File 2.3.8 - Find The Original Killer

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum menjadi guru kimia, dulunya Dula Teeren merupakan guru informatika komputer. Beliau cukup lama menjabatnya sampai sebulan lalu memutuskan berpindah jurusan ke Kimia.

Sepertinya Watson melewatkan banyak hal. Dia terlalu fokus mencari cara untuk membebaskan Anjalni dari tuduhan hingga dia lupa bahwa Dula bisa jadi juga seorang tersangka pembunuhan.

Akan tetapi, ketimbang Dula, Anjalni memiliki motif. Atau Dula menyembunyikan motifnya? Siapa tahu wanita itu punya dendam tertentu.

"Kalau tidak ada kan tinggal dicari. Shepherd."

"Kenapa?" sahut Saho gercep.

Hellen sedang sibuk membuatkan pesanan. Dia tidak bisa mengganggunya. "Aku ingin kamu mencari tahu hubungan Akinlana dan Dula."

"B-bukan masalah besar... Tapi, apa alasanmu? Mungkinkah kamu mulai meragukan Miss Dula?"

"Sudahlah, jangan banyak tanya. Aku tidak ingin kepalaku makin sakit karena berpikir. Masih ada yang perlu kuperiksa," tukas Watson, membuka laptop. Apalagi kerjanya kalau bukan menonton ulang dan ulang rekaman cctv. Pasti masih ada yang luput dari pengamatan Angra dan Ingil.

Tontonan pertama, tidak ada hasil. Begitupun pengulangan kedua. Ketiga, keempat, dan kelima. Watson berseru gemas. Ayo keluarlah petunjuk! Atau tidak dia akan menghancurkan laptop itu.

ZZZTTARRR!!!

Hmm? Watson menegakkan punggung, memutar video sekali lagi dan menghentikannya di menit sekian. Di saat kilat menyambar, terdapat siluet ganjil yang dipantulkan oleh kaca pada jam di dinding. Watson menoleh ke jam tersebut. Letaknya berada tepat di bawah kursi kepsek, terdapat dua bendera Amerika saling menyilang di sebelahnya, dan mengarah lurus ke pintu.

Apakah itu siluet manusia atau gorden kain? Ahh! Watson mengacak-acak rambutnya. Sulit untuk mengidentifikasi lewat mata telanjang.

"Anu, Watson," bisik Saho pelan. "S-sepertinya aku menemukan sesuatu. Apa kamu mau lihat?"

"Kenapa kamu terbata-bata begitu? Aku tidak akan menggigit atau memakanmu," ucapnya.

"H-habisnya kamu terlihat fokus sekali... Aku takut mengganggumu." Saho cengengesan.

"Baiklah, skip. Apa yang kamu dapatkan?"

Saho menerangkan secara singkat. Dula Teeren memiliki seorang keponakan bernama Leysa Estrida, kelas dua sekolah menengah pertama. Leysa bekerja paruh waktu di sebuah swalayan lantas terbunuh oleh seorang pelanggan bulan lalu. Polisi mengonfirmasi bahwa istri Akinlana adalah tersangka utama insiden tersebut, namun entah karena apa beliau lolos dari dakwaan.

Kasus Leysa pun ditutup dan menjadi kasus dingin tanpa ditangkapnya pelaku pembunuhan.

Watson mengatupkan rahang. Bukankah masalah ini makin kapiran? Sherlock Tsundere itu tidak menyangka kasus di sekolahnya bisa mengakar ke sana, terlebih kejadian yang sudah berlalu.

"Dengan begini, Miss Teeren punya motif untuk membunuh Pak Akinlana." Saho menundukkan kepala. Dia tidak mengerti walau sudah tahu motifnya. "Dia marah pada istri Pak Akinlana, kan? Kenapa malah dilampiaskan ke beliau?"

Ada banyak alasan yang tidak mereka ketahui, tapi Watson takkan membahas hal itu di saat dia juga sedang menangani kasus lain.

Aku dapat motifnya, tapi tidak caranya.

"Alih-alih memikirkan itu, harusnya kamu fokus dulu pada taktik Dula merancang pembunuhan Akinlana dan berhasil mengkambinghitamkan Miss Adine." Watson tidak mau pikirannya terbelah selagi kasus Anjalni belum selesai.

"Aku tahu," celetuk seseorang.

Watson (dan Saho) menoleh, tergelak tak percaya. Ini mungkin keajaiban dunia kedelapan melihat Angra mendatanginya. Apa polisi keras kepala itu memutuskan membuang gengsinya atau dia mendapatkan ilham dari rekannya?

Bats! Angra menyambar lembar kertas yang dipegang Saho, menatap Watson tajam.

"Awalnya aku tidak sudi harus bekerjasama denganmu, tapi kebetulan itu sangat kejam. Tak kusangka kasus yang kuhandel bersangkutan."

Watson tersenyum miring. "Ah, maksud anda kasus yang membuat Petugas Ingil minta tolong ke saya waktu itu yah? Anda benar. Kebetulan itu mengerikan sekaligus menakjubkan."

*

Mungkin Watson sudah putus asa karena tidak adanya seorang pakar siber sehingga dia pergi secara naluriah ke kelas Dextra padahal sudah tahu anak itu tidak datang ke sekolah.

Arghh!! Andai Violet masih hidup, dia takkan sesusah ini mengais petunjuk ke sana-sini.

Watson duduk di kursi—kelas itu kosong karena semua penghuninya berada di halaman. Kata Aiden, kelas Dextra mendirikan stan cosplay.

"Aku akan memberitahu caranya jika kamu mau membantuku menangkap pelaku kasus Leysa."

Cowok itu tertawa datar. Bisa-bisanya Angra melakukan negosiasi (atau mungkin bisa dikatakan mengancam) di saat seperti ini. Kalau Watson menolak, itu artinya Angra akan tutup mulut tentang cara Dula membunuh Akinlana begitu perfek sampai bisa menuduh Anjalni.

Watson curiga, jangan-jangan Angra sudah tahu sejak awal Anjalni bukan pelakunya dan memanfaatkan momen kebuntuan Watson untuk mengendalikannya? Dasar pria berotak licik!

"Haah." Watson mendesah panjang, merebahkan kepala ke permukaan meja. "Tidur sebentar... tidak jadi masalah, kan? Aku... mengantuk..."

BRAK! Tapi orang yang menggebrak pintu ini tidak mengizinkan Watson untuk tidur.

Padahal baru sedetik masuk ke alam mimpi, Watson sudah harus kembali ke dunia nyata. Dia menatap linglung ke sosok yang menyelonong masuk ke dalam kelas. Rambut seputih salju berkibar. Watson memicing. Itu kan Asha?!

Entah apa yang dipikirkannya, Watson pun mengumpet ke bawah meja. Beberapa detik kemudian, Watson tersadarkan. "Lho? Kenapa aku sembunyi?" Dia kan tak membuat kesalahan.

Kewarasan Watson kembali. Dia pun merangkak keluar sambil meringis malu. Yang barusan itu adalah refleks. Dia sama sekali tidak bermaksud bersembunyi. Lagi pula beliau kan hanya Asha.

"Watson? Apa yang kamu lakukan di situ?"

Cowok itu berdeham. "Tali sepatu saya lepas," bohongnya. "Anda sendiri ngapain ke sini?"

"Ah, saya sedang menyusul Selise. Karena dia pergi lebih dulu mencari Nak Jeremy, saya jadi ketinggalan. Apa kamu tahu di mana Jeremy?"

"Tahu," kata Watson pendek, menguap. "Dia di laboratorium bersama Aiden dan Stern. Aku suruh dia ikut supaya bisa belajar uji praktek. Anak itu nilai kimianya sangat mengenaskan."

"Kamu terlihat mengantuk sekali, Watson. Apa semalam tidurmu kurang nyenyak?" tanya Asha sedikit bersimpati. Dia tidak tahu apa, barusan dia mengganggu Watson yang ingin tidur.

"Ah, saya narkolepsi. Berpikir terlalu ruwet bikin kepala saya hendak meledak dan saya pun tertidur. Miss tak usah khawatir. Sudah biasa..."

"Jangan dibiasakan," sergah Asha memegang tangan Watson, menatap khawatir. "Narkolepsi itu bukan sembarangan penyakit. Kamu bisa mengalami halusinasi atau katapleksi."

Ya, aku sudah melihat paus di langit.

Watson buru-buru menarik tangannya. "Saya sudah sering begini sejak kecil kok. Lagi pula ini tidak ada hubungannya dengan anda..." ucapnya, menguap lagi. Aduh. Rasa kantuknya bertambah.

"M-maaf, saya tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Kamu terlihat sangat capek.*

"Tidak apa-apa. Kalau begitu saya pamit dulu." Segera enyah dari ruangan ini dan tidur di tempat lain! Si Asha itu benar-benar membuat perasaan Watson tidak bisa tenang sedikit pun.

Baru satu langkah, pandangan Watson buram. Tidak bisa. Dia tidak dapat menahan efek kantuk yang diberikan oleh narkolepsinya. Terlalu kuat.

"Lho, lho, lho." Untung ada Asha. Dia bergegas menolong Watson yang terhuyung pingsan. "Nak Watson, kamu baik-baik saja? Nak Watson?"

Dia tidak apa-apa. Dia hanya tidur.

Asha mengembuskan napas panjang, tersenyum, beralih mendekap erat Watson.

"Aku kan sudah bilang, jangan remehkan itu."



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro