadi pacar gue?"

Ara menghela napas. Ia mengalihkan pandangan dari wajah Elvan. Tidak sanggup menatap mata penuh harap itu. "Untuk urusan ini, gue nggak bisa."

"Kenapa, Ra?"

"Because of simple thing. Gue nggak mau pacaran," ungkap Ara jujur. "Bukan apa-apa, El. Ini prinsip hidup gue. Gue belum cukup dewasa buat ngalamin fase ini. Meskipun gue juga suka sama elo, tetep aja. Gue nggak bisa langgar prinsip hidup gue sendiri. Karena sekali aja gue ngelanggar prinsip hidup gue, bakal bermunculan juga pelanggaran yang lain."

Elvan memejamkan matanya, lalu mengembuskan napas. "Jadi?"

"Kita temenan aja. Nggak papa 'kan?"

Elvan diam. Teman? Seperti sekarang ini?

"Sure, Ra. Nggak papa. Kita temenan aja." Elvan mencoba bijak. "Lo bisa pegang ini juga," katanya sambil menyerahkan lanjutan puisi yang masih di tangannya. Yang sengaja ia sobek sebelum ini.

Biarlah,
biarlah kubiarkan kamu pergi
Maka jika masanya,
kamu pasti akan kembali

Biarlah,
biarlah kubiarkan kamu tak di sini
Maka jika masanya,
kamu pasti akan di sampingku lagi.

...

Semenjak hari di mana Ara menolak halus permintaan Elvan, hubungan keduanya bisa dikatakan tak begitu sama seperti sebelumnya. Ara sudah menduga hal ini akan terjadi pada mereka. Hingga pada kenyataannya, dugaannya pun benar. Elvan dan Ara seperti teman sekelas sekadarnya. Tidak terlalu dekat seperti dulu.

Elvan sekarang lebih dekat dengan Della, yang juga teman satu kelas mereka. Si peringkat satu paralel yang menjadi kesayangan guru-guru di sekolah. Beredar gosip juga kalau Della menyukai Elvan.

Hal ini bisa Ara pahami karena seringkali Ara melihat Elvan dan Della berbincang riang membahas episode terbaru cerita yang mereka baca di webtoon. Kadang pula beradu argumen mengenai pelajaran. Sering pula mereka makan bersama di kantin. Ini mengganggunya, tapi Ara tidak tahu harus berbuat apa.

Ara tahu ini resikonya. Jangankan ditolak. Digantung saja, tidak sedikit yang menyerah. Mungkin Elvan juga sama. Selagi ada yang pasti, tidak perlu menunggu sesuatu yang abu-abu. Della adalah kepastian yang Elvan harapkan sementara Ara adalah abu-abu itu. Bukan. Bukan lagi abu-abu. Ara sudah memilih untuk berkata tidak.

Hari itu kenaikan kelas.

Anak-anak X MIPA 3 bersepakat untuk mengadakan acara buka bersama di restoran yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Berhubung uang kas kelas juga lebih, maka mereka memanfaatkannya untuk itu. Semuanya ikut, kecuali wali kelas mereka tentunya. Akan sangat kaku apabila mereka menyertakan guru dalam acara itu.

Banyak hal yang mereka lakukan sebelum tiba waktu berbuka. Gerombolan Kezia lebih banyak membuat vlog. Anak laki-laki lebih banyak yang memilih bermain gitar, diikuti oleh nyanyian anak-anak perempuan yang kebetulan hafal lagu itu. Ketika semua anak sudah datang, tibalah permainan yang paling ditunggu-tunggu.

Truth and Dare.

Klasik, tapi berbahaya. Mainstream, tapi menjatuhkan.

Kezia memutar botol yang terletak di tengah-tengah. Sekali dua kali, permainan itu biasa saja. Ara dapat tersenyum senang karena hari ini keberuntungan berada di pihaknya. Ia tidak kedapatan botol sialan itu yang artinya ia tidak harus berkata jujur dan ditantang oleh temannya.

Hingga akhirnya botol itu mengarah kepada Elvan. Danny yang memutar botol itu tersenyum senang. Ia bersiap menanyakan sesuatu.

"Ara atau Della?" tanyanya setelah menghela napas.

Ara yang merasa terpanggil mendongak. Yang pertama kali ia perhatikan justru bukan Danny ataupun Elvan. Tetapi Della yang sedang tersenyum-senyum digoda oleh teman-temannya.

"Hayoooo jawaab!"

Elvan menatap Ara dan Della bergantian. Lama. Membuat jantung Ara berdegup tak karuan. Ia tidak siap. Ia sudah tahu jawabannya dan ia merasa tidak akan pernah siap untuk mendengarnya.

Baru setelah diprotes teman-temannya, dengan senyum mengembang tanpa rasa bersalah Elvan menjawab, "Della."

Hanya butuh dua detik dan Ara hancur seketika.

Tidak perlu ditambah dare dari Danny yang menyuruh Elvan menyuapi Della sebutir kurma.

Ara sudah hancur.

derana•

ARA tahu siapapun dan apapun itu, pasti akan berubah seiring berjalannya waktu. Ia juga tahu, setelah Elvan mengungkapkan pilihannya jatuh kepada Della satu tahun yang lalu, ia tak lagi memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam lingkaran hidup laki-laki itu. Bersyukurnya Ara tidak lagi satu kelas dengan Elvan. Ia tidak perlu berusaha mati-matian untuk bersikap biasa saja di depan Elvan Ganendra.

Harus Ara akui ia menyesal. Seandainya saja dulu ia menerima Elvan, semuanya tidak akan seperti ini. Sudah tentu hari ini Ara masih bisa tertawa lepas dengan lelaki itu. Tetapi menyesali suatu hal tidak akan mengubah apapun. Sudah terlambat dan Ara hanya harus bisa mengikhlaskan.

Ara bisa saja menarik Elvan dari genggaman Della. Ia bisa saja mengajak Della bersaing dengannya. Sayangnya, Ara tidak ingin mengambil jalan itu. Ia tidak ingin berperan sebagai antagonis di sini dengan memaksakan kehendak supaya Elvan kembali.

"Lupain, Ra! Lupain! Fokus OSP!" Ara menasihati dirinya sendiri.

___

Sepertinya tinggal satu lagi :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro