Ini adalah bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Debu lantai begitu menusuk hidung, membuat hidung terasa gatal-gatal, beberapa kaca jendela yang sudah pecah dan tumpukan meja serta kursi yang sudah rusak.

Dewi terus menunduk, dengan tangan  yang terikat dan juga kakinya membuat Dewi menahan air mata sekuat tenaga. Kali ini ia tak boleh tampak lemah, tapi terkadang saat memperlihatkan kekuatan yang sebenarnya, luka yang di dapat makin besar bukan?

Ada lima siswi yang memandang Dewi dalam ruangan itu, semua mata memandangnya dengan kebencian, terutama gadis rambut sebahu yang kertasnya di robek setelah ulangan tadi.

Shinta mendapatkan nilai 0 pada ulangan matematika dan dia tidak bisa mengikuti remidial, itu adalah hukuman yang di berikan oleh pak Mahmud, cukup setimpal dengan kecurangan yang Shinta lakukan.

Shinta masih memandangi Dewi dengan tatapan sengit, keringat membasahi tubuhnya. Setelah pulang sekolah, tanpa basa basi Shinta langsung menyeret Dewi dibantu oleh teman-temannya menuju gudang sekolah.

Membawa Dewi ke gudang sekolah tentu tidak mudah, gadis yang Shinta anggap lugu itu mulai memberikan perlawanan, tapi satu lawan lima, tentu Dewi kalah jumlah.

"Jawab gue, lo sengaja 'kan?" Shinta jongkok di depan Dewi yang meringkuk dengan tangan dan kaki yang terikat.

Dewi tak menjawab, ujung bibirnya sedikit robek karena tamparan Shinta saat ia melawan di bawa gudang tadi, membuat Dewi sedikit meringis saat berbicara.

"Jawab gue," ucap Shinta dingin memegang rahang Dewi dengan tangan kanannya, membuat luka di ujung bibir Dewi semakin perih.

Dewi menggeleng, matanya berkaca-kaca, ia ingin pulang sekarang juga. Dewi takut, Shinta yang ia kenal setahun lalu sungguh berbeda.

"Ngomong!" bentak Shinta kesal.

Bagaimana tidak, kertas yang ditulis Dewi itu buram, ada banyak coretan yang tak Shinta mengerti hingga ia susah untuk menyalin rumus-rumus itu pada kertas ulangannya.

"Gue gak sengaja, gak pernah tau bahwa Pak Mahmud datang lebih cepat, lagi pula lo langsung mengambil kertas itu dari gue tanpa bertanya apakah rumus itu sudah gue tulis semuanya atau tidak," jawab Dewi lirih.

Sungguh ia ingin pulang sekarang, luka ini terlalu perih untuk dibiarkan begitu saja.

"Oh, jadi ini salah gue, gitu?"

"bukan begitu."

"Apa?" ucap Shinta begitu nyolot, "dari dulu, Wi, dari dulu lo gak pernah berubah," lanjut Shinta.

"Sifat lo yang sok lugu, sifat lo yang seolah gak tau apa-apa itu membuat gue muak."

"Lo itu adalah teman yang baik, tapi hanya satu kesalahan lo.

"Mereka sebanding dengan gue, daripada lo si buruk rupa. Liat apa yang lo lakuin waktu kelas sepuluh. Akhirnya apa? Bram jadi milik gue, jadi jangan mimpi untuk ambil Bram dari gue.

"Cih, apaan, nama Dewi tapi muka kayak jin tomang, orang tua lo setres kali.

"Ups, 'kan orang tua lo miskin."

Shinta tertawa dengan teman-temannya, entah apa yang lucu. Malah perkataan itu membuat Dewi begitu sakit hati.

Kali ini tak akan diam, silet yang ia dapat di lantai gudang itu, ia coba untuk memutus tali yang mengikat tangannya. Tanpa sepengetahuan Shinta dan teman-temannya, Dewi terus menyayat tali itu menggunakan silet kecil.

Tes

Tali itu terlepas bertepatan dengan darah dari lengan kiri yang tergores dengan silet.

Shinta menyadari bahwa ikatan tangan Dewi terlepas, cepat ia memegang tangan Dewi untuk menghentikan gerakan gadis itu melepas ikatan kakinya, tapi Dewi lebih cepat, refleks ia menggores silet di tangannya ke arah wajah Shinta membuat luka robekan yang besar pada wajah gadis cantik itu.

"Aaaaaaa!" jeritan Shinta begitu menggelegar di dalam gudang, ia memegang pipi kanannya, darah merembes begitu cepat dari wajah cantik gadis itu.

Semua yang ada di gudang speechless, terutama Dewi, ia memandang ke arah silet dengan bekas darah Shinta di tangannya.

"Habisi dia!" perintah Shinta masih kesakitan memegang wajahnya.

Tiga orang teman Shinta langsung memegang tangan dan Kaki Dewi, dan dua orang lainnya membawa Shinta keluar dari gudang itu menuju tempat apapun itu untuk mengobati luka sayatan itu.

Kali ini tangan dan kaki Dewi diikat lebih kuat, setelah itu ia di tendang di jambak oleh tiga siswi yang Dewi pun tak kenal siapa mereka.

Dewi tak melawan, ia menangis. Semua tubuhnya terasa remuk dan sakit, Dewi hanya menggumamkan nama ibu serta bapaknya.

Dewi hanya merasa bersalah kepada mereka berdua, entah ia akan mati atau tidak hari ini. Ada banyak kata maaf yang ingin ia ucapkan kepada kedua orang berharga itu, dan juga terimakasih sebanyak mungkin kepada mereka yang sudah membesarkan gadis buruk rupa sepertinya ini.

Dewi hanya meringkuk menerima segala macam pukulan dan jambakan, mereka bukan hanya menggunakan kaki atau tangan mereka untuk memukul Dewi, tapi juga kayu kecil yang ada di gudang dengan caci maki yang keluar dari mulut mereka yang tak Dewi kenal sama sekali.

Seketika kenangan beberapa tahun lalu berputar di kepala Dewi, saat Dewi belum mengenal apa itu kata insecure.

"Dewi Fazura Putri adalah anak gadis ibu yang paling cantik, kamu tau Fazura itu artinya biru langit. Kamu tau gak kenapa di namamu ada ibu selipkan warna biru langit?"

"Gak tau, emang kenapa, Bu?"

"Kamu lihat deh langit, kamu tau gak batas langit ini dimana? Sudutnya tau gak dimana?"

Dewi menggeleng, dunia saja tidak ada ujungnya apalagi langit yang hanya kita liat di atas.

"Nah karena langit begitu luas sehingga kita saja tidak tau batasnya, karena dari itu, Ibu ingin Dewi menjadi perempuan yang memiliki ilmu dan iman yang tiada batas. Biru langit juga berarti ketenangan, kedewasaan dan ketulusan.

"Jadi, ibu ingin Dewi menjadi gadis yang selalu tulus, tenang dalam kondisi apapun dan mengejar mimpi Dewi yang tanpa batas itu, karena Dewi adalah Dewi langitnya Ibu."

Ringisan terus keluar dari mulut Dewi, entah berapa banyak lebam pada tubuhnya atau bahkan luka gores. Air matanya terus mengalir, ia hanya ingin berhenti dan pulang.

Ibu...

Bapak...

Sakit...

Tubuh Dewi sakit Bu, karena Dewi gak cantik Dewi dipukuli segininya.

Apa salah Dewi, Bu? apakah menjadi buruk rupa adalah kesalahan?

Apakah memiliki tubuh kecil dari yang lain adalah kesalahan?

Apakah punya jerawat banyak, wajah kusam adalah kesalahan?

Ibu sakit.

Sakit sekali.

Dewi gak kuat.

Tapi Dewi gak mau nanti kalau Dewi pergi ibu bakalan nangis, Dewi gak mau ibu kesepian.

Ibu, Dewi harus gimana?

Mereka terlalu banyak untuk Dewi lawan satu-satu.

Ibu tolong.

Tolong Dewi ibu..

Dewi hanya ingin pulang ke rumah.

Ibu jemput Dewi.

Perlahan mata Dewi terpejam, ia tak sadarkan diri dengan air mata dan luka di tubuhnya.

***

Nb : percayalah di bagian apakah Memiliki tubuh kecil dari yang lain, memilki jerawat dan wajah kusam adalah kesalahan?

Pliss bagian itu aku nangis:(

Apakah kalian sama?

Baru part 2 jadi selamat datang, kalian akan menemukan ketakutan aku (Dewi) atas dirinya sendiri.

See you!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro