Dewa Bertemu Hujan di Telaga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Pak Aga......” Beberapa anak kecil menghambur ke dalam pelukan Kak Aga, mereka terlihat ceria. Aku mematung takjub. Bocah-bocah kecil itu terlihat bahagia sekali dengan kehadiran Kak Aga.

“Raisa kira Pak Aga gak ikut piknik, kan Raisa udah sedih.” Seorang gadis kecil yang terbalut jilbab mungil tersenyum lebar ke arah Kak Aga. Kak Aga terkekeh ringan, kemudian mengusap kepala anak itu sayang.

“Pak Aga nungguin dua kakak cantik ini dulu, makanya terlambat. Pak Aga dimaafkan?” Kak Aga memasang ekspresi memohon yang terlihat lucu usai menunjukku dan Bulan, aku dan Bulan terkekeh melihatnya.

“Dimaafkannn.....” Para bocah mungil itu serentak berteriak, dan lagi-lagi memeluk Kak Aga. Kak Aga sibuk membalas pelukan anak-anak tanpa dosa itu, mengabaikan aku dan Bulan yang tengah tersenyum menikmati pemandangan di hadapan kami.

“Kakak cantik, namanya siapa?” Aku mengerjapkan mata ketika seorang lelaki kecil menghampiriku dan Bulan, matanya mengerjab lucu menatap kami.

“Kakak Rain, yang ini Kak Bulan. Adek ganteng siapa namanya?” Aku menyejajarkan tubuh ke arah bocah tampan itu, mengusap kepalanya.

“Rahman, Kak.” Dia tersenyum lebar, memamerkan beberapa gigi depannya yang tanggal. Aku dan Bulan serentak tertawa.

“Rahman kelas berapa?” Aku masih menunduk menyejajarkan tubuh, kali ini Bulan mengikuti gerakanku.

“Kelas dua, sudah besar kan? Sudah punya adik satu di rumah.” Lelaki kecil itu semangat menjawab.

“Wah, iya. Mas Rahman jadinya. Sudah besar adiknya yang di rumah?” Kali ini aku duduk, mengajak salah satu murid Kak Aga itu untuk ikut mengambil tempat di sebelahku.

“Baru keluar dari perut Mama kemarin, tadi pagi di bawa pulang ke rumah. Adiknya cantik.” Oh, dia kakak baru rupanya.

“Mas Rahman suka punya adik?” Aku tersenyum menatapnya.

“Suka, suka sekali.” Dia bersorak riang. 
Mendengar sorakannya, beberapa bocah ikut mendekat. Bocah-bocah itu mengambil posisi mengelilingiku. Aku senang menatap mereka, wajah-wajah polos tanpa dosa.

“Kakak siapanya Pak Aga?” Seorang gadis cantik menatapku dan Bulan secara bergantian.

“Kami adiknya Pak Aga.” Bulan membuka suara dengan senyuman. Semoga efek datang bulan pertamanya telah hilang, minimal berkurang.

Kak Aga terlihat mendekat, menghampiri kami.

“Gak ada yang mau main air? Airnya seger loh.” Pertanyaan Kak Aga kontan membuat seluruh bocah yang mengelilingiku berhamburan, mereka serentak berlari bahagia menuju sumber air.

Oh ya, kami sedang berada di sebuah air terjun, mengawani siswa-siswa dari sekolah tempat Kak Aga mengajar yang sedang mengadakan refreshing usai ujian akhir. Aku menyukai seluruh pemandangan alam, sungai, gunung, air terjun, bukit dan seluruhnya. Hanya saja di sini, aku seperti menemukan sesuatu yang berbeda. Kak Aga dan siswa-siswa menciptakan atmosfer yang berbeda. Keriangan bocah-bocah itu, pancaran sayang dari mata mereka untuk Kak Aga, dan sejuknya suasana air terjun menjadi kolaborasi yang sempurna membuat aku nyaman. Aku bahagia.

“Gak mau ikut main air juga?” Suara Kak Aga membuyarkan tatapan syahduku menatap anak-anak yang sedang bermain air.

“Bulan gak mau, Ning Rain juga gak boleh ikutan main air. Ning Rain harus nemenin Bulan duduk disini.” Bulan menjawab cepat, wajahnya kembali cemberut. Mungkin perutnya masih tak nyaman.

“Iya, Ning Rain di sini. Lagian Ning kan juga gak bawa baju ganti. Kak Aga sih ditanyain mau ngajak kemana gak ngomong.” Aku menatap Kak Aga sejenak, kemudian memutar mata jengah.

“Iya maaf, tapi suka kan?” Kak Aga terkekeh.

“Suka sih. Apalagi liat anak-anak pada meluk-meluk Kakak tadi, Kakak jadi artis di sini.” Aku tertawa pelan, Bulan tersenyum samar dan Kak Aga lagi-lagi terkekeh.

“Kemarin sama temen-temen kamu itu main kemana aja? Muterin Malang?” Kak Aga duduk di sebelahku setelah mengambil jarak. Ia justru menemaniku dan Bulan di tepian air terjun, tak ikut bereuforia dengan air bersama siswa-siswanya.

“Banyak sih, ke air terjun juga kok. Laila, Fina, Mita ama Ima senengnya gak ketulungan.” Aku menjawab sembari menatap kerumunan anak-anak di bawah guyuran air.

“Mereka biasa aja kan ke kamu? Gak sungkan-sungkan gimana gitu?” Kak Aga mengikuti arah tatapku, memandang anak-anak.

“Kan aku udah semaleman kasih mereka wejangan supaya mereka nganggep aku biasa aja, gak perlu sungkan. Ama temen sendiri juga.”

“Alhamdulillah kalo gitu.” Kak Aga terlihat lega mendengar jawabanku.

“Eh, itu orang yang ngobrol ama Kak Aga waktu dafatarin Ning Rain ke pesantren, bukan?” Suara Bulan membuat aku dan Kak Aga spontan menoleh, menatap arah telunjuk Bulan.

Aku terkesiap. Mendadak jantungku berdesir pelan, ada hangat yang sedikit menyusup. Mengapa lelaki yang selalu berhasil membuat jantungku berdebar itu ada dimana-mana?

“Eh, Dewa. Sebentar kakak kesana ya, nyapa bentar.” Kak Aga bangkit dari duduknya, aku dan Bulan hanya mengangguk.

Dari kejauhan, aku bisa melihat Kak Aga menyapa Gus Dewa dengan ekspresi riang. Ia mengarahkan telunjuknya ke arah aku dan Bulan, lalu berjalan menghampiri kami. Tentu saja dengan Gus Dewa yang mengekor di belakangnya.

Aku menunduk begitu merasai langkah mereka semakin dekat. Entahlah, hatiku rasanya tak karuan, antara senang dengan keberadaan Gus Dewa di sekitarku dan gugup karena kehadiran  putra Abah Yai yang suka sekali menyapaku itu.

“Assalamualaikum, Bening. Apa kabar?” Suara Gus Dewa. Aku tetap menunduk, enggan menatapnya.

“Waalaikumsalam, Gus. Baik, alhamdulillah.” Aku menjawab lirih.

“Bagaimana liburannya? Udah kemana aja?” Gus Dewa membuka obrolan. Sungguh, aku ingin menanggapinya dengan baik, mengobrolkan banyak hal. Namun, lidahku kelu, suaraku entah menghilang kemana.

“Baru keliling Malang aja.” Aku menjawab singkat. Benar-benar tak nyaman dengan pertemuan mendadak ini.

“Pak Aga, ayo temani Rahman main air.” Rahman, lelaki mungil tadi mendekati Kak Aga kemudian menyeretnya menuju air. Kak Aga melambaikan tangan ke arahku dan Bulan, memberi isyarat berpamitan. Kami berdua mengangguk.

“Gak berminat liburan di Surabaya? Aku bisa jadi guide yang baik.” Gus Dewa kembali bersuara setelah Kak Aga pergi. Putra Abah Yai itu sengaja mengajakku mengobrol rupanya, ia terlihat mencari-cari pembicaraan.

“Kapan-kapan aja, Gus.” Aku masih menunduk, enggan menatap Gus Dewa yang mungkin sedang tersenyum.

“Hai, adeknya Bening ya?” Kali ini fokus Gus Dewa beralih ke Bulan. Sepertinya lelaki itu lelah mengajakku berbasa-basi. Aku memang tak bisa bersikap biasa aja pada satu orang itu. Entah karena apa, aku juga tak tau. Salahkan saja hatiku yang tak bisa biasa saja.

“Iya, Gus. Aku Bulan.” Bulan terlihat sumringah mengenalkan diri. Dasar anak itu, kemana sakit perutnya saat ini? Kenapa ia mendadak riang usai bertemu Gus Dewa?

“Salam kenal, Bulan. Oh ya, jangan panggil Gus. Panggil Abang aja.” Gus Dewa menyahut perkenalan Bulan dengan sama sumringahnya. Baiklah, aku tak berhak ikut campur dengan sesi taaruf mereka.

“Kenapa harus panggil Abang? Ning Bening manggilnya Gus?” Bulan dan sifat polosnya yang khas. Ah, bukankah ia baru saja mendapatkan datang bulan pertamanya? Kenapa tak juga muncul kedewasaan dalam pemikirannya? Aku menghembuskan nafas kesal. Untunglah anak itu memanggilku Bening, bukan Rain. Setidaknya kadar kesalku sedikit berkurang.

“Ya siapa tau Abang bakal jadi Abangnya Bulan, suatu hari nanti.” Ya Allah, apa yang sedang diucapkan oleh putra Abah Yai itu. Ia selalu berhasil membuat jantungku berdetak di luar batas normal. Aku memalingkan muka menatap Kak Aga yang sedang riang bermain air, berpura-pura tak mendengar obrolan dua orang di sebelahku.

“Jadi Abangnya Bulan? Kayak Kak Aga gitu?” Lagi-lagi Bulan dan pertanyaan polosnya.

“Bukan, kalo Kak Aga kan Kakaknya Bulan dan Ning Bening. Kalo Bang Dewa jadi Abangnya Bulan aja, Ning Bening gak termasuk.”

“Uhukk... uhukk.” Astaghfirullah, mengapa mendadak aku tersedak ludahku sendiri?

“Eh, Bening. Kamu gakpapa?” Gus Dewa menoleh ke arahku.

“Ning Bening kenapa?” Bulan ikut menatapku.

“Eh, aku gakpapa. Aku kesana dulu nyusulin Kak Aga sama anak-anak. Bulan kalo gak mau ikutan di sini aja ama Gus Dewa ya.” Aku berdiri dan bergegas pergi dari sisi Gus Dewa dan Bulan. Biar saja mereka menatapku heran. Aku tak lagi peduli pada tatapan dua orang itu. Jantungku yang sedang berdetak di atas batas normal inilah yang perlu kupedulikan.

Gus Dewa dan sejuta pesonanya yang tak pernah bisa kutolak. Menyadari bahwa ia ada di sekelilingku saja, sudah cukup membuat jantungku berdebar hebat. Apalagi mendengar obrolan-obrolannya dengan Bulan seperti tadi. Aku benar-benar harus menghindarinya untuk kesehatan jantungku.

Dan detik ini kusadari, nama Gus Dewa sudah masuk terlalu jauh dalam hatiku.

Kak Aga, adikmu ini harus bagaimana jika jatuh hati bukan pada waktunya?

*****
Hai, assalamualaikum.  Oh ya nih, Naya punya yang baru loh.
Sembari nungguin Nisa-Ilham naik cetak, trus Rain-Aga diselesaikan, sini kenalan ama Nayla. Siapa tau cinta 😅.

Kemarin Naya habis vote di IG dan WA, Banyak yang pilih Labirin Cinta Milik Nayla.  Jadi, Kanta Renjana pending dulu ya, gak tau up kapan.
Selamat menikmati 😘.
Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💖.







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro