Bab 30 Akhir kisah kita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pada suatu momen, kita pasti merasakan waktu seolah berhenti, seolah jarum jam tidak lagi membunyikan detaknya, seolah dada ini pun juga ikut berhenti karena momen itu. Orang-orang akan merasakan waktu berhenti saat perasaan sedih yang tak terkira dan bahagia yang membuncah di dada.

Usai mendengar kalimat yang di bisikkan oleh Dewa, Dewi merasakan perasaannya membuncah seketika. Rasanya ia ingin menangis, ia sungguh tersentuh dengan Kalimat yang Dewa. Mungkin orang-orang pada bilang, apaan karena kata-kata aja bisa luluh, lemah banget. Tapi, tidak bagi Dewi yang memilki love language word affirmation, baginya kata-kata adalah titik kekuatan, kalimat yang di ucapkan oleh dewa bukan hanya sekedar kata-kata, Dewi mendapatkan ketulusan di dalam kalimat itu.

"Hey, kenapa nangis?" Dewa cukup kaget saat melihat Dewi yang mengusap air matanya, segera ia membawa Dewi keluar dari kerumunan, rekan-rekannya yang melihat pun juga ikut kebingungan.
Apakah Dewa terlalu maksa Dewi untuk foto? Ah harusnya Dewa ingat bahwa Dewi tak begitu suka dengan keramaian. Perasaan bersalah mulai menghantui Dewa.

"Duduk dulu." Dewa berhasil keluar dari ruangan pameran dan duduk di salah satu kursi yang ada. Kini tangis Dewi sudah reda, padahal Dewi tak sampai apa banget nangisnya, tapi Dewa sudah panik duluan.

"Mau minum? Gue ambilin ya." Dewa masih dengan wajah paniknya hendak beranjak dari kursi yang ada di samping Dewi.

"Sini aja." Dewi menahan tangan Dewa, sungguh ia tak apa, tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Dewa memandang ke arah Dewi, awalnya ia tetap ingin membeli air mineral untuk Dewi, tapi ia melihat sorot mata gadis itu untuk dirinya jangan pergi, akhirnya Dewa mengalah.

"Maaf," lirih Dewa sangat merasa bersalah, ia sungguh lupa, ia hanya ingin memiliki momen berdua yang diabadikan saja.

Dewi tampak bingung dengan perkataan maaf yang terlontar dari mulut pemuda di hadapannya ini.

"Maaf , harusnya gue gak maksain lo untuk foto walau gue sangat ingin untuk mengabadikan momen kita, maaf gue lupa untuk gak menjadikan Lo pusat perhatian, maaf, Wi." Dewa langsung menunduk setelah mengucapkan kalimat maaf yang panjang itu.

Dewi sungguh terperangah. Sungguh pemuda di hadapannya ini begitu lucu, ingin sekali Dewi bawa pulang ke rumah.

"Hey, gak gitu." Dewi memegang tangan Dewa, membuat pemuda itu mengangkat kepalanya.

"Lo gak salah, gue gapapa. Gue cuma ngerasa tersentuh aja, hati gue kayak nyess gitu saat lo muji gue, padahal lo tau bahwa gue sangat jarang menerima pujian itu selain orang tua gue. Gue sangat berterima kasih atas hal itu, Wa. Maafin gue bikin lo panik."

Mata itu, tatapan mata itu begitu dalam bagi Dewa, ia seperti menemukan danau indah pada mata itu, menemukan segala ketenangan di dalamnya.

Tanpa kata yang terucap, Dewa memeluk Dewi begitu erat. Sungguh ia tak ingin gadis ini terluka lagi, sudah cukup atas selama ini. Melihat bagaimana ucapan Dewi tadi, Dewa seperti merasakan apa yang dirasakan oleh Dewi. Bukan validasi tapi seperti pujian sederhana itu sangat penting bagi seorang Dewi.

Pelukan mereka terlepas, mereka baru sadar bahwa sedari tadi menjadi  pusat perhatian bagi beberapa orang, terutama para anggota cinema, mereka tidak duduk di tempat yang banyak acara tapi bukan tempat yang tertutup juga. Walaupun begitu, tidak ada yang mengusik mereka, kecuali satu orang. Ya siapa lagi si pemuda batak yang satu ini.

"Ehem, ini boleh ku ganggu sebentar?" Edward datang menghampiri Dewa dan Dewi yang sudah melepas pelukan mereka.

"Kenapa?" tanya Dewa. Edward menghampirinya pasti punya sesuatu yang penting.

"Ku ganggu sebentar ya," ucap Edward memandang ke arah Dewi.

"Yaelah, cepetan. Apaan?" Dewa sedikit emosi karena Edward bertele-tele.

"Bah sabar la, ini aku mau bilang sebentar lagi ada pengumuman film pendek itu, gak mau tengok kalian?"

"Iya ini mau lihat," ucap Dewa bangkit dari duduknya diikuti oleh Dewi yang juga ikut berdiri.

"Baik teman-teman, sekarang kita masuk ke acara puncak, hayo ada yang tau apa itu?" Suara pembawa acara kembali menjadi perhatian.

Semua anggota Cinema menunggu momen ini, apalagi sepuluh kelompok yang mengikuti lomba ini dan para tamu yang penasaran membuat MC acara semakin heboh.

"Ayo ayo, ada yang bisa nebak gak?" MC kembali bertanya kepada para hadirin.

"Pengumuman film pendek terbaik, kak!" seru dari beberapa anggota cinema yang berdiri tak jauh dari panggung.

"Nah betul sekali, pada penasaran gak siapa yang pemenangnya?" tanya pembaca acara kepada audiens.

"Ayo ayo, siapa hayo?" Pembawa acara yang satunya juga menanyakan hal yang sama, semakin membuat penasaran.

Dewa, Edward dan juga Dewi sudah berjalan mendekat ke arah panggung. Di sana juga sudah ada prima dan rekan satu kelompoknya yang lain. Mereka menunggu pengumuman itu.

"Wi, sini." Prima melambaikan tangannya saat melihat kedatangan Dewi.

Segera Dewi menghampiri Prima, Edward dan Dewa pun mengikuti langkah gadis itu.

"Bang," sapa Rajendra yang baru juga bergabung ke barisan.

"Oy." Edward langsung merangkul Rajendra dan mereka saling rangkul satu sama lain sebelum pengumuman dibacakan.

"Baik, daripada penasaran, kita langsung bacain aja gak si?"

"Iyoi, Besti!"

Pembawa acara saling heboh, membuat penonton semakin penasaran. Selain kelompok Dewi, kelompok lain juga saling berangkulan, mereka juga menunggu momen ini.

"Oke, pengumuman juara lomba film pendek dengan tema semesta alam raya tahun 2022, juara 3 jatuh kepada...."

Suara musik mengiringi ketegangan.

"Moon and Sun!" Gemuruh menyertai kelompok yang berdiri tak jauh dari kelompok Dewi. Cuplikan dari film kelompok tersebut ditayangkan di proyektor yang ada di samping alat musik.

"Juara kedua jatuh kepada...."

Rangkulan mereka makin mengerat. Rapalan doa terus terucap dalam hati.

"Alam dan semestanya!" Lagi gemuruh dan sorak menyertai kelompok yang tepat di samping Dewi. Mereka saling berpelukan merayakan kemenangan ini. Cuplikan film mereka ditayangkan di proyektor.

Kelompok Dewi menjadi pasrah, mereka tau sebagus apa film dari kelompok alam dan semestanya, mereka mengambil berbagai keindahan Alam di Indonesia, semua mereka rangkap dan unsur cerita yang menarik membuat mereka wajar mendapatkan juara kedua. Dibanding film kelompok Dewi yang hanya mengambil take di pantai terdekat.

"Oke, kita masuk pada juara pertama film pendek tema semesta alam raya tahun 2022, ia adalah...."

Suara musik masih mengiringi ketegangan, walaupun yang lain lebih menarik, kelompok Dewi tak menyerah begitu saja. Meraka masih punya harapan terakhir.

"Pliss satu ya Allah," rapal Prima dengan matanya yang terpejam. Diaminkan oleh semua kelompok.

"Juara pertama film pendek semesta alam raya, tahun 2022! Selamat kepada Jala!"

Hening, semuanya terdiam. Kepala yang menunduk mulai tegak, seperkian detik kemudian riuh.

"Woy menang woy!" seru Rajendra kepada teman-temannya yang ngeblank. Mereka sungguh tak percaya.

Cuplikan film mereka berjudul Jala ditayangkan di layar proyektor. Prima sedari tadi sudah memeluk Dewi dan rekan lain saling berpelukan memberikan selamat.

Euforia kemenangan itu begitu terasa, saat pengambilan piagam dan medali di wakili oleh Rajendra sebagai ketua dalam kelompok ini, dan setelah ia turun panggung barulah mereka melambungkan Rajendra ke udara bersama. Piala itu terbayar semua oleh mereka.

Semua senang, apalagi Dewi yang tak berhenti terkekeh saat Rajendra di lambungkan tinggi-tinggi, dan juga Prima yang terus memegang perutnya karena tertawa melihat ulah temannya.

"Sana dah gas." Edward menyenggol bahu Dewa yang juga ikutan senang akan hal itu.

"Apaan?" tanya Dewa bingung.

"Bah, lupa pulak dia. Itu kotak dalam saku jaket kau itu, mau kau diamin berapa lama?"

"Oh iya." Dewa mengeluarkan kotak warna biru muda yang tersimpan di sakunya sejak tadi.

"Sudah sana, ambil kesempatan. Jangan kau sia-sia 'kan. Kalau jadi, jangan pulak kau lupa kawak kau ini." Edward berbicara sambil mendorong Dewa untuk menghampiri Dewi yang bersama Prima.

Saat Dewa mendekat ke arah Dewi, Edward datang menarik Prima yang masih saja memegangi perutnya karena tertawa.

"Mau kemana?" tanya Prima tersadar bahwa ia diseret oleh Edward.

"Sudah jangan banyak omong, ku culik kau bentar."

Sedangkan Dewi yang bingung karena Prima di tarik oleh Edward, Dewa datang menghampirinya.

"Wi, gue bisa ngomong sebentar?" Ada kegugupan dalam nada bicara Dewa.

"Eh iya boleh, tapi Prima." Dewi masih memandang ke arah hilangnya Prima, ia tak cukup jelas mendengar Prima berbicara apa, tapi yang tertangkap di rungunya hanya kata culik yang samar-samar.

"Dia dibawa Edward bentar, ada urusan katanya," jelas Dewa berbohong, jika tidak seperti itu mungkin Dewa tidak memiliki waktu berdua dengan Dewi.

Dewi tak lagi memikirkan Prima, kini ia melangkah mengikuti jalan Dewa. Entah kemana pemuda ini mengajaknya.

"Kenapa, Wa?" tanya Dewi saat mereka sudah di tempat yang agak sepi. Belakang ruangan pameran yang tampak indah dengan lampu-lampu yang menggantung. Ada beberap kursi yang ada, tapi sudah kosong karena para tamu banyak ke dekat panggung karena adanya acara hiburan.

Dewa menatap Dewi dalam, dan perlahan tangannya mengeluarkan kotak kecil bewarna biru langit dari saku jaketnya setelah sekian lama.

Dewi tampak bingung saat Dewa mengulurkan kotak itu kepadanya.

"Ini apa?"

"Buka."

Dewi membuka kotak itu, dan apa yang ada di dalamnya sungguh membuat Dewi tak bisa berkata-kata.

"Selayaknya ratu, hanya satu yang dipilih dari banyaknya wanita. Begitu pula seorang Dewi, hanya ia yang terpilih yang pantas mendapatkannya. Jadi apa boleh gue jadi Dewa untuk Dewi dalam hidup lo?"

Dewa ia sungguh ajaib, tanpa menunggu waktu lama Dewi mengangguk, dan kalung berliontin kan mahkota itu terpasang cantik di lehernya.

"Makasih, Wi." Dewa memeluk Dewi, gadis ini sudah resmi jadi miliknya.

"Kembali kasih, Wa."

Pada akhirnya hanyalah rasa syukur yang terpatri. Mereka saling berterima kasih karena sudah hadir dan Dewa akan selalu untuk Dewi begitu pula sebaliknya. Mereka menemukan bahagianya.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro