Bab 27 Arti dari Sebuah Pelukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aroma obatan-obatan dan tempat yang didominasi oleh orang-orang yang mengenakan jas putih, membuat Dewi menjadi agak tenang. Kini mereka sudah tiba di rumah sakit.

Dewi turun dari motor, ia tadi dibonceng oleh Dewa. Karena saat Dewi memaksa untuk menemani Prima saat di bawa ke mobil ambulans, Dewa mencegahnya, mental Dewi sedang tidak baik-baik saja, alhasil Edward lah yang menemani gadis Jambi itu.

Rasa khawatir itu sedikit sirna saat mengetahui bahwa Dewi baik-baik saja, namun saat Dewi berada di boncengannya tadi, ia melihat ada bekas ikatan yang memerah dan beberapa ada gorengan kecil pada tangan gadis itu. Perasaan Khawatirnya kembali memuncak.

Dewi baru saja hendak ikut mendorong ranjang dorong Prima ketika sudah dikeluarkan dari ambulans, tapi tangannya di tahan oleh seseorang.

Dewi memandang ke arah Dewa dengan bingung.

"Lo juga harus diobati," ucap Dewa kembali melihat dengan jelas luka gores pada kedua lengan Dewi.

"Gue gapapa kok, Prima harus segera ditangani." Dewi hendak berlari mengikuti ranjang dorong Prima yang dimana ada beberapa suster dan Edward tentunya yang juga ikut mendorong ranjang itu, agar segera sampai di ruang UGD dan cepat diperiksa.

Lagi-lagi langkah Dewi terhenti, Dewa memegang lengannya tanpa menyentuh luka yang ada, hingga saat pemuda itu menyentuh sedikit, Dewi meringis.

"Lo harus diobati terlebih dahulu." Tanpa bantahan Dewa menarik Dewi menuju suster yang bertugas, dari apapun gadis ini harus baik-baik aja, tanpa ada satupun luka.

"Tapi..."

"Prima bakalan baik aja-aja, Edward ada disana, jadi tenang aja okey?" Dewa memandang ke arah Dewi dengan tatapan yang lembut, untuk memberitahukan pada Dewi bahwa ia sangat khawatir gadis ini kenapa-napa, tak bisakah Dewi peka akan hal itu?

Usai Shinta dan anggotanya di bawa menuju kantor polisi, Dewa melihat kamera yang retak disana, atau bahkan hancur. Dewa pernah melihat kamera itu saat Makrab Cinema, itu adalah kemera Dewi, dan melihat itu hancur Dewa sangat tau betapa hancurnya Dewi.

Ketika Dewi sibuk dengan Prima, Dewa mengambil kamera itu dan tanpa sepengetahuan Dewi ia memasukkan kamera itu ke dalam Jok motornya. Jadi walaupun sekarang Dewi terlihat baik-baik saja, Dewa sangat tau bahwa ada luka yang ternganga di dalam sana.

Dewi pasrah saja saat suster datang mengobatinya, pikirannya kini hanya fokus ke Prima, luka pada pergelangan tangannya tak seberapa dibanding rasa khawatirnya terhadap Prima.

Dewa menggosok punggung Dewi perlahan dan merangkul bahu gadis itu secara pelan, ia tau Dewi belum sadar sekarang tentang kameranya itu. Tapi Dewa salah, ia sungguh salah.

Tes

"Eh."

Air mata itu menetes saat suster hampir selesai memperban kedua pergelangan tangan Dewi, lukanya tak bisa dibiarkan begitu saja jika tidak di bungkus. Suster yang mengobati Dewi agak terkejut saat melihat Dewi menangis, begitu pula Dewa. Karena saat ia mengobati lukanya tadi Dewi tak pernah merintih sekalipun.

Tes

Suster sudah selesai dengan luka Dewi, ia beranjak pergi. Namun suster tak pernah bisa mengobati luka di dalam hati Dewi yang menganga.

"Sakit."

"Sakit sekali."

Dewi terus saja menangis, kepalanya menunduk, kameranya sudah hancur sudah, padahal disana ada banyak sekali kenangan di dalamnya.

Dewi terus saja menangis, bahunya bergetar dan tanpa bisa menolak Dewa merangkum Dewi dalam pelukannya.

"Menangislah, katakan itu sakit. Katakan semua yang ada di hati, karena jika tidak berbicara luka itu akan semakin menganga."

Dewa mencoba menenangkan Dewi, kini mereka berada di salah satu ranjang yang ada di bangsal rumah sakit, sungguh biarlah Dewi menangis kini. Karena Dewa bisa merangkum gadis itu dalam pelukannya, biarlah bajunya basah karena tangisan gadis itu, asal setelah ini Dewi baik-baik saja.

Dewi mencengkram ujung kaos Dewa, kepalanya serasa mau pecah, hatinya juga rasanya sakit sekali. Bagiamana ini, ia berada di rumah sakit, tetapi lukanya masih sakit.

Dewi terus saja menangis hingga puas, berada di pelukan begini dan tak ada satupun orang yang bisa melihatnya menangis, membuat Dewi agak tenang. Karena sebuah pelukan adalah obat dari segalanya bukan?

***

Aroma obat-obatan masih saja pekat, orang yang hilir mudik kesana kemari dan keluar masuknya pasien, membuat keadaan di bangsal rumah sakit menjadi ramai.

Prima sudah sadar, setelah diperiksa di ruang UGD dan bahunya diobati dengan perban yang terpasang di bahu gadis itu. Beruntung tusukan pakunya tidak terlalu dalam, dan hanya ada beberapa jahitan saja serta tak bisa disebut juga Prima kekurangan darah karena ini, gadis itu hanya memiliki ketakutan pada darah, hingga saat melihat darah yang merembes dari bahunya ia mulai kehilangan kesadaran.

Kini hanya ada mereka berdua, hanya ada Dewi dan juga Prima yang terbaring lemah di ranjang, ia masih belum boleh pulang terlebih dahulu, jika kondisinya jauh lebih membaik Prima dibolehkan untuk pulang esok harinya.

Dewa dan Edward memberikan space untuk Dewi dan Prima untuk berbicara saat Dewi meminta. Setelah Dewi menangis dipelukannya Dewa merasa agak tenang, khawatir sedari tadi hilang seketika. Semoga apapun yang ia katakan pada Prima bisa membuat Dewi lebih baik.

Kembali pada keadaan Dewi dan Prima, sedari tadi Dewi terus saja menduduk di pinggir ranjang Prima dengan duduk di satu kursi yang ada disana, kedua tangan Dewi meremas pinggiran celananya, Dewi sangat merasa bersalah atas apa yang menimpa Prima.

"Kamu gapapa?" tanya Prima lemah, ia tak suka kesunyian ini, mengingat Dewi tak kunjung suara maka ia harus berbicara.

Tes

Air mata itu menetes lagi, Dewi menyeka air matanya dengan cepat.

"Maaf Prim, maaf ini salah gue," lirih Dewi, sungguh tak berani menatap mata Prima.

"Harus lo gak usah datang, gak usah berdiri di depan gue, harusnya biar gue aja yang luka, jangan lo." Dewi terus saja menyalahi dirinya.

Prima memegang tangan Dewi yang sudah berada di pinggir ranjang, Dewi mengangkat kepalanya dengan air mata yang masih mengalir.

"Aku gapapa kok, ini cuma luka kecil, nanti juga sembuh. Aku bersyukur kamu baik-baik aja, karena dibading itu semua, kamu lebih penting dari segalanya, Wi. Karena kamu temanku."

Sungguh.

Dewi merasa sangat terenyuh dengan ucapan Prima, kata-kata gadis begitu tulus. Netra yang memburan karena air mata pun dapat meliha bagaimana senyuman tulus yang terukir dari wajah Prima.

Dewi memeluk Prima, berkali-kali mengucapkan maaf dan terima kasih kepada Prima, karena untuk pertama kali dalam seumur hidupnya ia bisa memiliki teman yang tulus berteman dengannya, sekali dalam seumur hidup Dewi tak merasa sendirian lagi.

Prima terkekeh walau ia meringis karena lukanya agak terhimpit oleh Dewi yang memeluknya, namun Prima bisa menahannya, ia membalas pelukan Dewi dengan mengatakan kata gapapa serta sama-sama. Karena selain Dewi yang bersyukur memiliki teman sepertinya, Prima juga sama bersyukurnya memiliki teman seperti Dewi.

Tanpa pernah menyadarinya, Dewi bersikap layaknya seorang Dewi, ia lembut dan sering menolong walau tindakannya sering tak disadari oleh orang, namun Prima menyadari itu, Dewi tetaplah seorang Dewi yang baik hati.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro