File 2.1.16 - Helpless Witnesses

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"S-saksi? Aku? Saksi apa...?"

"Hah? M-mereka saksi? Saksi apanya?"

Sungguh? Watson menatap Jeremy lelah. Saking lelahnya, Watson sampai lupa lengannya lagi terluka. Kenapa Jeremy sableng ikut-ikutan terbata begitu sih. Yah, Sherlock Pemuram itu juga salah tidak memberitahu deduksinya dahulu.

Watson akan menggeneralisasikannya.

Baiklah, dari mana ini semua bermula? Coba kita mulai dari Raia dan Sasinmu yang bermain-main di sekitar Studio Phagata pada tanggal 18 februari lalu.

Karena studio itu sudah ditinggalkan, pengawasannya menjadi longgar dan jarang dikunjungi penduduk setempat. Melewati dan menganggap bangunan itu seolah tidak ada. Phagata hanya gedung tua yang akan diruntuhkan walikota.

Para warga tidak tahu-menahu bahwa seseorang akan menggunakan tempat tersebut sebagai lokasi pembunuhan. Ayah Raina adalah korbannya.

Begitu pula dengan Raia dan Sasinmu. Mereka juga tidak tahu jikalau akan terjadi pembunuhan saat mereka memasuki studio itu untuk berswafoto.

Kaget? Jangan ditanya lagi. Tidak ada yang merasa bangga menjadi saksi pembunuhan secara tiba-tiba.

Meski demikian, Raia memberanikan diri untuk memotret insiden itu dengan ponselnya. Sialnya dia lupa mematikan sound aplikasi kamera. Cekrek! Bunyi itu menyadarkan pelaku bahwa ada penumpang gelap yang ikut menonton.

Raia dan Sasinmu pun bersembunyi dari kejaran pembunuh itu. Di sela-sela persembunyian mereka, gelang Raia jatuh. Benda yang ditemukan Michelle.

Di sanalah Raia dan Sasinmu diancam. Dibuat tidak berdaya oleh si pelaku yang marah, gagal menemukan keduanya. Jika mereka melaporkan apa yang mereka lihat dan foto, maka pelaku akan mendatangi dan membunuh mereka.

Syok akan kejadian itu, kondisi psikis Sasinmu pun terganggu dan mengidap amnesia disosiatif. Dimana dia tidak dapat mengingat apa yang telah terjadi. Kala dia berusaha mengingat, otaknya memasuki mode defensif dan segera menghapus kenangan gelap di Phagata. Itulah penyebab ibunya jadi protektif.

Saat itu Raia masih tidak mengerti apa yang sudah menimpa Sasinmu. Temannya bertingkah normal seakan tidak ada hal menakutkan terjadi pada mereka. Dia bingung dan kesal, bisa-bisanya Sasinmu mendaftar sebagai Ketua Dewan Siswa di situasi yang tidak aman. Pembunuh itu bisa mendatangi mereka kapan saja.

Bukankah lebih bagus menjadi murid bayangan daripada mencolok? Raia berpikir Sasinmu sudah tak waras. Apa dia mau ditemukan pelaku dan dibunuh?

Tidak sebelum Raia tahu tentang Ketua Dewan Siswa berpotensi mendapatkan beasiswa ke Jerman. Dia salah paham, menyangka Sasinmu mendaftarkan diri untuk mengincar program beasiswa.

Sasinmu memandang Raia adalah rival. Dia menjaga jarak dan tahu-tahu menjadi ketus terhadap sahabatnya itu.
Bertengkar lah mereka di ruang konsil. Yaps, benar. File rekaman cctv yang terhapus: perdebatan Raia dan Sasinmu.

Raia kembali membahas pembunuhan Ayah Rainaly, tapi Sasinmu bersikukuh bilang tidak paham arah pembicaraan membuat Raia langsung sadar bahwa Sasinmu benar-benar melupakan insiden di Studio Phagata karena syok mental.

Sekarang, hanya Raia seorang yang mempunyai ingatan menakutkan. Dia terbawa mimpi, dibayang-bayangi, tidak fokus beraktivitas, menghitung waktu kapan si pelaku datang membunuhnya.

Ah. Andai saja Raia juga amnesia.

Sang Ibu hanya menuntut Raia untuk tekun belajar. Beasiswa yang dia inginkan baru bisa diterima setelah lulus. Sasinmu tak lagi menganggapnya sahabat. Si pembunuh berkeliaran.

Raia menyerah. Dia akan bunuh diri.

"Tapi Raiana tidak tahu jika dia punya dua musuh. Si pelaku pembunuhan serta dirimu, Raina. Kamu tahu mereka adalah saksi lewat cctv yang merekam perdebatan. Bukankah karena itu kamu menghapus filenya? Kamu marah mereka tidak mau memberitahu polisi, dendam dan berniat membunuh mereka."

Sasinmu memegang kepala. "Ada hal seperti itu? Kenapa aku tidak tahu? Kenapa aku tak bisa mengingatnya?!"

"Otakmu melindungi mentalmu. Makanya kamu takkan mengingatnya sebanyak apa kamu berusaha. Otakmu akan terus menghapusnya." Watson menjelaskan.

"KENAPA KAMU TIDAK BILANG APA PUN PADAKU, RAIA?! KENAPA KAMU MENGEMBANNYA SENDIRIAN? Kenapa kamu tidak menceritakannya padaku?"

Raia terkekeh miris. "Sudah. Tapi apa yang kudapatkan? Kamu melupakannya lima menit kemudian. Semuanya sia-sia. Kenapa baru sekarang kamu marah?"

Prok, prok, prok!

Rainaly kembali menepuk tangan. "Ya, ya, ya. Persahabatan yang mengharukan, menitikkan air mata. Lagi pula kalian berdua akan mati di sini. Hari ini."

Gadis itu tidak hanya menggertak. Air yang mengisi aquarium makin meninggi. Bahkan kotak yang mengurung Hellen dan Dextra sudah setengah penuh.

Sedari tadi Jeremy gregetan ingin menerjang maju menghancurkan kotak aquarium, tapi Watson terus-menerus menahannya. Sherlock Pemurung itu seperti menunggu sebuah momentum.

"Kalau kamu di posisi mereka, apa kamu bisa melawan rasa takut dikejar pembunuh?" Watson menatap Raina tajam. "Kamu menaruh dendam pada Raia dan Sasinmu karena mereka tidak mau memberi kesaksian pada polisi tanpa memikirkan perasaan mereka.

"Tidakkah kamu sadar jika mereka juga terbebani akan ketidakberdayaan mereka untuk memberitahu kebenaran? Berkat itu, Sasinmu mengidap amnesia. Raia kehilangan hasrat hidup. Dan kamu justru melakukan perbuatan yang hina. Pantaskah kamu merasa dirimu korban?"

Hal hina yang Watson maksud adalah: Raina akan membunuh Raia dan Sasinmu di TKP pembunuhan ayahnya. Kematian beliau hanya dianggap kasus bunuh diri oleh aparat kepolisian. Mereka takkan mendatangi tempat itu lagi. So, sudah basah kuyup sekalian saja mandi hujan.

"Aku masih penasaran kenapa dia minta tolong ke kita," bisik Jeremy kepo.

"Dia pikir dia bisa lepas dari rasa curigaku kalau berlagak sebagai klien yang rapuh," balas Watson ikut berbisik.

"Lenganmu oke?" bisik Jeremy lagi.

"Nyut-nyutan 'gitu," bisik Watson juga.

[Ini bukan waktunya main bisik-bisikkan! Apa yang harus kita lakukan, heh? Kita harus menolong Dextra dan Hellen.] Suara Aiden terdengar di earphones.

Benar. Mereka harus segera membantu Dextra dan Hellen yang sudah kelelep. Bagaimana cara mengeluarkan mereka?!

"Hei, apa kalian sedang berkomunikasi dengan Kak Aiden dan Kak Erika, hmm? Kalian takkan bisa menyelamatkan Kak Hellen, Dextra, Raia dan Sasinmu."

Aduh, ketahuan. Jeremy garuk kepala.

Watson tidak bisa berdiri lebih lama. Dia duduk menjeplak di lantai gedung yang kumuh. "Begitulah," katanya lemas, tidak keberatan menjawab pertanyaan Raina jika memang itu pertanyaan. "Kuakui kamu cukup pintar karena bisa menebak rencanaku yang berubah. Tapi Rainaly, sepertinya kamu lupa sesuatu."

Tap! Terdengar suara langkah kaki.

"Aku selalu punya rencana cadangan."

Raina melotot mendapati sosok Grim berdiri di belakang kotak aquarium. "Kak Skyther...? Kenapa kamu... Sejak kapan kamu di sini?" Dia beringas menatap Watson yang rebahan. Mungkinkah?!

"Aku menyuruh Skyther datang lebih awal ke sini daripadamu, Rainaly."

"KALIAN PIKIR KALIAN MENANG? Kak Watson, kamu lupa aku menyembunyikan banyak crossbow di studio terkutuk ini? Kamu bisa membunuh Kak Skyther."

"Aku tahu kok. Makanya aku juga suruh Skyther membersihkan Phagata dan menyisakan satu crossbow saja. Kamu pikir aku tertembak panah secara tidak sengaja, heh? Itu sih aku sengaja untuk memuaskan keinginanmu semata."

Dengan panik Raina menekan tombol remote control yang mengendalikan semua crossbow. Tidak ada yang aktif. Dia menoleh ke Grim yang mematahkan crossbow terakhir. Situasi terbalik.

"HAHAHA! AKU JUGA MENANAM BOM—"

Sebelum Raina melakukan pergerakan aneh, Aiden dan Erika di bangunan sebelah melepaskan tembakan. Suntikan pelemah otot mengenai kakinya. Tubuh Raina seketika limbung lantas ambruk.

Jeremy akhirnya bergerak setelah Watson menganggukkan kepala. Dia menendang alat regulator di tangan Raina. Furnitur pancuran di kotak akuarium berhenti mengeluarkan air.

"Hellen! Hellen!" Jeremy memukul-mukul dinding akuarium. "Sial! Kacanya keras sekali. Hellen bertahanlah! Dextra!"

"Hahaha..." Raina tertawa meski sudah terkena efek obat. "Aku telah menukar dindingnya dengan kaca tempered. Kamu butuh benda tajam untuk merusaknya. Sementara kamu lagi memikirkan cara memecahkannya, teman-temanmu mati."

"Tidak juga." Grim merogoh saku celana, mengeluarkan hammer windows yang dipesan Watson. "Permainanmu selesai."

"Haa..." Tawanya menghilang, digantikan tetesan air mata. "Ternyata memang suatu kesalahan mengusikmu, Kak Dan."

Trak! Prang! Pyass!

Hanya butuh satu pukulan kencang, kaca akuarium pecah. Air di dalamnya tumpah ruah. Jeremy terburu-buru menarik tangan Hellen dan Dextra. Grim juga menghancurkan kaca di akuarium satunya, membantu Raia dan Sasinmu.

"Cough! Cough! Sial, aku meminum airnya setidaknya lima teguk," umpat Hellen, bersin-bersin sekaligus batuk-batuk.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Jeremy khawatir, seenak jidat mengusap-usap tangan Hellen untuk menimbulkan rasa hangat. "Maaf lamban, kacanya terlalu tebal. Aku tidak bisa memecahkannya."

"Aku akan marah kalau kamu melakukan itu. Tanganmu bisa terluka oleh kaca," dengusnya dengan pipi sedikit bersemu.

"Tapi kamu dalam bahaya barusan!"

"Jika si detektif muram tenang-tenang saja di kondisi sulit seperti sekarang, itu berarti dia merencanakan sesuatu. Ingat itu baik-baik atau garis bawahi."

Sasinmu menoleh lemah Raia. Yah, sebenarnya mereka berdua sama-sama lemas habis dikurung. "Maafkan aku. Ini salahku membiarkanmu takut sendirian. Andai ingatanku tidak bermasalah..."

Raia menggeleng. "Aku rasa aku paham kenapa kamu melupakan insiden itu. Setiap manusia punya cara menghapus memori pahit untuk bertahan. Kamu melupakannya karena ingin hidup, Has."

Hasby tersenyum. "Terima kasih, Rai."

Case closed begitu sirine mobil polisi terdengar. Sungguh hari yang panjang.

*

Rumah Sakit Atelier.

Elione menatap datar Watson yang datang dengan panah di lengan, lalu putrinya yang basah-basahan, mengusap wajah frustasi. "Kasus apalagi yang kalian kerjakan? Kamu baru saja pulih dari koma, Nak Watson. Kamu juga, Len. Ada apa denganmu? Dicelupkan ke air?"

Hellen mengangguk. "Tebakan bingo, Pa."

"Malah enteng menjawab. Cepat ganti seragammu sebelum masuk angin! Awas kamu. Bakal Papa laporin ke Mama."

"Ei, jangan begitu, Pa. Aku sehat kok!" sahut Hellen cengengesan. Meluncur ke ruang kerja ayahnya bersama Jeremy.

Menghela napas panjang, Elione mulai mengobati Watson. "Kamu mau tidur?"

"Tidak usah. Anestesi saja."

Aiden bersungut-sungut. "Harusnya kamu tidak usah sebaik itu pada Raina, Dan, sampai merugikan badan sendiri."

"Kita kan mau menang, Den. Setidaknya kasih musuh apresiasi. Ini tidak sakit kok... Aw! Sakit!" Elione dengan sengaja mengepres bagian yang parah. "Dok..."

"Banyak lagak kamu," ucap beliau.

"Anda punya masalah apa sama saya?"

"Tapi, Watson," Mereka menoleh ke Erika yang melipat tangan ke dada. Teringat sesuatu. "Sebenarnya siapa pelaku yang membunuh Ayah Raina? Kamu tahu?"

Sherlock Pemurung itu terdiam.

"Kalian kenal Nesty? Dia kerap dipanggil Nattele. Model yang lagi naik daun!"

"Mungkin... salah satu penggemar Nesty."





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro