30. Tentang Kisah yang Belum Usai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengapalah mesti ada kata kita, jika pada akhirnya malah dipisahkan semesta?

Setelah kematian papanya, Luna tak pernah mengira akan secepat ini disapa lagi oleh kehilangan. Jika saja Luna diperbolehkan tidak tahu diri untuk meminta satu keajaiban lagi, Luna akan memilih untuk tak pernah menanggapi Melvin di halte itu. Luna lebih memilih untuk tak pernah membalas genggaman tangan Melvin di petang itu. Sehingga, meskipun kisah mereka tak pernah tergurat, setidaknya Luna masih bisa menyaksikan eksistensi Melvin di muka bumi ini.

Luna kalah telak. Jebakan rasa dan serangan kenyataan menggempurnya habis-habisan.

Sunyi. Hampa. Tangisan pecah di sana-sini ketika jasad itu mulai terbenam dilahap tanah. Terbunuh mengenaskan oleh sekawanan organisasi gelap yang belum juga tertangkap oleh aparat, jelas saja penyebab kematian Melvin tak bisa diterima siapa pun. Jerit nelangsa, sedu beradu ... sekitar Luna sangatlah bising. Akan tetapi, yang dirasakan Luna hanyalah kekosongan. Sempurna senyap.

Rintik hujan menitik. Perlahan, semakin deras. Rinai yang semakin rapat membuat kerumunan orang buyar, memilih untuk berteduh di gerai terdekat. Sebagian lagi nekat menerobos hujan untuk mencapai rumah makan yang cukup jauh jaraknya, mengisi amunisi sebelum pulang. Pilar menjadi orang terakhir yang ikut menyingkir dari tanah pemakaman.

El mengembuskan napas berat. Cukup tahu bahwa Luna akan tetap bergeming untuk beberapa saat. El melepas topinya untuk dipakaikan di kepala Luna. Mulai sadar kepergian orang-orang, Luna langsung mendekat ke titik di mana jasad Melvin bersemayam. Luna terduduk. Kedua maniknya tak lepas dari batu nisan yang dimandikan air hujan. Luna mengelus ukiran nama itu. Bergetar. Luna kaget sendiri mendapati tangannya yang begitu tremor.

Luna menunduk. Syal Ravenclaw .... Luna meraih syal di lehernya untuk dibelitkan ke batu nisan. Lihat? Aku memakaikannya sebagaimana kau memakaikan syal ini padaku, sebagai hadiah ulang tahun ... apa kau ingat?

Di samping Luna, kedua sahabatnya menunduk takzim. El mengerem lidah kejamnya, bahkan Ken tak mampu bersuara meski sekadar menghibur Luna. Sudah pukul sepuluh malam. Namun, El dan Ken tak berniat untuk beranjak dari sisi Luna barang sejenak pun. Luna terlanjur hancur, lebur .... Keduanya tahu Luna menanggung berjuta perasaan bersalah di bahunya.

El berdiri lebih dulu. Mungkin, air hujan memang diciptakan untuk menemani langkah terpuruk dan membawa pergi berbagai beban. Akan tetapi, tidak baik jika dibiarkan terlalu lama. Luna kacau. Imunitas tubuhnya bisa turun drastis. Ken ikut bangkit. El mengulurkan tangan ke arah Luna.

Mutlak. Melvin tak akan pernah bisa kembali. Detik ini, semesta seolah menertawakan Luna dengan bicara, 'akulah dalang kehidupan sebenarnya'. Angin malam berbisik, ada suatu hal yang tidak bisa kau kembalikan dengan memutar ulang waktu: kematian. Luna sudah terlalu banyak bermain-main.

Beberapa tetes air jatuh, tepat di atas kaki Luna. Entah itu berasal dari cipratan air hujan, atau dari kedua manik yang kehilangan cahayanya. Luna mengepalkan tangan, berusaha menguatkan setiap sudut hati yang berkedut nyeri. Sadarlah. Luna menarik kembali syal itu untuk dililitkan di leher. Tangan Luna meraih uluran El. Layaknya sudah memecahkan tabir transparan, barulah indra Luna kembali berfungsi sebagaimana mestinya.

"Semua ini salahmu!" Atensi ketiga sahabat itu terpusat pada sosok Mela yang tampak histeris, menarik-narik kerah polisi yang hadir, bersiap meninjunya. "Jika saja kau memasang back-up lebih, bukti itu akan aman, anak saya tidak akan kehilangan nyawa, Moren bisa terlepas dari label tersangka, dan kau bahkan punya kesempatan untuk menangkap organisasi sialan yang selalu lolos itu, Aparat Keparat!"

Di luar kendali El, tahu-tahu saja Luna sudah pasang badan di depan Mela. Dengan suara parau dan penampilan yang sangat suram, Luna merentangkan tangan. "Salah saya .... Saya mohon, pukul saja saya."

"A-apa? Siapa kau?"

Energi Luna benar-benar terkuras habis. Lagi-lagi jatuh terduduk. Lengannya memeluk kaki Mela, erat. Jika saja .... Luna akan jauh lebih bahagia jika saja keputusan rewind-nya membunuh dirinya sendiri, persis seperti apa yang terjadi pada Rama. Akan tetapi, takdir malah lebih memilih untuk mempermainkan Luna lebih lama dengan merenggut orang-orang di sekitarnya.

Tak mau keadaan bertambah runyam, El lekas-lekas meraih lengan Luna untuk melingkari leher El. Diraihnya pinggang Luna agar bisa berdiri lagi. Dengan anggukan singkat pada Mela, El memapah Luna untuk segera kembali ke rumah. Ken ikut membantu, menggapai lengan kanan Luna.

Rasanya, berhadapan dengan kematian itu tak ubahnya seperti menekan tombol play pada pemutar memori. Tanpa bisa direm sejenak pun, bayangan kenangan berkesinambungan itu gentayangan berkepanjangan. Benak Luna menayangkan hari-hari kehidupan yang dilalui bersama Melvin. Semakin tak terima begitu menyadari bahwa semua kata kita sudah tak lebih dari kepingan kenangan dalam angan kebohongan.

"Kau tahu? Selain dari pihak sekolah, seharusnya kau menerima penghargaan dari seorang lagi." Mata Luna terbelalak. Kaget setengah mati ketika bisikan dari masa lampau itu terasa nyata sekali. "Dari dirimu sendiri. Berilah hadiah untuk dirimu yang sudah sampai di titik ini. Sebuah senyuman, misalnya? Jika semesta merenggut alasan senyumanmu terkembang, setidaknya tersenyumlah untuk dirimu sendiri. Dan jika beban di pundak itu tak kuat lagi untuk kau topang, berbagilah denganku."

He lies. Dia malah pergi ketika Luna ingin berbagi. Mana? Di mana bahu yang katanya akan selalu siap menjadi tempat berpulang, di tengah semesta yang menatap nyalang? Dia bahkan tak ada di sini.

Lagi-lagi—Luna menekan perasaan yang meronta—siapa pun, tolong katakan. Bagaimanalah caranya berbagi pada eksistensi yang sejatinya sudah pergi? Seandainya kehilangan akal, rasanya Luna ingin menggali kembali kuburan Melvin hanya untuk menanyakan hal itu tepat di telinganya.

Benar. Semesta benar-benar merenggut alasan senyuman Luna terkembang. Persis seperti kata Melvin, kala itu. Tersenyumlah untuk dirimu sendiri? Lantas, bagaimana jika 'diri sendiri' itu ikut hilang bersama tubuh dinginmu yang kini telah sempurna ditelan bumi? Tak ada yang tersisa. Satu-satunya pilihan adalah menciptakan 'diri sendiri' yang baru. Namun, Luna belum menemukan jalan untuk memulai.

•   •   •

Pagi pertama tanpa keinginan untuk membuka mata. Tidak ada gunanya. Tatapan dalam yang selalu membuat jantung Luna jumpalitan itu sudah tidak ada. Ogah-ogahan, Luna beranjak duduk di atas kasur. Luna mengembuskan napas berat. Tidak. Dia harus berangkat ke sekolah. Bagaimanapun, Luna masih berutang untuk menjelaskan pada pihak sekolah mengenai kecurangan Luna di UTS. Terlepas dari percaya-tidaknya mereka nanti, Luna ingin mengembalikan uang pembinaan yang sudah dihabiskannya. Dengan kerja part-time seperti Pilar, mungkin? Entahlah. Luna akan mengurusnya nanti-nanti.

Hal yang terpenting, Luna harus meluruskan semuanya. Bahkan jika itu berisiko mendapatkan label orang gila atau tukang ngarang, dari orang-orang. Yosh, semangat. Luna membuka tirai di jendela kamarnya.

Dengar-dengar, mengamati bentangan langit bisa membuat perasaanmu lebih baik. Akan tetapi, di mata Luna, angkasa itu masih saja melukiskan senyumannya. Tarikan kedua sudut bibir yang melengkungkan kurva candu untuk terus Luna selami.

Tak sengaja, indra penglihatan Luna menangkap sosok El dengan seragam lengkap yang baru saja keluar dari rumahnya. Langkah kaki El terjeda sejenak, terlihat gamang, tetapi kembali bergerak menyeberangi jalan untuk menuju kediaman Luna. Bahaya. Anak itu pasti sudah siap mengobrak-abrik jiwa mager Luna, kesekian kalinya, seperti biasa. Luna melempar selimut secara asal, lantas bergegas mandi sekenanya. Lima menit sudah selesai, dan tempat tinggalnya masih aman, damai, nyaman, dan tenteram. Syukurlah. El belum sempat menginvasi.

Sebagaimana perkataannya, keluarga Pilar sungguhan kembali ke Pangadegan, sejak tadi. Luna menuruni anak tangga, berpamitan, meraih empat lapis roti tawar dan menjejalkannya sekaligus ke dalam mulut. Begitu sudah duduk manis di jok belakang sepeda motor El, Luna masih harus menunggu Ken Rongsok yang baru kembali dari alam mimpi dengan oleh-oleh iler dan belek seabrek. Lama! Roti Luna bahkan sudah tandas sejak tadi, tetapi keberadaan unsur adab-less milik Ken belum juga terdeteksi.

Mencari pelarian agar tidak mati karena bosan menunggu, Luna melirik El yang tampak amat sangat minim aksi, kali ini. Sikapnya jadi terus-terusan seperti ini, sejak tahu kepergian Melvin. Apakah ... El kebingungan mencari cara untuk memastikan Luna baik-baik saja, tanpa bahasa? Luna membasahi bibir bawahnya, lalu memutuskan untuk angkat suara lebih dahulu. "Sampai detik ini, kau masih saja di sini, ya, El? Tidakkah kau lelah?"

El cukup kaget begitu tiba-tiba ditanyai seperti itu. Embusan napas berat keluar dari hidungnya. El menengadahkan kepala. Matanya terpejam, merasakan setiap elusan angin pagi yang menyapanya lembut. "Sangat. Aku muak dengan kaki ini yang masih saja melangkah di sisimu. Padahal sedari awal, aku tahu bahwa duniamu bukanlah aku. Tapi sialnya, aku malah tak ingat caranya berhenti."

"Lantas, apa yang akan kau lakukan, kini? Mau mencoba memasukinya?"

"Mauku berkata iya, sejak dulu. Tetapi, bukankah ...." Kalimat El terjeda. "Mengisi ruang yang baru saja ditinggal pergi ... terdengar tidak begitu sopan?"

Luna tertegun. Suatu kesadaran terpatri dalam diri. Tak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Dinamika pasang surut kehidupan sudah diabadikan semesta, sejak awal. Lewat mentari dengan terbit-tenggelamnya, juga ombak dengan datang-perginya. Ketika aksara kehidupan terasa tak lagi berharga, tak perlu susah payah menghabiskan tinta yang tersisa hanya untuk mengulangnya dari awal. Toh, Luna masih bisa melanjutkan kisahnya sembari menggoreskan berjuta impian yang bergenggaman. Demi keutuhan gurat alur kehidupan.

Dari balik bingkai pintu, Ken melambai heboh. Lelaki tengil itu rempong sekali menaiki sepeda motor, lantas mengangguk singkat. "Ayo!"

Luna kembali menatap lurus-lurus. Kini, punggung El menghalangi pemandangan.

Kira-kira, ada plot twist apa lagi di ujung jalan sana?

•   •   •

Ya allah .... tamat gais, TAMAT. Ga kerasaaaa😭
Well, apa yang kau dapat?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro