28. Genap Berdekap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selesai! Bagaimana dengan nomor ini, Lar?" tanya Luna, antusias. Luna melipat kedua tangan di depan dada. Ho, ternyata Matematika Wajib tidak sesulit bayangannya. Luna menepuk-nepuk bahunya yang tidak kotor, berbangga diri.

Pilar memindai soal Uji Kompetensi di buku paket yang sudah ditamatkannya sejak semester satu. Kalau bicara tentang latihan soal, jelas saja Pilar sudah khatam. Tak perlu repot-repot menghitung manual untuk menjabarkan persamaannya, Pilar sudah otomatis mengingat jawabannya. "Oh, itu soal sederhana. Hasilnya negatif dua."

Mata Luna melotot, hampir keluar dari tempatnya. "Kok bisa? Aku dapat sepuluh!"

"Kau melupakan konsep utamanya. Bilangan ini pindah ke ruas kanan. Tanda positifnya berubah jadi negatif. Seharusnya, empat dikurangi enam, bukan empat ditambah enam."

Apa? Mulut Luna menganga lebar, tak mampu dikendalikan lagi. Ini tipe soal sederhana? Luna bahkan masih salah hitung! Dan ... anak itu! Bagaimana bisa Pilar langsung menyadari kesalahan Luna, tanpa perlu berpikir lebih dahulu? Luna mengacak-acak rambutnya, frustrasi. "Sudahlah! Beri aku istirahat setengah jam!"

Pilar hanya mengangkat kedua alis, penuh sanksi. Oh, yang benar saja. Mereka bahkan baru mulai sepuluh menit, Luna sudah minta jam istirahat?

Dalam hitungan detik, Luna sudah merebahkan badan di atas karpet yang sengaja digelar di ruang tamu. Sofa dan meja yang melingkari ruangan, kini sudah berbaris merapat di dinding. Semua itu khusus untuk tempat les privat Luna pada tutor pertamanya: Pilar Ardika. Begitulah.

Baru teringat sesuatu, Luna kembali bangkit untuk duduk. Luna beralih pada Kiran yang baru kembali ke ruang tamu sehabis meninabobokan anak bungsunya di kamar sebelah tangga. "Ah, apa Ibu lapar? Ibu bisa makan atau pakai bahan makanan yang ada di dapur, ya. Mama tidak akan keberatan, kok!"

"Aduh, tidak usah, Dik Luna. Ibu Pilar dan anak-anak sudah sangat merepotkan. Kemungkinan, besok kami akan kembali ke Pangadegan. Dik Luna dan Bu Rena tidak perlu risau. Pilar akan tetap menjadi teman belajar Dik Luna, atau Bu Rena bisa meminta tenaga Ibu juga, jika sekiranya dibutuhkan ...."

Sudut mata Luna membangun pertahanan untuk sesuatu yang terus merangsek keluar itu. Apalagi begitu mendapati ungkapan terima kasih dari Kiran yang teramat tulus, tepat menggetarkan hati Luna. Tidak .... Sebenarnya Luna yang salah. Luna yang seharusnya meminta maaf, bukan malah menerima berjuta terima kasih yang tak pantas Luna dapatkan ....

Seisi rumah hanya diisi sunyi. Siaran berita yang sedari tadi hanya berperan sebagai backsound Luna ketika memutar otak untuk menemukan jawaban, kini menjadi satu-satunya sumber suara, membuat atensi indra pendengaran orang-orang di sana hanya terfokus pada paparan reporter. Luna menguap lebar. Tangannya meraih remote di atas meja, berniat beralih ke saluran televisi yang lebih menarik. Upin & Ipin, misalnya.

"Eh, bukankah itu rumah Melvin?"

Kalimat Pilar sontak membuat Luna mengurungkan niatnya. Apa? Melvin masuk TV? Luna mencoba mendengarkan berita lebih serius.

"Pergerakan BlackHiss kembali meresahkan masyarakat. Rumah Mela Anggara, seorang pengacara sekaligus anak pemilik firma hukum ternama di tanah air, petang ini berhasil dibobol BlackHiss. Selain sisa-sisa kekacauan yang ada, menurut pengakuan Mela sendiri, rumahnya hanya kehilangan berkas bukti untuk persidangan final esok hari. Penjaga rumahnya dinyatakan selamat, sedang menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Jasa Kartini. Sementara itu, putra semata wayangnya ...."

Luna membanting remote. Tak peduli dengan Pilar dan Kiran yang menatapnya keheranan, Luna bergegas memasuki rumah El tanpa permisi. Begitu pintu kamar dibuka, El baru saja selesai berpakaian sehabis mandi. Tak memiliki waktu untuk berbincang banyak, Luna lekas-lekas menggeledah seisi laci El yang jauh lebih rapi dibanding laci meja Luna di rumah. "Mana kunci motormu?"

"Tidak. Kau belum punya SIM."

"Persetan!" Luna hilang kendali. Selama ini, Rena memang sengaja tak memfasilitasi Luna sepeda motor karena belum cukup umur. Sebenarnya, El juga belum punya SIM. Akan tetapi, Luna kasus lain. Kakinya perlu berjinjit untuk menapaki tanah, dan itu membuatnya—yang memang ceroboh—jadi mudah goyah dan terjatuh karena kehilangan keseimbangan.

El tak tahu apa yang terjadi. Hal yang pasti, Luna berantakan. El tak bisa membiarkannya sendiri. Detik berikutnya, El sudah menggenggam kunci motor yang tadinya masih berada di saku seragam. "Mau ke mana?"

El sudah mengebut. Kedua alisnya berkedut begitu menyadari Luna yang meremas pundaknya tanpa sadar. El menambah kecepatan, menerobos traffic light tepat ketika lampu merahnya menyala. Hampir saja.

Sampailah mereka di depan sebuah rumah dua lantai yang berdiri megah. Luna jatuh terduduk. Lututnya terlanjur lemas, tak mampu lagi menahan beban tubuhnya sendiri. Apalagi ketika mendapati garis polisi berwarna kuning yang melintang melingkari sekeliling rumah, lalu-lalang kamera beserta reporter dengan mikrofon di tangan, juga sebuah jasad yang diangkut ke dalam ambulans.

Suara sirene memecah kesunyian hari yang mulai beranjak malam. Akan tetapi, semua itu seolah terdengar di kejauhan. Indranya mati, tak mampu merespons. Bahkan air mata pun rasanya tak mampu untuk bicara. Luna hanya membisu tanpa berkedip, seakan seluruh pemandangan di hadapannya tak lebih dari mimpi buruk yang akan segera berakhir. Sayangnya, takdir mengguratkan kenyataan bahwa Luna tak akan pernah bisa terbangun lagi.

•   •   •

Tanpa kata, tanpa bahasa, Luna bergegas masuk kamarnya begitu El menghentikan motor di depan rumah. Rembulan mulai naik, sembunyi di balik selaput awan kelam. Rena sudah pulang kerja dan tampak sedang bercengkerama dengan keluarga Pilar di ruang tamu. Merasa tak enak, El hanya mengangguk permisi, lalu menyusul Luna ke kamarnya.

Luna menggeser lemari pakaiannya agar ke tengah. Emosinya sedang meledak-ledak. Dengan napas memburu, dipelototinya lubang di dinding yang memancarkan segaris cahaya merah. Sebuah laci kubus tersembunyi itu mencuat dari permukaan dinding. Diraihnya buku berbahan perkamen di sana. Ada halaman yang janggal. Luna masih mengingatnya.

Bias almanak.
Tak lagi pelak,
Berujung kelak,
Di persimpangan abstrak.

Rotasi distorsi,
Serampangan merasi.
Kenaifan basi,
Ciptakan urgensi.

Kesaksian malam,
Yang diliput kelam,
Pun sedari awal punya paham,
Tak semua hal dapat digenggam.

Laju terguling,
Kota Kembang berpaling.

Ferum tak kompromi,
Debum, ikut membumi.

Jikalau semesta menyesak,
Rotasi terdesak.
Aksara sisakan lesak,
Gores tinta menculak.

Satukan sekali,
Untuk kau amati.
Kesadaran terpatri,
Kau akan kembali.

Catatan itu terdengar seolah Rama—ayahnya—sedang berada dalam situasi yang pelik. Sorot mata nyalang Luna menyelisik setiap kata. Alisnya menukik tajam, memaksa otak untuk berpikir lebih keras. Luna memang tak memiliki darah seorang sastrawan atau penggila bahasa. Akan tetapi, Luna rasa dua bait terakhir itu mengisyaratkan suatu petunjuk.

Satukan sekali? Apa yang perlu disatukan?

Luna meraih Query dari sakunya. Tidak bisa. Dia tidak bisa kembali ke rentang waktu di mana Melvin belum terbunuh.

[Gagal! Akses ditolak. Eksistensi dimensi objek yang dituju, tidak dapat terdeteksi.]

Hanya itu keterangan yang muncul di pop-up. Ini persis seperti kejadian terbunuhnya ayah Pilar di waktu silam. Tak mau menyerah, Luna terus memencet tombol Query berulang-ulang, mengharapkan suatu keajaiban lain mendatangi dirinya.

Tunggu. Pergerakan Luna terhenti sejenak. Ada yang berbeda. Tulisan Query di bagian punggung pulpen abu-abu itu mendadak saja timbul ke atas permukaan. Luna mengelusnya perlahan. Bukankah sebelumnya ... tulisan itu hanya semacam stiker huruf yang sejajar dan menyatu dengan permukaan pulpen?

Jantung Luna rasanya akan berhenti berdetak, saat itu juga. Gores tinta menculak ....

Dicermatinya kembali dua bait terakhir itu. Aksara sisakan lesak .... Melesak dan menculak, terbenam dan mencuar ... itu suatu hal yang kontradiksi. Luna harus mempersatukannya? Jika menculak di sini adalah Query, lantas yang melesak ....

Baru menyadari sesuatu, Luna kembali menutup buku anti-dimensi dan lebih memilih untuk mengamati sampulnya lekat-lekat. Sampul tebal itu hanya ditempeli label berbahan kertas. Jika spekulasi Luna benar, maka ....

Luna mengeruk sudut label itu dengan kukunya yang berfungsi sebagai cakaran. Berhasil disobekkan. Di balik label itu, terdapat tulisan Query yang tertulis melesak di permukaan sampul tebal buku anti-dimensi. Dengan tangan bergetar, Luna memposisikan Query di atas buku dimensi. Tulisannya cocok satu sama lain. Lantas, timbullah pop-up hologram, tepat di depan muka Luna.

Layarnya masih eror, distorsi di sana-sini. Terdengar suara tidak jelas, seperti radio yang sedang mencari sinyal, atau televisi dengan antena yang kurang baik. Beberapa detik, Luna menunggu dengan harap-harap cemas. Suara tidak mengenakkan itu mulai menghilang. Hologram di sana mulai menampilkan spektrum warna. Tampilan blur-nya sudah tambah jelas, kini.

Luna berhenti berkedip. Bukan karena dirinya berhasil rewind untuk menyelamatkan Melvin, melainkan karena suatu rasa tak terdefinisikan begitu mendapati sosok dengan sorot mata terang yang penuh antusias itu di pop-up hologram. Di sana .... Iya. Itu Rama, papa Luna.

•   •   •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro