6. Sabotase Jalan Cerita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pekan UTS sudah berlalu begitu saja, tak terasa. Setelah seminggu lamanya dimanjakan rentetan jam kosong karena pihak guru sibuk menggelar pesta remedial dan menuntaskan penilaian siswa, tibalah hari penerimaan rapor tengah semester. Ini tidak sepenting UAS, tetapi pihak sekolah sampai mengundang wali siswa untuk sekaligus mengadakan rapat. Mentang-mentang menjelang kenaikan kelas, sangat merepotkan.

Di sinilah Luna terdampar, bersama dengan sekumpulan anak lain. Warga sekolah menamainya Ruang Inspirasi. Sebuah kawasan penghubung lorong di bagian belakang tata usaha, dilengkapi tangga sebagai alternatif rute tercepat menuju kelas XI MIPA-5 yang posisinya paling pojok di gedung Persatas. Jalan pintas kesukaan Luna, karena tidak perlu naik tangga utama yang padat umat dan harus melewati jajaran kelas dua belas. Kekuasaan senior yang sok asik, biasalah.

Well, meski area ini dinamai begitu, Luna ke sini bukan untuk mencari inspirasi. Dan tentu, digemari setiap siswa, bukan semata-mata karena berlama-lama di sini dapat mencerahkan otak. Salah besar. Ruang inspirasi adalah tempat yang jaringan WiFi-nya paling kencang, untuk dijangkau siswa. Spot favorit sepanjang masa. Meski intensitas cahayanya tidak begitu baik—apalagi jika mulai sore hari—siswa sering santai-santai rebahan di sini, sambil pesan mi ayam pangsit Dod. Definisi kenikmatan hakiki.

Mendadak, tudung hoodie abu Luna ditarik El. "Kumpul di lapang. Kau tuli?"

Dengan amarah meledak-ledak, Luna melepaskan earphone yang menggantung di telinga. Kakinya kerepotan menyesuaikan dengan kecepatan langkah El yang—sialnya—menyeret Luna persis seperti sapi yang mau disembelih. "Upil Minta Disentil! Aku lagi seru-serunya nonton! Norman mau jadi tumbal, sudah dikejar Mama!"

Yakusoku no Neverland, anime yang segera ditonton Luna sejak kemarin, sehabis mati-matian maraton 148 episode Hunter x Hunter dengan Ken. El berdecak malas, dia diam-diam sudah menontonnya lebih dahulu, di saat Ken dan Luna sibuk memperdebatkan password WiFi Haji Amir yang mendadak tak kunjung terkoneksi, dua hari yang lalu. Sangat tidak elit, bersitegang di antara semak-semak, pula. Hal itulah yang membuat Luna bertekad download sekaligus streaming anime di ruang inspirasi, meski harus berbagi dengan siswa lain. "Mama akan mematahkan kaki Emma, lalu mengajak ketiganya untuk segera kembali ke peternakan, ah, maksudku panti."

Sebal, Luna menendang-nendang udara. Sesuai dugaan, El spoiler kelanjutannya tanpa merasa bersalah. "Tak mau kawan lagi dengan El!"

"Sejak kapan kita berkawan? Selain itu, lepas hoodie-nya. Meski tidak KBM, kau masih di lingkungan sekolah. Peraturan tetaplah mutlak."

"Tsk, siapa kau? Calon ketos yang mau pencitraan?"

Percakapan terhenti. Keduanya sudah ditelan kebisingan massa di tengah lapang. Sinar matahari terasa menyengat kulit. Luna jongkok, berlindung di balik tubuh menjulang El. Di lorong teduh pinggir lapangan yang berdekatan dengan tiang bendera, tampaklah kedua guru muda kebanggan Persatas: Ayie dan Elis. Keduanya baru saja mengecek performa mikrofon di tangan masing-masing. 'Pengumuman peraihan nilai paralel', itu yang bisa Luna simpulkan dari pembukaannya.

"Untuk tingkat kelas sebelas, juara ketiga, dengan perolehan nilai 93.4, atas nama ... Elenio Saputra, XI MIPA-5!"

Sebelum benar-benar maju ke depan, El melemparkan tatapan meremehkan pada Luna. Songong! Luna mendengkus, lihat saja. Pilar dinyatakan sebagai ranking kedua, dengan nilai yang hanya unggul 0.7 dari El. Detik itu juga, El di depan sana merasa ada yang tidak beres.

"Naaah, di tengah semester dua ini, ada yang menarik, Miss Ayie." Elis berdialog sebentar. "Karena ketiga juara, sama-sama berasal dari XI MIPA-5, lho! Miss Syarah menang banyak! Langsung saja. Peringkat pertama diraih oleh Luna Marshila Zahira, dengan total nilai 9.79!"

• • •


"Ken, kau ke mana saja! Kita tadi WiFi-an di ruang inspirasi, kenapa mendadak menghilang?" tanya Luna seraya mengipasi wajah dengan amplop berisi uang pembinaan dari Bu Mastati, wakasek pendidikan. Belum lagi, Luna mendengar sistem beasiswa di sini bergilir setiap semester, untuk juara satu paralel di setiap angkatannya. Pamer. Sudah menjadi sebuah kewajiban, tentunya.

Wali siswa sedang rapat di dalam kelas. Beberapa anak memilih nongkrong di food court, tidur di UKS khusus anak PMR, menggunakan lapangan untuk main basket—baca: tebar pesona ke seseanuatau tergolek pasrah di lorong-lorong seperti El, Luna, dan Ken saat ini. Alzinda sesekali mengintip jalannya rapat lewat celah yang memungkinkan, mengkhawatirkan hasil laporan belajarnya.

"Ah, aku ini punya radar pendeteksi eksistensi El radius sepuluh meter, Lun. Aku juga sedang nonton SAO, tadi. Tapi karena radarnya menyala, aku langsung kabur ke warung Mang Dod," jelas Ken, tak lupa dengan cengiran lebar dan ibu jarinya yang teracung.

"Lain kali, bilang-bilang, dong. Biar kita melarikan diri bareng-bareng. Tadi cuma aku yang diseret genderuwo. Ken licik!"

"Ssshh," desis Ken, menodongkan telunjuknya di depan bibir Luna. "Ada yang lebih penting dari itu. Lunajis! Alat time travel katamu itu sukses besar, ya? Kalau saja aku tak tahu, mungkin sewaktu pengumuman tadi, aku sudah jantungan gara-gara dengar Luna ranking pertama, paralel! Mau! Aku mau juga! Malam sebelum ujian, kirim dulu jawabannya, misal. Ya, ya, ya? Yeay! Sekarang, ayo traktir!"

Rentetan kalimat Ken yang tidak diberi jeda itu membuat Luna tak tahan untuk menjejalkan Ken ke dalam alat penggiling cakwe raksasa. Kabar baik, di waktu yang sama, pintu kelas terbuka. Beberapa wali siswa mulai keluar satu per satu. Rapatnya selesai. Seorang wanita berusia kepala empat yang masih terlihat muda dengan balutan atasan batik sederhana, berjalan menghampiri ketiganya. Itu Lea, bundanya Ken. Tanpa disadari, telinga Ken sudah ditarik kencang. Lorong kelas dipenuhi jeritannya.

Lea tersenyum ke arah El dan Luna. "Mohon maaf, tapi biar anak tidak tahu diri ini Bunda urus lebih dulu. Bunda sudah bilang akan pulang duluan, pada mama kalian." Kemudian, Lea berfokus pada anaknya yang meringis dan bertingkah layaknya korban penganiayaan. Leah mendengkus. "Jangan harap kau bisa nonton anime, hari ini. Ayo, pulang cepat dengan Bunda!"

Langkah ibu-anak itu menjauh. Luna berjengit ngeri membayangkan adanya siraman rohani di rumah Ken selama tujuh hari tujuh malam. Mampus! Tak lama, Sarah dan Rena menyapa keduanya. Benar, mamanya El dan Luna.

Dengan wajah sok bangga, Luna berterima kasih karena dipuji kedua emak sekaligus. Luna meminta Rena pulang duluan, karena Luna harus mengunduh stok anime dengan WiFi sekolah terlebih dahulu. Sarah meminta El tetap di sini juga, mengingat Luna sering menumpang motornya. Sarah dan Rena sepakat untuk mengunjungi Bakso Adis yang letaknya tak jauh dari sekolah. Sementara itu, Luna mulai bergerak menuju ruang inspirasi.

Begitu Luna masih mencari spot terbaik, El yang baru menuruni tangga berdeham keras. "Kau senang, menang dengan cara busuk seperti itu?"

Gerakan Luna terhenti seketika. Netra cokelat terangnya balas menatap El yang menghujami Luna dengan tatapan menusuk. "Apa maksudmu?"

"Aku tahu kau memutar ulang waktu berkali-kali. Kau mengubah alur kisah, membelokkan jalan cerita. Tapi tidakkah kau berpikir, bagaimana dengan keadaan orang lain, saat kau merombak beberapa hal di masa lalu? Termasuk UTS ini. Kau membunuh setiap usaha yang orang lakukan. Setidaknya, jika memang otakmu kosong, ya kosong saja. Tidak perlu sok merasa punya peringkat tinggi. Posisi itu ... bukan untukmu."

"Kau menuduhku curang? Atas dasar apa? Kau bahkan tak memiliki bukti."

El menjejalkan kedua tangan ke dalam saku seragam celananya. Tatapannya masih sama, seakan menikam Luna tanpa ampun. "Kau akan menyesalinya. Kau akan dijadikan sebagai idola yang palsu. Dan kau tidak bisa apa-apa di saat orang lain menanyakan pelajaran, atau mendaftarkanmu dalam kompetisi akademis."

Keki, Luna menarik kedua sudut bibirnya ke bawah. "Siapa bilang? Persis seperti hipotesismu di awal, aku memiliki alat time travel. Apa susahnya? Aku bisa mengendalikan banyak hal."

"Kau terlalu ketergantungan pada alat itu. Kau tahu? Aku menganggap otakmu dangkal, sebelumnya. Ternyata itu keliru. Jika komposisi otak disimbolkan sebagai kedalaman sebuah sungai, kau bahkan tak memiliki airnya sama sekali. Bukan dangkal lagi, kau benar-benar kering. Aku bahkan meragukan eksistensi otak di kepalamu. Tapi tak apa, aku punya penawaran yang cukup bagus. Di saat otakmu tak begitu bisa diharapkan, setidaknya belajarlah menghargai orang lain, buka mata pada kondisi di sekitarmu. Itu jauh lebih membanggakan."

• • •

Nahloh, kena semprot El.
Betewe tadi kepencet langsung publish, padahal masih anu-in italic😭🤲

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro