22. Bias Batas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"El lagi, El lagi, El lagi! Anaknya Mama itu siapa, sih?" Masih dengan kaus putih dan celana seragam olahraga Persatas, Luna kabur keluar rumah. Luna menyandarkan punggung di depan dinding pagar rumahnya sambil memeluk lutut. "Selalu saja dia yang diutamakan. Setidaknya, hargai El dan Ken yang sudah bla-bla-bla. Begitu saja, seterusnya. Sementara perasaanku tak usah dihargai. Ironis."

Setelah bermonolog untuk mengomel panjang lebar, Luna cukup terkejut begitu menyadari kehadiran seseorang yang menepuk lembut puncak kepalanya. Luna menoleh cepat.

"Om Sakti?"

Luna memalingkan wajah ke arah lain. Gusti ... Luna baru saja membicarakan El, dan papanya yang malah langsung datang ke hadapan. Luna hanya melirik singkat lewat sudut mata. Sakti tersenyum lembut, ikut duduk di samping Luna yang hanya beralas pijakan beton. "Lun, Luna tahu? Di kehidupan ini, tak ada manusia maupun alat canggih yang mampu mendeteksi dan mengabulkan keinginan abstrak dari internal seseorang. Kalaupun ada, tak akan sampai akurat seratus persen. Kau tahu kenapa?"

Sesaat, makian dan sumpah serapah itu berhenti berputar dalam benak Luna. Pertanyaan Sakti mulai terngiang-ngiang di otaknya. "Tunggu. Bisa, deh. Misalnya, aku mau mi ayam pangsit Mang Dod. Om Sakti tinggal belikan untukku, 'kan? Bukankah itu sudah memenuhi?"

"Om bilang, keinginan abstrak dari internal, lho. Entah itu rasa untuk dimengerti, diperhatikan, dihormati, dihargai, dan lainnya. Seperti kasusmu ini. Kau merasa Mama tak akan pernah mengerti keadaan dan keinginanmu, bukan? Menurut Luna, mengapa bisa begitu?" tambah Sakti.

Luna semakin tenggelam dalam lamunannya. "Karena ... kita sama-sama manusia yang kesulitan melakukannya?"

"Tepat." Sakti masih mengulas senyuman yang tampaknya sudah dilumuri formalin, tak luntur-luntur. "Semua itu karena keterbatasan manusia. Teknologi bisa berkembang. Google Translate bisa menerjemahkan bahasa apa pun. Tapi manusia, tak didukung fitur tersebut. Manusia tetap kesulitan menerjemahkan keinginan individu lainnya. Oh, apa Luna pernah merasa sedih atau marah tanpa tahu alasannya? Om sering. Tiba-tiba menangis di kesunyian, atau menjerit marah di keramaian. Lihat? Terkadang, kita bahkan tak mampu mendefinisikan perasaan dan keinginan kita sendiri, 'kan? Bagaimanalah bisa berlagak memahami orang lain?"

Terdiam. Luna tak tahu harus menanggapi seperti apa. Dari sudut hatinya, Luna mengakui bahwa perkataan Sakti benar adanya. Luna merasakan lengan Sakti merangkul pundaknya, hangat. Mau tak mau, Luna refleks menatap angkasa lamat-lamat, melukiskan sosok seorang ayah yang tak pernah ia saksikan wujud fisiknya di antara gemintang malam. Papa ... bagaimana caraku untuk bisa memahamimu? Lewat Query dan Buku Anti-Dimensi itu ... apa keinginanmu sudah tersampaikan kepadaku?

"Meski begitu, ilmu pengetahuan terus berkembang. Demi menjembatani jurang cela manusia, timbullah komunikasi untuk membahasakan rasa satu sama lain. Lun, mamamu hanya manusia. Kalau Luna merasa bahwa Mama tak kunjung mengertikan Luna, itu bukan kesalahan Mama sepenuhnya. Mama juga ingin bisa memahamimu. Kau mesti melihat betapa cemasnya ia ketika keluar-masuk rumah El setiap lima menit sekali, hanya untuk menanyakan kabar terbaru darimu. Mama selalu ingin memenuhi kemauanmu, Luna. Tetapi, tadi ... takdirnya sebagai seorang manusia tak mampu mengabulkannya. Lain cerita kalau kamu mau meluangkan waktu untuk mengemukakan perasaan dan keinginanmu, Luna. Mama pasti mendengarkannya."

Benarkah? Luna mengembuskan napas yang seakan membelenggu jiwanya, berat. Rasa bersalah mulai menyusup ke setiap sudut hati Luna. Menit demi menit berlalu, hanya sunyi yang mengisi. Luna angkat suara, "Om dan Mama sudah sahabatan sejak kecil, ya. Dahulunya, Mama itu ... wanita seperti apa?"

"Rena itu ...." Ada jeda panjang sebelum Sakti melontarkan jawabannya. Dengan senyuman simpul, Sakti ikut melayangkan pandangan untuk menembus gumpalan awan kelam di atas sana. "Dia wanita terkuat yang pernah kutemui."

Diam-diam, Luna melirik Sakti. Gaya bahasanya berubah. Sakti tak lagi menyebut dirinya sebagai 'Om', sepertinya pria itu sedang benar-benar menghayati kilas memori dari masa lampau, flashback. Luna menahan geli, sekaligus semakin penasaran. Apakah di masa lima belas tahun mendatang, Luna dengan El dan Ken juga akan berada di posisi Rena dan Sakti?

Sakti menghela napas, lalu melanjutkan, "Ayah Rena KDRT. Setiap kali istrinya mencegahnya berjudi, kakekmu itu tak segan-segan memukul, membantingkan botol minuman keras tepat di kepalanya, atau menjejalkan rokok di betisnya. Rena selalu berkorban demi membela ibunya. Dia sangat berani ... tak sepertiku yang pengecut dan tak mampu melindunginya."

Sekilas, Luna mampu menangkap kilatan penyesalan di mata Sakti.

"Kakekmu sempat kerja di bidang konstruksi bangunan, Luna. Namun, karena tak becus dan malah sibuk berjudi, ia dipecat. Terbelit utang di sana-sini. Sampai Rena berkeluarga dan ayahnya tak lagi ada di dunia ini pun, Rena masih saja digentayangi para penagih utang yang membombardir rumahnya dengan teror. Untunglah semua itu akhirnya terselesaikan sejak kau masih bayi, Luna. Om berani bertaruh bahwa hal itu adalah hal paling melegakan dalam hidup Rena. Ia pasti sangat bahagia karena kau tak perlu mengalaminya. Om tahu betul, Rena tak akan pernah mau terlihat lemah di mata putrinya sendiri."

• • •

Malam beranjak semakin matang. Rembulan mulai naik di atas horizon. Sakti menyuruh Luna segera kembali ke dalam rumah karena angin yang berembus tambah kencang, tak baik untuk tubuh. Luna juga harus mengganti pakaiannya. Bau masam. Sudah dua belas jam ia menggunakannya.

Tanpa bisa dikendalikan, masa lalu Rena yang baru diceritakan Sakti terus terekam di benak Luna. Sampai-sampai, Luna memikirkannya di tengah lamunan sambil menatap kosong langit-langit kamar. Tak ada suara, tampaknya Rena sedang menyendiri di kamar, atau ruang kerjanya. Luna belum bisa menemuinya. Di sinilah ia berada, kini. Rebahan di atas kasur, entah sampai kapan.

Lelah. Luna hampir terlelap, jika saja ketukan pintu dan suara keriut halusnya tak menyapa indra pendengarannya. Luna melirik bingkai pintu dengan tatapan sebal. Elenio Saputra. Tahu-tahu, lelaki itu sudah berdiri di sudut kamar dengan tampang minta digampar, seperti biasa. "Dari mana saja?"

Oh, shit. Ada apa dengan orang-orang, hari ini? Ken, Mama, dan El. Ketiganya menanyakan hal yang sama. Apa eksistensi Luna memang sepenting itu? "Sekarang, biar aku yang tanya. Sampai kapan kau akan terus mengusik hidupku?"

Tanpa menimbulkan bunyi berarti, El melangkah mendekat. "Jangan kira aku tak ingat bahwa ibunya Pilar masuk rumah sakit, karenamu."

Wait. Luna melebarkan mata. Saking terkejutnya, Luna sampai bangkit dari posisi berbaringnya. Bukankah Luna sudah rewind, menghapus saved messages El, nekat mengunjungi rumah sakit tanpa sepengetahuan orang demi mencegah bocornya informasi dari Sabrina, sampai harus mengarang alasan dan berakhir badan remuk seperti ini, lantas ... El masih mengingatnya?

"Kenapa? Kau kaget? Kau bertanya-tanya, bagaimana aku bisa mengetahuinya? Oh, ya. Sepertinya, aksi rewind-mu memang berhasil, kok. Hanya saja, kesalahanmu terletak pada betapa naifnya seorang Luna." El semakin mendekat, menatap tajam mata Luna dari jarak yang sangat tipis. "Kau terlalu meremehkanku."

Luna tersentak ketika El memperlihatkan secarik kertas ke hadapannya. Dengan degup jantung bertalu, Luna membaca tulisan yang tertera di sana.

Aku menuliskan di saved messages, bahwa Sabrina bilang di grup kelas: Pilar tampak di rumah sakit, ibunya dirawat.

Rasanya, kepala Luna mau meledak saat itu juga. "Kau menyobek kertas dari buku anti-dimensi?"

• • •

Ohoho, halo! Jumpeu lagi!
Akhirnya kita tau ... skill ceramah El didapat dari papanya, wkwkwk. Tapi El mah versi nyebelin, sih. Apa nyebelin-nya turun dari mamanya, ya?>.<

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro