CURCOL (Pt.1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

CURCOL
By Kim_Hakimi


Bekerja di ibu kota bukanlah suatu hal yang saya impi-impikan sejak lama seperti kebanyakan orang. Aku lebih suka bekerja di kota kecil dengan gaya hidup yang sederhana. Apalagi kata mereka kerja di perusahaan besar dan bergaji tinggi maka harus siap-siap juga dengan tekanan kerja yang tidak terkira.

Di kantorku misalnya. Sebagaimana perusahaan start-up pada umumnya, kami terbiasa berkantor melebihi jam kerja. Terutama di beberapa departemen tertentu seperti riset dan penjualan. Mereka hampir selalu pulang di atas jam delapan malam. Namun, terkadang departemen lain pun juga tidak ketinggalan. Hingga suatu ketika giliran departemenku untuk lembur pun tiba.

Sampai pukul tujuh, tim masih komplit. Aku, ditemani tiga orang staf, masih asyik bergelut dengan tumpukan lamaran hasil job fair selama tiga hari terakhir. Lusa, CEO kami ingin melihat hasilnya dan menjadwalkan wawancara. Padahal masih ada ribuan amplop coklat yang harus diperiksa satu per satu.
Pukul delapan lewat, kami keluar makan malam. Satu jam kemudian kami kembali ke kantor. Melanjutkan pekerjaan yang masih jauh dari kata selesai. Pukul setengah sebelas, aku menyuruh ketiga stafku untuk pulang dan berisitirahat. Awalnya mereka menolak karena tidak enak padaku, namun setelah kudesak, mereka pun menyerah. Aku pun menghabiskan malam dengan sendirian di tengah lautan surat lamaran.

Tepat tengah malam, Satpam kantor kami, Pak S, mula berpatroli. Dia terkejut mendapatiku tengah nyenuk di depan komputer sambil srupat-sruput kopi.

“Lembur, Pak?” tanyanya.
“Sepertinya aku akan tidur di sini. Nggak papa kan, Pak S?”

Pak S tercengang. Dia sepertinya tidak menyangka atasannya sendiri akan meminta izin kepadanya.

“Te ... tentu, Pak,” jawabnya terbata-bata. “Apa perlu saya temani tidur di sini?”

Aku tertawa mendengar  itu. Pak S juga ikutan terpingkal-pingkal karenanya.

“Nggak usah, Pak S. Saya nggak biasa mengajak teman laki-laki untuk tidur bareng.”

Pak S yang merasa itu adalah tanggung jawabnya sebagai bawahan, terus ngotot untuk bertahan. Sedangkan saya yang merasa tidak perlu ditemani, akhirnya terpaksa menggunakan wewenang dan jabatan untuk mengakhiri.

“Pak S, saya minta Bapak berjaga saja di depan. Anda saya beri tugas untuk membangunkan saya pukul lima pagi. Paham, Pak S?”

“Baiklah jika Bapak berkata demikian. Tapi, sebelumnya bolehkah saya mematikan mesin foto copy di sebelah sana?” izin Pak S sambil menunjuk ke satu-satunya mesin foto copy milik kantor.

“Kenapa harus dimatikan, Pak S? Saya mungkin saja membutuhkannya untuk beberapa hal.”

“Nggak papa, Pak, cuma terkadang mesin itu suka usil.”

Pak S undur diri dengan menyisakan pertanyaan besar di dalam kepalaku. Keusilan apa yang biasanya dilakukan mesin foto copy?

Sudah setengah jam berlalu sejak aku memutuskan untuk tidur di atas sofa di ruang tamu, namun kedua mataku masih gagal terpejam. Kulirik jam ternyata sudah pukul tiga. Kutarik jaket untuk menyembunyikan kepalaku. Saat itulah lamat-lamat kudengar suara mesin menderu.
Apa aku lupa mematikan sesuatu?
Kuputuskan untuk mengecek seluruh komputer dan tidak ada yang menyala. Begitu pun dengan mesin dispenser. Merasa itu semua hanya halu semata, aku pun lanjut meringkukkan badan.

Dan suara itu pun terdengar lagi.
Aku mulai merasa ada yang tidak beres di kantor ini karena setiap kali aku berkeliling, aku tidak menemukan apa pun. Hingga aku teringat, ada satu tempat yang belum kuperiksa. Mesin fotokopi.

Mesin itu memang masih menyala, namun anehnya ada beberapa kertas yang masih hangat seakan-akan baru saja keluar dari mesin. Saat kuperiksa, kertas itu ternyata kosong dan masih bersih. Apakah ini yang dimaksud Pak S tentang keusilan mesin foto copy itu?

Berikutnya, alih-alih langsung tidur, aku malah sengaja menunggu suara itu terdengar kembali. Sekitar lima menit berlalu, mesin foto copy kembali menderu. Aku langsung beranjak dan lari sekencang-kencangnya. Yang ternyata semua tindakan itu akan kusesali seumur hidupku. Bagaimana tidak? Lha wong gara-gara itu aku jadi ngeliat ada mbak-mbak lagi pakai mesin foto copy kantorku.

Gadis itu berambut hitam dan mengenakan pakaian kemeja putih lengan panjang serta rok berwarna hitam. Dia bertelanjang kaki dan tidak menapak ke bumi. Saat aku tiba di sana, dia menoleh dan tersenyum seolah-olah aku sedang memberikan kejutan. Padahal sebenarnya jantungku lah yang saat itu sedang berjumpalitan. 

Paginya, aku mengkonfirmasi kepada Pak S. Blio berkata dulu saat bangunan ini digunakan menjadi kantor oleh perusaahan sebelumnya, ada seorang karyawati yang meninggal karena kecelakaan. Belakangan diketahui mendiang karyawati tersebut meninggal saat sedang mengikuti tahapan seleksi penerimaan PNS.

Setelah mengetahui  penunggu mesin foto copy kami, besoknya saya menjual mesin itu dan menggantinya dengan printer canggih yang tidak menimbulkan suara menderu. Saya pikir semua gangguan itu selesai hingga dua tahun setelahnya ada cerita dari anak marketing kalau komputernya selalu dalam keadaan hidup di pagi hari dan selalu dalam keadaan emailnya yang terbuka. Kata Pak S, strategi saya menjual mesin foto copy itu keliru.

“Kenapa bisa keliru,  S?”

“Bapak ini gimana sih? Kan sekarang ndaftar PNS sudah lewat online.”


Cerita itu belum seberapa dengan pengalaman saya berikutnya. Sebagai seorang head hunter, bukan pemburu kepala ya plis saya bosan sekali dengan pertanyaan itu, sudah menjadi hal yang lumrah melakukan wawancara di jam-jam yang tidak biasa. Apalagi buruan yang saya dekati sebagian besar menduduki jabatan penting di perusahaannya saat ini.

Memang di masa pandemi kayak gini, di saat perusahaan kecil dan menengah memangkas jumlah karyawannya, perusahaan-perusahaan besar justru sedang asyik talent shopping. Saya jadi kecripatan rezeki lah ceritanya.
Siska, e-nya nggak tiga, adalah salah satu talent yang menjadi buruan saya sejak lama. Dia bekerja di start up terkenal sebagai Assistant Brand Manager. Kebetulan kemampuan dan pengalamannya sangat dibutuhkan oleh salah satu klien saya yang berani membayar besar.

Setelah berhasil mendapatkan kontaknya dan chit-chat seperlunya, saya pun segera menyusun janji temu untuk teleinterview. Namun, karena suatu alasan yang mendesak, dia mengajukan reschedule pukul 10 malam. Saya setujui saja karena memang siang itu jadwal saya juga sebenarnya cukup padat.

Pukul sepuluh tepat, kami terhubung. Layar laptop saya pun dihiasi oleh seorang gadis yang sedang duduk di ruang keluarga. Siska benar-benar cantik seperti foto profilnya. Mirip Meskipun malam itu—saya menebak—dia tidak sedang memakai make up, namun saya tetap berhasil menemukan jejak-jejak kecantikan di garis wajahnya.

"Selamat malam, Mbk Siska."

"Malem."

"Sudah siap untuk discuss?" tanyaku membuka obrolan.

"Key, kapan aja aku siap. Eh, ngga papa nih aku cuma pakai kaos? Nggak harus formal kan?" balasnya. Mau mengangguk pun kepala rasanya berat menahan pesonanya.

Malam itu Siska hanya mengenakan kaos santai dengan rambut yang dibiarkan tergerai. Diam-diam saya mencoba menebak apa merk shamponya. Ah, konyol sekali.
Diskusi kami dimulai dengan perkenalan profil perusahaan klienku yang ingin merekrutnya. Dari jawaban-jawabannya, Siska sepertinya tertarik. Tawaran pun saya lancarkan.

Di saat Siska sedang serius mendengarkan detail job offering, perhatian saya teralihkan dengan kehadiran seorang gadis lain di belakangnya yang tiba-tiba jongkok dan memelototi saya. Rambutnya panjang menjuntai ke depan dan menutupi seluruh bagian kiri wajahnya.

Adik atau kakaknya yang sedang usil, kurasa. Saya pun kembali fokus pada Siska. Dia bertanya beberapa hal terkait job desc dan target kerja. Seperti tidak mau kalah, gadis di belakang Siska berulah. Dia mengubah posisi jongkoknya menjadi kayang.

Eh, buset dah!

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro