File 2.1.14 - I'll Connect Everything

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Derta?" Oh! Suara Watson langsung pulih. Harus dicatat nih. Kerefleksan bisa membantu hilangnya pita suaranya.

"Kamu kenal dia, Dan?"

Kurang tepat dibilang kenal. Pertama dan terakhir kali Watson bertemu dia saat di Desa Stupido, saat mengerjakan kasus Hermesate. Watson yang terkejut mendengar kabar Dextra menghilang, Derta bersama kawanannya jatuh ke depan sepedanya laksana bidadari.

Lalu salah satu anggota rombongannya menyebut namanya: Derta. Begitu saja. Watson belum resmi kenalan dengannya. Mereka terlihat terburu-buru ingin ke Tokyo. Mungkin ada semacam event.

Bagaimanapun mereka komedian. Tapi, muka dinginnya tidak cocok sama sekali!

"Yeah, dia pesulap. Aku tak sengaja bertemu dia dan teman-temannya saat dia praktek sulap," jawab Watson berdeham membersihkan tenggorokan yang gatal. Jangan hilang lagi suara!

"Itu tak seperti yang kamu pikirkan—"

"Kamu pesulap?!" seru Aiden dan Erika serentak, menatap Derta berbinar. "Wah! Dilihat dari dekat, kamu ganteng juga. Kamu pesulap tipe apa? Kartu? Hipno?"

"Sepertinya dia ahli sulap menghilang.*

Mereka tidak pernah bertemu pesulap asli sebelumnya. Kecuali Aiden karena dia diperkenalkan ke Lupin Matrixcube, teman masa kecil Watson yang juga seorang pesulap useless. Itu pun Lupin belum sempat memamerkan keahliannya.

Watson melambaikan tangan. Biarkan saja Aiden dan Erika menyudutkan Derta, menyuruh cowok itu melakukan sulap. Derta menolak. Bilang bahwa telah terjadi kesalahpahaman di sini.

"Kamu baik-baik saja, Chouhane?" Iya. Ada yang lebih penting dari sulap. Dextra nyaris jatuh ke sungai barusan.

"A-aku tidak apa, Kak Watson. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

Watson menoleh datar ke pria kasar. Lengan pria itu memerah dicengkeram kuat. Huh? Kedua alis Watson bertemu. Yang ditendang Derta kan kakinya. Kok yang terluka malah lengannya? Heran.

Petugas patroli datang beberapa menit kemudian, menyeret pria itu ke mobil.

"Kak Watson selalu peduli padaku." Dextra angkat bicara. Dia tersenyum simpul. "Kak Watson juga sering menyelamatkanku dari marabahaya. Aku tak tahu bagaimana cara membalasnya. Jika ada yang bisa kulakukan untuk Kak Watson, jangan ragu menghubungiku! Aku akan bantu Kak Watson sebisaku."

Maksudnya, dia mendeklarasikan dirinya menjadi alat Watson? Tidak, canda. Watson bukan pria manipulatif yang memanfaatkan manusia. Kecuali Angra.

"Sebenarnya aku dalam kesulitan."

Dextra mengerjap. "Kesulitan? Untuk seorang genius seperti Kak Watson?"

"Aku juga punya batasan, dan hacking bukan sesuatu yang kukuasai." Watson merogoh saku, mengeluarkan ponsel. Dia memutar video rekaman debat Sasinmu dan Raia. "Apa kamu bisa tahu apa yang mereka bicarakan? Mungkin aku dapat petunjuk dari percakapan mereka."

"Aduh, Kak Watson, ini akan sulit."

Watson mendesah kecewa. Kalau Dextra yang merupakan hacker sekelas Violet, kepada siapa lagi dia minta bantuan?

"Jika tidak ada komponen mini audio di dalam CCTV-nya, kita tidak dapat mendengar suara sekecil apa pun. Masalahnya tergantung pada jenis kamera. Kak Watson tahu mereknya?"

"Karena itu kamera untuk ruang Dewan Siswa, seharusnya Alik3?" terkanya.

Mereka diam sejenak.

"Itu kan ada teknologi suaranya, Kak!"

Grim menatap Watson yang menggaruk kepala diomeli Dextra, tersenyum miris. Sampai kapan pun dia takkan bisa mengalahkan Watson. Perbedaannya...

Terlalu jauh dan tinggi. Grim sadar diri.

*

"Ada yang aneh dari kasus Ayah Raina," lapor Hellen selepas datangnya Watson dan Aiden ke sekolah. Dia bersama Jeremy santai bermain dengan origami, menghiasi kelas. "Aku pun memeriksa artikelnya lebih lanjut. Ada reporter mencantumkan 'Sang Anak bersikeras mengatakan ayahnya telah dibunuh'."

Rainaly tahu ayahnya tidak bunuh diri? Watson sendiri diberi tugas oleh wakel a.k.a Anjalni yang kesumat dengannya.

"Dari mana datangnya kepercayaan itu?" tanya Grim. Cowok itu membantu Aiden yang mencak-mencak memindahkan semua meja serta kursi ke belakang.

Hellen mengangkat bahu. "Entah."

"Kakak, aku kembali."

Mereka menoleh malas ke Michelle yang menatap Watson, mengkode Watson agar menemuinya di luar kelas. Apa lagi mau si kembar palsu itu, demikian arti ekspresi mereka yang kebetulan sama.

"Huh? Dari mana kamu? Apa urusannya denganku?" sahut Watson mengernyit.

Tanda jengkel muncul di wajah Michelle yang tetap datar. Bukannya Sherlock Pemurung itu yang meminta Michelle untuk memeriksa Studio Phagata sekali lagi? Sekarang dia pura-pura amnesia.

"Ah, benar juga. Yang tadi, ya."

Benar juga kepala bapakmu! Michelle yakin barusan Watson pasti sengaja.

Mereka pun keluar, berdiri di lobi yang ricuh oleh suara siswa-siswi. Madoka disibukkan persiapan Festival Budaya.

"Baru-baru ini studio itu menerima cek tagihan air. Dimulai dari dua hari lalu."

Watson terdiam. Tagihan air di tempat terbengkalai, jelas ada seseorang yang diam-diam tinggal di sana. Tapi siapa dan kenapa harus di TKP (pembunuhan)?

"Lalu, aku menemukan ini."

Watson menerimanya. Sebuah gelang mote warna hitam dengan satu mutiara.

"Aku sebenarnya mau mengantar itu ke Departemen Forensik guna mencari tahu sidik jari pemiliknya, tapi kipikir sebaiknya aku memberitahu kakak dulu."

"Ada cara instan untuk mengetahuinya."

"Aku mencium sesuatu berbau nekat. Apa yang sedang kakak rencanakan?"

"Ayo ikut aku. Kita menemui Sasinmu."

*

Sasinmu tidak ada di kelasnya. Berarti dia berada di ruang Dewan Siswa. Hari pemilihan Ketua Konsil hampir dekat. Dia pasti sibuk karena kandidat Raia menghilang dan dapat dipastikan dia lah yang menang. Raia akan didiskualifikasi.

"Apalagi yang kamu inginkan?" ucap Sasinmu bersedekap, tidak senang akan kedatangan Watson dan Michelle. "Jika tentang Raia lagi, maaf, jawabanku—"

Tanpa izin, Watson memotret Sasinmu. Flash putih menyilaukan mata sesaat.

"Apa yang kamu lakukan?!"

Cekrek! Kini Watson mengaktifkan bunyi kamera ponselnya. Seketika Sasinmu yang marah-marah difoto tanpa permisi, ambruk ke lantai. Keringatnya mengalir. Bahunya naik turun. Sesak napas.

"Panic attack?" gumam Michelle.

Sesuai dugaan Watson, yang ditakutkan Sasinmu bukanlah kamera melainkan bunyi jetrek dari hasil jepretan. Dia menatap jam tangan. "Dalam 3, 2, 1..."

Tepat Watson berhenti menghitung, Sasinmu menyeka keringat yang membasahi lehernya, menoleh ke kiri dan kanan. "Apa yang kulakukan di sini?" gumamnya terbengong-bengong. Dia pun berdiri, menatap Watson masam. "Apa lagi yang kamu inginkan? Jika ini masih menyangkut soal Raia, jawabanku tetap sama. Aku tidak tahu di mana dia."

Michelle tercenung. "Dia tidak ingat apa yang barusan terjadi. Kalau begitu..."

Watson mengangguk. "Ini adalah titik pemicu ingatannya terulang kembali." Beralih menyodorkan gelang mote tadi. "Kamu tahu gelang ini milik siapa?"

Sasinmu melotot. "Itu kan punya Raia!" serunya menyambar gelang tersebut. "Di mana kamu mendapatkannya??"

Katalk! Satu pesan dari Dextra.

Dia berhasil memulihkan audio rekaman.

Bukannya menjawab, Watson menatap ke belakang Sasinmu. Sosok Raina yang baru datang bergabung ke lorong itu.

"Kamu akan segera tahu," kata Watson memasukkan kedua tangan ke saku jas almamater sekolah. "Kebenarannya."

Rainaly diam, tapi tangannya terkepal.

*

Pukul satu siang, istirahat dari kerja bakti. Watson menggebrak pintu klub membuat penghuni ruangan terlonjak. Watson akan menghubungkan semua benang-benang yang mereka temukan.

"Kenapa sih, Wat? Santai elah." Jeremy lagi menyendok nasi. Karena terkejut lebay, nasinya melompat dari piring.

"Aku tahu keberadaan Raia dan penyelesaian dari kasus hilangnya kandidat Ketua Dewan Siswa P-2023."

"SERIUS?!" Aiden berseru antusias.

"Luar biasa. Itu baru pemimpin klub detektif." Erika mengacungkan jempol.

"Raia di Distrik Buiefar, kan?" Secara Watson terus menyinggung kota satu itu. Menyuruh Jeremy mencarinya.

"Tidak, Stern. Awalnya aku berpikir Raia akan pergi ke sana. Tapi aku berubah pikiran. Mungkin dia akan ke Buiefar, namun tidak bisa." Watson menjelaskan setengah-setengah, terkesan ambigu.

Hellen manyun. "Kamu ini bicara apa..."

"Intinya aku akan membagi kelompok. Chouhane dan Stern, tinggal di sekolah. Kalian tim komunikasi. Erika dan Aiden tim eksplorasi gedung. Sementara aku dan Bari akan mendatangi pelaku. Lokasinya di Studio Phagata. Paham?"

"Got it, Kapten!"

"Kamu selalu ingin satu tim denganku. Jangan-jangan benar kamu homo, Wat," cetus Jeremy memeluk badannya. Dia tidak tahu Watson hanya memanfaatkan skill ototnya saja. Payung pelindung.

Grim hendak mengangkat tangan, namun dia urung melihat semuanya senang mendapat tugas dari Watson. Ah, apa Watson lupa tentang Grim? Atau tidak ada yang bisa dia lakukan? Cowok itu tertawa miris dalam hati. Tak berguna.

"Ah, Skyther. Misimu berbeda dari yang lain." Sebelum Watson berkata demikian. "Kamu harus melakukannya sendirian."

Grim tersentak, menatap Watson.

"Aku ingin kamu beli Hammer Window."







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro