6 | First Unofficial Date

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Insiden Kantou

Konflik melibatkan 500 anggota antara geng preman besar Kanagawa, Yokohama Tenjiku dan geng Bosozoku terbesar dari Tokyo, Tokyo Manji. 5 orang terlibat ditahan dan 3 orang dilaporkan meninggal dunia.

5 orang tertangkap adalah eksekutif Tenjiku dan 3 orang yang meninggal adalah: Emma Sano, Kurokawa Izana, dan Kisaki Tetta.

Hampir seminggu berlalu semenjak pemakaman Emma Sano. Mitsuya belum melihat Keira lagi, selain saat acara berkabung di kediaman Sano tersebut. Ia mencoba mengajak gadis itu bicara seusai acara, tetapi Keira terlihat tidak fokus mendengarkan dan lebih banyak diam, sehingga laki-laki itu memutuskan untuk memberikan ruang. Namun, sedikit-sedikit Mitsuya tetap menyempatkan diri untuk mengirim pesan, bertanya apakah; gadis itu sudah mengganti perban dan mengobati luka di wajahnya atau belum, memastikan ia memeriksa sekujur tubuh kalau-kalau ada bekas memar yang terlewat, apakah ada makanan yang Keira inginkan, dan pada beberapa kesempatan saat ia menyelesaikan jahitan sampai tengah malam atau hanya tidak bisa tertidur pukul 02.00 pagi, Mitsuya akan iseng mengirimkan pesan singkat; apa kau lapar? Untuk memastikan gadis itu sudah tidur atau belum-dan kalau benar-benar lapar-ia bisa mengendap keluar dari rumah sekalian cari udara segar.

Namun, untungnya Keira hanya akan membalas pesan di pagi hari-biasanya pukul 04.00.

K: Mitsuya-san, apa kau selalu tidur terlambat?

M: Tidak juga. Aku sedang mengerjakan projek
: Kau tahu, kan, bagian dari Nyuugakushiki

K: Rajin sekali, ya.
: Tidak heran kau jadi ketua.

M: Terima kasih. :)
: Bagaimana lukamu?

K: Sudah jauh lebih baik. Tidak lagi sakit, tapi Bibi bersikeras agar aku tetap menggunakan perban dan kasanya.

M: Syukurlah.
: Luna dan Mana tidak ada di rumah akhir pekan nanti.
: Daycare-nya mengajak anak-anak di sana untuk menginap.

K: Oh, bagus untukmu.
:Istirahat lebih banyak.
:Lebih banyak waktu luang untuk menjahit.
: Aku juga sedang cuti. Bosku bilang, aku harus menyembuhkan luka-lukaku dulu. Kalau sudah mendingan, luka-luka kecil di wajah bisa ditutupi dengan make up dan aku bisa kembali kerja. :)

M: Great.

Sebuah ide muncul dalam benak Mitsuya dan tahu-tahu, ia sudah mengetikkan rencananya itu di papan pesan.

M: Berarti kau juga senggang Sabtu ini, ya?
: Mau jalan-jalan?

Selama beberapa saat, Mitsuya merasa malu dan canggung membaca pesannya sendiri. Ia kemudian buru-buru menambahkan, sebelum Keira sempat membalas. Mitsuya mengetik: Ada alat yang mau kubeli dan suku cadang untuk Impulse. Namun, ia merasa pesan itu mengisyaratkan Keira yang menemaninya. Padahal, jalan-jalan ini dimaksud untuk memperbaiki suasana hati gadis itu. Jadi ia menghapus kalimat tersebut.

K: Oke.
: Kita mau ngapain?

Mitsuya diam sebentar, jemarinya berhenti di atas keyboard.

M: Kita bisa lakuin, apa yang kamu suka.

Hari Sabtu ini, Mitsuya bangun pagi-pagi sekali, lebih awal dari biasanya. Ia membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk ibunya, kemudian meninggalkan pesan di atas meja makan kalau akan pergi bersama teman.

Laki-laki itu menggunakan pakaian training, karena Keira bilang dia suka olahraga di pagi hari dan ingin main basket. Saat Mitsuya bernapas, asap membumbung keluar dari mulutnya. Pagi itu cukup dingin, ia mulai melakukan joging, tubuhnya mulai panas ketika tiba di apartemen Keira. Gadis itu menunggu di depan kompleks sambil melakukan peregangan. Saat melihat Mitsuya datang, ia berlari-lari kecil menghampiri.

"Selamat pagi, Mitsuya-san. Sudah sarapan?" Keira tersenyum lebar, wajahnya masih ditempeli beberapa plester; di atas mata kanan, pipi kiri, dan kedua sudut bibir.

Mitsuya hanya mengangguk. Ia memang sarapan lebih dulu dari ibunya tadi. "Kita akan ke mana?"

"Ikut saja." Keira mempercepat langkah, membuat Mitsuya mengejarnya. Mereka saling susul di jalanan yang lengang, sesekali mengejek siapa yang lebih lambat dari siapa.

Untuk kali pertama, Mitsuya mengetahui ketertarikan gadis itu dan kelihaiannya dalam melakukan parkour. Dia bahkan sempat berpikir, Keira benar-benar tidak bisa diam saat melihat susuran tangga, bak sampah, tembok pembatas jalan, atau apa pun yang sekiranya menghalangi jalanan akan dilewatinya dengan melakukan blackflips atau trik lain yang Mitsuya tidak hapal namanya. Kadang-kadang Keira melompat, meraih dahan pohon dan memutar tubuhnya di sana. Ia benar-benar menikmati parkur, sementara Mitsuya yang melihat merasa sedikit ngeri bercampur khawatir.

Gadis itu mengajari Kapten Divisi Dua beberapa trik paling sederhana yang langsung bisa diterapkan. Setelah puas melompat-lompat, berguling, dan salto-salto. Keduanya berjalan beriringan dan berhenti di taman bermain anak-anak, setelah istirahat sejenak, ujung-ujungnya mereka adu stamina dengan melakukan pull-up di bar monyet dan menahan beban tubuh di beberapa permainan lain.

Keira merebahkan tubuhnya di atas rerumputan pendek. "Capek!" Matanya terpejam, dadanya naik turun tidak beraturan, dan tubuhnya banjir keringat.

Mitsuya duduk meluruskan kaki di sebelahnya. Kepala menengadah sambil menghirup oksigen banyak-banyak. "Kau ... suka ... melakukan ... hal-hal seperti ini?" Ia mengusap peluh yang menuruni leher.

"Dulu, aku biasa beradu dengan Keisuke." Gadis dengan gaya rambut kuncir satu itu ikut duduk, kakinya diluruskan. Beberapa helai kecokelatan menempel pada kulit leher dan bahunya yang polos. "Setelah sekian lama, akhirnya ada yang menemaniku olahraga lagi." Dia tersenyum lebar sambil menatap Mitsuya.

Laki-laki di sebelahnya balas tersenyum. Merasa benar-benar kecapekan, tetapi juga senang. Worth it.

"Tunggulah di sini. Aku akan beli minum!"

Sebelum Mitsuya sempat mencegah atau menawarkan diri pergi bersama, Keira sudah berlari menuju minimarket terdekat dan karena laki-laki berambut keperakan itu merasa kakinya agak lemas, ia memutuskan untuk merebahkan diri sambil menunggu kawannya kembali.

"Habis ini kita main basket, ya." Keira mengangkat botol minumannya dari mulut. Ia melirik laki-laki di sebelahnya dengan sorot menantang, seolah berkat; masih sanggup?

Kalau Mitsuya bisa jujur, ia ingin menjawab tidak. Semua ini, lebih dari batas yang biasa dia lakukan. Tentu, dia pernah menghajar puluhan orang dalam sehari. Pernah bertarung satu lawan satu melawan monster dan pengalaman-pengalaman lain yang membuatnya harus push the limit. Namun, biasanya ia dikendalikan adrenalin sehingga tidak merasa apa pun sampai ketegangannya menurun. Melakukan semua ini dalam kondisi sepenuhnya sadar, benar-benar berbeda. Sudah lama, sejak kali terkahir dia olah fisik.

"Aku capek," aku Mitsuya, ia tersenyum masam. "Maaf, Keira. Bisa tidak, kita istirahat lebih lama?" Keningnya berkerut, Mitsuya masih memaksakan senyum kecil.

Keira malah tertawa geli. "Terima kasih, Mitsuya-san. Aku menghargai kejujuranmu." Gadis itu mengelus punggung Mitsuya dan memberi beberapa tepukan.

"Sebenarnya, aku sedikit ngantuk." Mitsuya menambahkan, membuat gadis di sebelahnya tertawa.

"Kau punya banyak bakat, ya, Keira. Curang sekali."

"Aku lebih suka menyebut ini karena kerja keras." Keira sedang mencium lutut. "Sama seperti Mitsuya-san yang menyukai dunia jahit, aku juga menyukai ini dan menekuninya. Lama-lama, bisa macam-macam."

"Ayahku juga suka olahraga. Lalu, karena jadi seorang model, aku dituntut menjaga berat badan. Daripada mengandalkan diet, aku lebih suka melakukan ini. Maaf, sudah menyeretmu, hehe."

Mitsuya berdiri, senyum kecil masih setia di wajahnya. Ia melakukan beberapa peregangan, menarik napas, lantas berlari kencang.

"LOMBA SAMPAI LAPANGAN BASKET!"

"CURANG SEKALI, MITSUYA-SAN!"

Keduanya bermain basket bersama selama lebih dari sejam, di lapangan basket umum. Mereka menggunakan bola dari kenalan Keira yang kebetulan selalu nongkrong di sana. Setelah lebih dari sejam, keduanya kembali istirahat sambil makan roti isi dan minum minuman isotonik.

Sementara Mitsuya masih mengistirahatkan betisnya yang mulai sakit, Keira melakukan beberapa shooting dan dunk. Satu gerakan gadis itu yang membuat Mitsuya terkesima adalah three points shoot yang dilakukan dari ring ke ring.

"Kalau kau bisa melakukan tembakan dari ujung sana, ke ujung lainnya dan masuk. Berarti tidak perlu lari, ya?" Mitsuya berseru dari pinggir lapangan, rekan mainnya hanya tertawa dan mulai men-dribling bola maju, seolah-olah ia memiliki lawan.

Sekali-kali Keira melempar bola dengan keadaan memunggungi ring basket dan tetap masuk. Membuat Mitsuya makin keheranan. Mungkin bola bundar berwarna jingga gelap itu sudah mendarah daging sekali dalam diri gadis itu, sampai-sampai ia tidak perlu melihat targetnya untuk mengetahui seberapa besar kekuatan yang diperlukan untuk satu lemparan.

Suara decit sepatu, berpadu dengan bunyi pantulan bola mengisi lapangan umum tersebut. Tiba-tiba saja, seseorang berseru dari dinding lapangan yang dipasangi kawat besi.

"Keira-chan!"

Mitsuya menoleh dan ia yakin, Keira juga melakukannya sesaat sebelum melempar bola. Itu adalah kali pertama, lemparan Keira tidak tepat sasaran dan memantul ke tempat Mitsuya duduk.

"Kazu-kun?" Keira tampak terkejut, ia menatap laki-laki berambut hitam dengan bando yang menahan poninya itu dari atas ke bawah. Wajahnya berubah tegang. "Se-sedang apa?"

Kazu menjauhkan wajahnya dari dinding kawat. "Kudengar kau pindah sekolah, jadi aku datang ke sini untuk jalan-jalan sekalian mampir ke beberapa lapangan, siapa tahu ketemu denganmu. Kebetulan sekali, ya." Ia tersenyum.

Agaknya remaja laki-laki itu seumuran dengan mereka. Ia mengenakan jaket warna lime dan membawa tas basket warna merah dengan tali hitam, persis punya Keira yang dilihat Mitsuya saat pertemuan pertama mereka. Kazu melihat ke arahnya dan melambaikan tangan, Mitsuya hanya mengangguk sopan. Laki-laki ini kelihatan baik, tetapi entah kenapa Keira jelas gugup dan canggung di dekatnya.

Mitsuya menekuk lutut, memutuskan mendekati mereka berdua. Kazu sudah berjalan memasuki lapangan basket, Keira makin terlihat tegang dan terang-terangan mundur ke belakang Mitsuya saat laki-laki itu beridri di dekatnya.

"Kalian saling mengenal?" Mitsuya bertanya, basa-basi. Ia sudah tahu jawabannya, hanya ingin mengulur waktu sepersekian detik untuk menilai bahasa tubuh dan ekspresi Keira.

"Kami satu sekolah dulu. Waktu di Shinjuku." Kazu menatap Mitsuya sekilas, matanya berwarna biru muda. Ia kemudian beralih ke Keira yang masih memalingkan wajah. "Keira-chan, mau main basket sebentar?" Suaranya lembut dan bernada tulus, Mitsuya tidak yakin apa yang sudah dilakukan remaja ini sampai gadis di dekatnya menjauh. Kazu tidak terlihat seperti laki-laki jahat, jika Mitsuya bisa berpendapat.

Namun, yah, tidak bisa hanya menilai seseorang dari penampilan.

"Aku sudah main, baru saja mau pulang," balas Keira cepat. Ia menatap Kazu sebentar, kemudian balik menunduk.

Kazu bergumam. Wajahnya kelihatan kecewa. "Satu set saja, boleh?" Nadanya memelas. "Kau biasanya tidak menolak. Setelah ini, belum tentu kita akan ketemu lagi." Remaja itu tersenyum ramah, berusaha mendapatkan perhatian gadis di balik tubuh Pendiri Touman itu. Ia melirik Mitsuya dan menambahkan, "Temanmu bisa ikut main juga."

Entah perasaannya saja atau bukan, tetapi Mitsuya merasa kalau Kazu sengaja menekan kata 'teman' tadi. Merasa bahwa Keira makin tak nyaman, Mitsuya sudah siap angkat bicara sekaligus pasang badan. Namun, alih-alih, Keira justru meraih lengan bajunya seolah menahan.

Gadis itu mengangguk. "Sekali saja. Mitsuya-san juga ikut main."

"Bagus!" Kazu menatap ke luar lapangan, ia melambai-lambai pada enam orang yang bergerombol di seberang jalan. Kemudian bersiul menggunakan dua jari, memanggil mereka. "Three on three. Kita satu tim, ya, Keira-chan."

Gadis itu tidak menjawab.

Tiga orang laki-laki setinggi Draken, melawan Tim Mitsuya. Satu orang menjadi wasit, sementara sisanya jadi pemandu sorak di pinggir lapangan. Kedua tim membungkuk, sambil berucap; "Mari bermain dengan sportif!"

Permainan ini berjalan lebih mulus dari dugaan Mitsuya, ia kira dirinya akan diabaikan di lapangan karena tergolong amatiran. Namun, baik Keira maupun Kazu memberinya kesempatan untuk memegang bola dan sesekali mencetak angka. Secara keseluruhan, Kazu dan Keira sama-sama lincah membawa bola jika dibandingkan dengannya. Waktu kian menipis, mereka tertingal lima skor.

Kazu menerima pass dari Mitsuya dan menggiring bola maju, sementara Keira dijaga oleh dua orang. Sedikit aneh, menurut pandangan Mitsuya. Namun, sekejap kemudian ia tahu alasannya.

Keira melompat, tangannya berada dalam posisi shooting meskipun bola ada di tangan Kazu. Saat itulah, dalam timing yang tepat-dan jelas sekali karena sudah pernah bermain bersama berkali-kali-Kazu mengoper bola di tangannya yang tepat sampai ke tangan Keira. Tak sampai sedetik, bola di tangan Keira sudah melayang memasuki ring sebelum dua penjaganya sempat melakukan blok. Tiga poin didapatkan, peluit berbunyi. Shooting terakhir tadi memancing teriakan heboh seluruh orang, bahkan pejalan kaki yang sengaja menonton.

Tanpa perlu mendalami basket, Mitsuya jelas menyadari bahwa teknik terakhir tadi sangat luar biasa. Diperlukan akurasi tinggi ditambah kepercayaan antar rekan setim, bahwa bola pasti akan datang.

"Mainmu lumayan." Kazu menghampiri Mitsuya, mereka bersalaman. Laki-laki itu kemudian mendekati Keira yang sedang minum dan hendak merangkulnya, Keira menepis tangan Kazu pelan.

Ia tertawa masam. "Haha, maaf. Kebiasaan. Kau masih hebat saja, Keira-chan. Apa kau main basket juga di sini?"

Keira mengangguk. "Tentu."

"Apa ada yang bisa memberikan pass sebagus diriku?" Laki-laki itu berkacak pinggang, tatapannya menyiratkan sedikit kesedihan.

Keira tidak menjawab. Ia menutup botol, sementara Kazu tertawa pahit sambil menepuk-nepuk kepala gadis itu beberapa kali.

"Jangan membenciku, ya, Keira-chan. Kuharap kita bertemu lagi."

Keira berbalik. "Mitsuya-san, ayo pergi."

Saat itulah Mitsuya menyadari, wajah gadis itu bersemu hebat. Merona merah jambu sampai telinga dan ada perasaan tidak nyaman yang menyesaki dada laki-laki itu.

"Cowok tadi ... mantanmu?"

Keira membuang napas panjang, ia terpejam. "Kelihatan sekali, ya?"

"Awalnya, kukira kau membenci dia."

"Sama sekali tidak."

Keduanya sama-sama diam. Pengakuan itu menjelaskan banyak hal, termasuk tingkah aneh Keira. Siapa yang tidak canggung, kalau tiba-tiba bertemu mantan saat sedang jalan dengan laki-laki lain? Dan, kalau melihat dari reaksi Keira, agaknya gadis itu belum benar-benar melupakan Kazu. Terlepas dari apa alasan mereka berpisah, keduanya tampak memiliki hubungan baik sebelum ini.

Mitsuya berdeham. Teringat ucapan Kazu yang ditujukan padanya sewaktu dia dan Keira meninggalkan lapangan umum.

"Jaga dia untukku, Mitsuya-san. Namamu Mitsuya, kan? Hehe."

"Mitsuya-san, gawat. Aku gagal move on." Keira menutupi wajah dengan tangan. "Kukira sudah lupa, cuma melihat wajahnya lagi ternyata masih deg-degan."

Mitsuya tidak menjawab, ia membuang napas panjang.

"Kazu-kun yang mengajariku parkour," gumam gadis itu, ia mengumpat-umpat pelan. "Maaf, Mitsuya-san. Aku membuat perasaanmu tidak enak, ya?"

"Hm?" Alis Mitsuya terangkat, ia menoleh cepat. "Apa? Tidak. Sama sekali tidak."

"Wajahmu seram, seperti sedang melihat musuh, haha. Maaf, aku tidak bermaksud membicarakan dia. Mari lupakan. Toh, bukan itu tujuan kita jalan-jalan, kan?"

Mitsuya bahkan tidak sadar bahwa ia sudah memasang tampang seram. Laki-laki itu mengangguk. "Apa kau tahu, alasanku mengajakmu jalan-jalan?"

Keira bergumam panjang. "Untuk menghiburku, kan?" Ia tertawa singkat. "Ketebak sekali. Kau orang baik, Mitsuya-san. Sewaktu Keisuke meninggal, kau menghiburku lebih sering daripada siapa pun."

Perasaan Mitsuya melunak melihat senyum Keira, ia mengembangkan napas puas. "Tentu saja, aku memang yang terbaik."

"Wah, apa-apaan itu?" Keira tertawa. "Tiba-tiba jadi terdengar sombong. Kau diam-diam sedang membandingkan diri dengan Kazu-kun, ya?" Gadis itu bertanya, iseng saja. Nadanya pun bercanda dan ia tertawa sendiri ketika mengatakannya.

Namun, Mitsuya menganggap itu serius.

Iya, nih.

"Bisa tidak, panggil aku dengan nama depan juga?"

"Dunia itu sempit sekali, ya. Bisa-bisanya aku bertemu kalian."

"Kau kenapa, Mitsuya? Tidak suka kami mengganggu kencanmu?" Draken menaik-turunkan alis. "Sejak kapan kau jadi sedekat ini dengan Keira? Walau aku tidak kaget, sih, entah kenapa."

"Pacaran saja dengannya, Mitsuya. Keira suka mentraktirku parfait cokelat." Mikey memasukkan sesuap parfait ke dalam mulut dan bergumam senang.

Mitsuya membuang napas, keningnya berdenyut. Tadi mantan, sekarang ini.

Mereka bertiga duduk di teras kafe, menunggu Keira yang sedang ke kamar mandi. Gadis itu kembali dan duduk di sofa sebelah Mitsuya.

"Wah, mau parfait lagi?" Gadis itu bertanya saat melihat gelas panjang Mikey sudah sisa dasarnya.

"Tolong!" Mikey mendorong gelasnya.

"Jangan lakukan itu, Keira!" Draken dan Mitsuya kompak menghentikan.

Keempatnya makin parfait sama-sama sambil mengobrol. Keira tiba-tiba menunjuk kening Draken saat gelasnya sudah habis.

"Aku suka tatomu, Draken."

"Mau ditato juga?"

"Tidak. Ayahku akan membunuhku jika kulakukan."

Draken menyentuh pelipis kirinya. "Naga ini buatan Mitsuya."

Gadis itu langsung menoleh ke laki-laki di sebelahnya yang sedang mengunyah wafer. "Kau juga bisa membuat tato? Kau bisa melakukan apa saja, ya?"

Mitsuya tertawa singkat, ia menepuk tangan untuk menyingkirkan remah wafer. "Aku menggambar mural naga, bertahun-tahun yang lalu. Draken mengambil naganya sebagai pertukaran."

"Mitsuya juga punya tato yang sama." Draken menunjuk sisi kanan kepalanya. "Cuma ketutupan rambut."

"Keren." Keira berdecak kagum dan menyentuh potongan pendek rambut Mitsuya. Gadis itu lalu memegang kupingnya. "Aku mau pasang anting-anting saja. Jadi bisa masuk pilihan sebagai model untuk memamerkan aksesoris anting, hehe."

"Mau anting yang bagaimana?" Mitsuya bertanya, ia memasang tampang penuh minat.

"Yang sederhana saja, seperti punya Chifuyu. Telingaku asal berlubang, sudah cukup."

Mikey meletakkan gelas parfaitnya yang kedua. "Keira, aku mau kau menghadiri pertemuan Touman besok."

Tiga orang di sana menoleh kompak. Namun, hanya gadis itu yang bertanya, "Kenapa?"

"Datang saja." Mikey tersenyum. "Datang sebagai tamuku. Besok akan jadi pertemuan pertama Touman, sejak insiden Kantou. Ada hal-hal yang ingin kusampaikan."

Ketiganya mengangguk.

Setelah dari kafe, mereka mengunjungi arcade dan main sampai penghujung petang. Draken mengantar Mikey pulang, sementara Mitsuya mengantar Keira. Laki-laki itu menemani Keira hingga lantai lima dan berhenti di depan pintu bertuliskan; BAJI.

"Terima kasih untuk hari ini."

"Kapan pun. Besok mau dijemput?"

"Aku akan datang sendiri." Keira mengangguk. "Terima kasih."

Keduanya diam cukup lama. Mitsuya kembali berucap, "Aku akan membuatmu melupakannya." Seringai muncul di wajah tampannya, terlihat meyakinkan.

Alis kanan Keira terangkat, senyumnya tidak bisa ditahan. "Begitu, ya? Aku akan sangat menantikannya ...."

"... Takashi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro