20. Benang Merah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mampus. Luna kelewat totalitas dalam mengubah sejarah, sampai-sampai tak sadar sudah menghabiskan dua jam di lapangan basket. Keringat mengucur deras dari setiap pori-pori tubuhnya. Tersengal-sengal, Luna berusaha mengendalikan frekuensi napasnya yang tidak beraturan.

Sudah pukul lima sore. Salahkan Sabrina! Anak maniak basket itu gencar sekali melatihnya. Mendapati teknik sampah Luna, membuat Sabrina gereget parah untuk memperbaikinya. Heran. Saking seringnya kena omelan, setiap kali Luna menyentuh bola, rasanya selalu ada saja yang salah untuk dikomentari Sabrina habis-habisan.

Dengan segenap tenaga yang tersisa, Luna mencoba men-dribble bola menuju ring. Baru beberapa langkah, bolanya malah terjatuh tepat di atas punggung kaki Luna, sehingga memantul ke sembarang arah. Luna menumpukan telapak tangannya di atas tempurung lutut. "Stop, stop! Aku menyerah! Ini, sih, dua jam latihan tidak membuatku jadi seorang pro, yang ada malah pulang-pulang tulangku remuk semua!"

Sabrina mengambil alih kendali bola, memantulkannya beberapa kali, lalu membuatnya berputar di atas jari telunjuk, persis pose yang sering Luna lihat dari anime basket seperti Kuroko. "Itu karena kau yang payah. Heran, aku. Bagaimana mungkin seseorang bisa remidial di pelajaran seenteng basket?"

Luna mendengkus keras, merasa tersindir karena satu-satunya nilai cacat di rapornya hanyalah ujian praktik PJOK. Andai keterampilan berolahraga bisa dimanipulasi oleh pemutaran ulang waktu, Luna pasti tak perlu kerepotan begini. Sayangnya, mau diulang berapa kali pun, Luna masih saja gagal. Padahal fisika saja berhasil dikendalikan Luna. Jangan-jangan, sebenarnya bola adalah salah satu objek anti-dimensi yang tidak mempan di-prank Query. Ih! Kepala Luna menggelegak. "Anda yang sudah terlahir sebagai atlet basket sejak awal, tolong diam saja, ya! Lagi pula, mohon berkaca, Sab. Badanmu tiang dan cukup berisi. Sangat proporsional untuk mengimbangi olahraga basket!"

Sabrina menyimpan bola di ketiak, lalu menunduk untuk menyesuaikan dengan tinggi badan Luna. Sebelah tangan lainnya menepuk singkat pucuk kepala Luna. "Ah, benar. Aku lupa. Kau, kan, manusia mini nan cungkring. Oh! Iya juga, ya. Aku baru teringat sesuatu. Kau tahu, Luna? Klub basket yang abangku bimbing, minggu ini sedang open register, lho."

Sesaat, Luna memasang muka keruh. Klub basket? Syukur kalau ketemu abang-abang berseragam basket dan banjir keringat yang memesona seperti Akashi Seijuroo. Akan tetapi, kalau malah menguras porsi rebahannya? Ogah. Luna mengernyit, tidak suka.

Tak menyerah, Sabrina terus promosi. "Kau mau? Nanti, abangku bisa bikin surat keterangan, lho. Bisa jadi pertimbangan Pak Uzaz biar nilaimu enggak hancur-hancur amat. Kalau tertarik, coba kunjungi gedung olahraga di Dadaha besok sore, ya. Nanti ada plangnya, kok. Tulisannya: Klub Basket Siliwangi Kids, TK-SD."

"Heh! Aku anak SMA, ya, Sialan!"

•   •   •

Bagi seorang anak OSIS seperti Melvin, pulang pukul setengah enam sore di tengah program kerja sebesar Persatas Day, rasanya masih terbilang pulang cepat. Sembari menuruni anak tangga dengan ransel di punggung, Melvin meregangkan otot pundaknya yang terasa kebas. Masih ada hari esok. Seusai babak penyisihan dari berbagai cabang olahraga—salah satunya futsal—sejak pagi tadi, besoknya adalah pertandingan final yang dilanjut pertunjukan kesenian dari setiap kelas.

Hanya satu hari lagi. Melvin perlu menyimpan tenaga. Anak-anak yang terbilang sering jadi langganan poin pelanggaran, mayoritasnya adalah anak futsal. Meski partisipasi mereka dalam program OSIS satu ini bisa dikatakan penting dalam meningkatkan tensi sekaligus antusiasme massa, Melvin tetap harus siaga penuh. Mereka memang  makin terpantau karena lebih tertarik untuk memenuhi setiap sudut lapangan daripada nangkring di atas langit-langit toilet siswa untuk sebat rokok. Akan tetapi, yang perlu Melvin awasi adalah tindakan pelanggaran yang acap kali menggunakan 'tanda support' sebagai tameng pembenaran.

Kalau kata Raya, ditakutkan seperti tahun sebelumnya. Di mana mereka membawa gas asap sampai bendera kebangsaan komunitas geng motor masing-masing. Dengar-dengar, sih, salah satu anak kelas sebelas mengibarkan bendera tri-warna itu di luar dinding pembatas lantai dua. Entah karena lengah, beban bendera yang berlebih, atau ada aksi dorong-dorongan, anak itu akhirnya terjatuh ke lapangan di lantai dasar.

Nasib baik, karena Pak Uzaz cekatan bertindak, ia pun masih terselamatkan setelah dilarikan ke Rumah Sakit Jasa Kartini yang memang tak jauh dari Persatas. Darah yang menghiasi sisi lapangan itu sudah dibersihkan, tetapi kejadian itu masih terekam dengan jelas oleh setiap penjuru sekolah. Hal itu pula yang menyebabkan kegiatan Persatas Day kali ini cukup sulit untuk di-acc wakasek. Sebagai gantinya, setiap seksi panitia penyelenggara mesti tambah serius dalam menjalankan tupoksi kerjanya masing-masing, terutama bagian keamanan. Melvin mengembuskan napas berat.

"Melvin!" seru Raya yang sudah duduk manis di atas jok sepeda motornya. Gadis itu melambaikan tangan, tak lupa kedua sudut bibir yang merentangkan senyuman. "Aku pulang lebih dulu, ya. Hati-hati, kamu, pulangnya!"

Melvin balas tersenyum, mengangguk singkat. Manis kronis! Bikin miskin iman saja. Raya berniat menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, hingga akhirnya tersadar bahwa jari telunjuknya malah menghantam permukaan keras helm. Duh, gagal salting. Kebanyakan salthink, sih!

Teringat sesuatu, Melvin mengeluarkan buku bersampul kertas payung dari tas hitamnya. Buku rangkuman milik Pilar. Melvin berniat mengembalikannya hari ini, tetapi Pilar malah tidak masuk sekolah. Diliriknya jarum jam di pergelangan tangan untuk kedua kalinya. Masih sempat. Melvin bisa mampir dulu ke rumah Pilar.

Pilar adalah teman lelaki yang paling dekat dengan Melvin. Baik, rajin, dan rendah hati. Jika saja tak disibukkan urusan OSIS dan sebagainya, tentu Melvin akan meningkatkan frekuensi interaksinya dengan Pilar.

Hampir pukul enam tepat di saat Melvin akhirnya tiba di rumah bercat kuning gading yang sudah mengelupas di sana-sini. Persis ketika Melvin bersiap mengetuk pintu, bingkai kayu itu dibuka dari dalam terlebih dahulu. Pilar keluar, tampak cukup tergesa dengan tas jinjing di tangan kirinya. "Eh, Melvin? Ada apa?"

"Uhm, ini. Aku datang untuk mengembalikan buku rangkumanmu. Sangat membantu. Tanpa penjelasan sepanjang teori di buku paketnya, kau bisa membuat materi jauh lebih tahan lama di otakku. Terima kasih."

Kikuk, Pilar menerima sodoran buku dari Melvin. "Ah, iya. Tak apa. Jika ada kesulitan, kau bisa tanyakan padaku."

"Tunggu," sela Melvin, baru menyadari satu hal. Tangannya terangkat untuk menyingkap poni rambut Pilar yang sudah panjang hingga menutupi mata. "Kepalamu ... kenapa?"

Pilar menyentuh bebat di kepalanya, refleks. "Oh, tidak. Hanya kecelakaan kecil di tempat kerja."

Mata Melvin melebar. "RachMart? Begal itu? Astaga, syukurlah keadaanmu tak parah." Melvin menambah atensi pada tas jinjing Pilar. "Eh, kau mau keluar?"

Lawan bicaranya menganggukkan kepala. "Ibuku sedang dirawat di rumah sakit. Aku kembali untuk mengambilkan perlengkapan tertentu sekaligus baju gantinya."

"Naik angkot?" terka Melvin, mengingat kebiasaan Pilar yang hanya mampu berlangganan angkutan umum. Pilar baru mengerjap. Belum sempat dijawab, Melvin sudah terlebih dahulu berujar, "Ikut saja denganku. Biar kuantarkan."

•   •   •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro