Aku, Hujan.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku Raina Putri Bening.

Raina karena Bunda suka hujan, Putri karena aku perempuan, dan Bening agar hatiku bening atau jernih sebersih air. Jadilah aku seorang gadis pecinta hujan yang memiliki hati bersih. Itu jawaban Buya setiap kali aku bertanya tentang arti namaku.

Bunda memang pecinta hujan, namun aku yang memiliki nama Rain justru tidak. Bukan berarti membenci, aku biasa-biasa saja dengan hujan. Tidak semaniak Bunda yang setiap kali turun hujan selalu keluar rumah untuk menikmati rintik yang kata beliau rahmat itu.

Orang-orang memanggilku Ning Rain. Iya, aku seorang putri kyai. Aku tidak sedang menyombongkan diri. Untuk apa menyombongkan diri? Title itu justru mempersempit ruang gerakku, membuat gadis tak bisa diam sepertiku dipaksa menjadi sosok lemah lembut.

Lalu, mengapa namaku tak ada bau-bau bahasa Arab sedikit pun seperti nama putri-putri kyai pada umumnya? Kata Buya, tak harus berbahasa Arab. Selama nama itu memang telah jelas kebaikannya, maka mengapa tidak? Toh di Indonesia, se-Arab apapun namanya tetap akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bukan? Dan aku tak mau ambil pusing dengan permasalahan nama, aku baik-baik saja dengan namaku, aku menyukainya. Jadilah putri sulung Buya bernama Raina Putri Bening dan putri bungsunya bernama Rembulan Embun Suci.

“Kamu mau tes UM-PTKIN di Universitas Islam Negeri Surabaya, kan? Sekalian cari tempat tinggal aja. Jadi, mau dimana? Asrama kampus, ngekost atau pesantren?” Itu suara Buya. Beliau menghampiriku yang sedang duduk santai dengan membawa sebuah kitab kuning tebal. Usai mengajar Madrasah Diniyah, sepertinya.

“UM di UIN Surabaya? Tapi Rain gak daftar disana, Buya. Rain malah gak daftar kuliah dimana pun.” Aku menatap Buya linglung. Seingatku, aku masih saja tak minat untuk menjadi mahasiswi. Maka dari itu, aku sengaja tak mendaftar kuliah kemana pun.

“Aga bilang ke Buya kalo kamu ambil jalur UM-PTKIN di sana. Dia bilang besok tesnya.” Buya duduk di sampingku setelah meletakkan kitab tebalnya di atas meja.

“Pasti Kak Aga yang daftarin ini sih. Ish, Kak Aga nyebelin. Padahal Rain kan gak minat jadi mahasiswa, Buya.” Aku mendengkus sebal.

“Bunda yang nyuruh Aga daftarin kamu kuliah. Kalo gak mau kuliah, kamu mau ngapain? Diem aja di rumah? Bantu Bunda ama Buya ngajar di pesantren? Kerja juga gak ada yang mau nerima kalo kamu cuma bawa ijazah Aliyah, Rain. Katanya gak mau ngapa-ngapain pake jalur nasab?” Itu suara sang Ratu, Bunda Rumaisha tercinta. Ucapan Bunda selalu berhasil membuatku terbungkam, kalimat Bunda benar.

“Atau mau ambil UM-PTKIN di UIN Malang? Tapi, Buya yakin kamu gak bakal mau. Mana mungkin mau hidup satu kota sama Buya, Aliyah aja sengaja kabur sampek Kudus.”

Buya benar, aku tak mungkin mau hidup satu kota dengan beliau, menyusahkan. Aku harus menjaga tingkah, berlemah lembut, menjaga ucapan dan segala hal merepotkan lainnya. Sikap yang baik memang, tapi itu bukan sifat asliku. Dan sayangnya, aku tak suka menjadi orang yang munafik. Buya dan Bunda paham jika gadis sulungnya ini tak memiliki bakat sama sekali untuk berlemah lembut. Dan beliau berdua tak ada yang mempermasalahkannya. Beliau hanya berpesan, setidaknya aku harus tetap menjaga sopan santun. Jika masalah sopan santun, tentu saja aku juaranya. Sopan santun itu wajib menurutku.

“Rain gak mungkin kuliah di Malang lah, Buya.” Aku menolak mentah-mentah alasan Buya.

“Oke, Rain mau tes di Surabaya, tapi kan belum tentu diterima, Buya. Ngapain cari tempat tinggal sekarang?” Akhirnya aku mengambil keputusan. Baiklah, Bunda benar. Aku tak mungkin betah menjadi pengangguran di rumah ini.

Ana ‘inda dzonni ‘abdi. Aku sesuai prasangka hambaku, begitu kata Allah. Buya yakin kamu diterima, kamu juga harus yakin.” Buya memberiku petuah, membimbing hatiku agar memiliki rasa yakin.

“Ya udah kalo gitu. Rain mau tinggal di pesantren lagi aja, tapi yang daftarin Kak Aga. Kayak pas di Kudus, Bunda sama Buya tetep gak boleh nengokin Rain. Kalo kangen telepon aja, ntar Rain yang pulang.” Aku mengajukan persyaratan. Aku tak suka Buya dan Bunda mengunjungiku, selalu menimbulkan keriuhan. Lebih baik tak ada yang tau jika aku adalah putri dari beliau berdua.

“Kamu mau ngrepotin Aga lagi? Selama mondok di Kudus aja udah sering ngrepotin Aga buat antar jemput kamu. Aga juga punya kerjaan, Rain. Biar Bunda sama Buya aja yang nengokin kamu, kamu kalo mau pulang ribet.” Bunda meninggalkan kesibukan merajutnya dan menghampiriku.

“Nih ya, Bunda. Pertama, Kak Aga gak ngerasa direpotin. Dia malah seneng, katanya bisa sekalian jalan-jalan. Kedua, sekarang kan Rain mau kuliah di Surabaya, gak sejauh Kudus. Rain bisa pulang sendiri naik bis, gak perlu ngrepotin Kak Aga.” Aku mengajukan pembelaan.

Kak Aga adalah santri yang paling Buya percayai. Eh, bukan santri lagi, Kak Aga sekarang sudah menjadi ustad, membantu Buya mengajarkan beberapa kitab kuning pada santri. Kak Aga cerdas dan baik hati, ia sudah seperti abangku sendiri. Mengantar jemputku kemana pun, mendengarkan keluh kesahku, memenuhi seluruh keinginanku dan selalu memahamiku. Buya dan Bunda juga menganggap Kak Aga seperti putranya, beliau berdua mempercayakan aku dan Bulan –adikku- pada lelaki itu.

Kak Aga ikut Buya sejak aku kecil, ia sudah remaja saat itu. Kata Buya, dulu lelaki itu tiba-tiba datang ke pesantren seorang diri dan mengatakan ingin menuntut ilmu disini. Buya menerima Kak Aga, membiayai seluruh kehidupan Kak Aga layaknya putranya. Maklum, Buya dan Bunda tak punya anak lelaki. Kak Aga pintar dan selalu mendapatkan beasiswa ketika sekolah, ia tak mau terlalu merepotkan Buya. Padahal, Buya sama sekali tak merasa direpotkan.

Sama sepertiku, Buya juga tak tau latar belakang keluarga Kak Aga. Kami tak pernah mempermasalahkannya, Kak Aga adalah bagian dari keluarga kami.

“Aga sedang berkonsentrasi dengan beasiswa S2nya, Rain. Biarkan dia fokus, jangan ganggu dengan keinginan kamu yang sering tak masuk akal itu.” Aku mengerjapkan mata mendengar suara Bunda. Terlalu lama membayangkan Kak Aga membuatku lupa jika aku sedang melakukan negosiasi dengan Bunda dan Buya.

“Ya Allah, Bunda. Kapan sih Rain gangguin Kak Aga? Rain udah bilang mau pulang-pergi Surabaya-Malang sendiri kalo udah kuliah, kan?” Aku memajukan bibir, tak suka dengan tuduhan Bunda.

“Tadi siapa yang bilang biar Kak Aga aja yang daftarin ke pesantren? Udah, biar Bunda sama Buya aja yang daftarin.” Bunda masih keukeuh menyalahkanku.

No, Bunda. Sekali ini aja, terakhir kali Rain ngrepotin Kak Aga.” Aku memohon dengan sebuah janji. Aku paham jika tak akan pernah mampu menepati janji itu. Mana bisa aku tak merepotkan Kak Aga? Sekecil apapun masalahku, selalu Kak Aga yang menyelesaikan. Aku sudah terbiasa seperti itu sejak kecil, dan aneh rasanya jika tak melibatkan Kak Aga pada segala sesuatu dalam hidupku. Namun kali ini, aku harus berpura-pura membujuk Bunda. Oh ayolah, mendaftar pesantren bersama Bunda Rumaisha dan Buya Rasyid bukanlah hal yang menyenangkan.

“Baiklah, sekali ini saja. Setelah kamu resmi menjadi mahasiswi, jangan pernah lagi merepotkan Aga. Sedekat apapun kita dengan Aga, dia tetap orang lain, Rain. Dan jangan suka merepotkan orang lain.” Bunda mengultimatum.

“Iya, Bunda. Rain ingat.” Aku menjawab malas.

Bunda sering sekali mengingatkan hal satu itu, terlebih saat aku mulai memasuki bangku putih abu-abu dan mendapatkan menstruasi pertama. Aku paham, sedekat apapun keluargaku dan Kak Aga, wudhuku tetap batal jika kulitku bersentuhan dengannya. Aku dan dia, bukan mahrom.

“Ya sudah, apa pun yang bagi kamu baik, selama tidak melanggar norma dan agama, Buya dukung. Sudah malam, ayo istirahat. Besok kamu siap-siap ke Surabaya.” Buya mengusap lembut rambutku sembari berdiri, beliau masuk ke kamar setelah itu. Aku mengangguk sembari tersenyum.

Baiklah, aku Raina Putri Bening. Dan sebentar lagi, aku menjadi mahasiswi. Aku yakin akan ada banyak cerita baru dalam kehidupan baruku nantinya. Dan ini, seluruh ceritaku.

*****
~💗Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar.💗~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro