05.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malika diskors selama 3 hari karena peristiwa perkelahian tersebut. Tapi ia tak sendirian karena ternyata, Yeri juga mendapatkan hukuman yang sama. Seri.

“Astaga, Ka. Sebenarnya kamu punya masalah apa sih sama Yeri? Kenapa kalian bisa berantem kayak anak kecil begini?” Anna dan Susi sibuk memeriksa luka di wajah Malika yang sudah tertutup plester. Sore itu mereka datang ke rumahnya, sehari setelah keputusan skors dijatuhkan.

“Kamu bahkan diskors selama tiga hari, kan?” Susi memastikan. Malika hanya mengangguk.

“Jika saja aku tahu bahwa aku akan diskors selama tiga hari, seharusnya aku nggak hanya menjambak rambutnya sampai botak, tapi juga mencakar mukanya yang mulus dengan kuku-kukuku yang tajam.” Ia mendesis, jengkel.

Kedua sahabatnya berpandangan.

“Kalian terlibat masalah apa?” Mereka bertanya nyaris bersamaan.

“Dia tahu semuanya, girls,” ujar Malika malas-malasan.

“Tahu apa?”

Malika menarik napas panjang sebelum kembali menjawab.
“Dia tahu semuanya. Dia tahu tentang teror kita ke Moreno, tentang Dewi Cinta, tentang semuanya. Entah dia tahu dari mana tapi semua perbuatan kita udah terbongkar.”

Kedua sahabatnya memekik.
“Kamu yakin?!”

Malika mengangguk. “Kalian pikir aku ribut dengannya untuk apa, huh?” ucapnya kesal.

Susi dan Anna berpandangan dengan gusar.
“Aduh, Ka, kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kunyuk sialan itu tahu rahasia kita. Harusnya kamu cerita dari awal supaya kami bisa bantu ngelabrak biar dia babak belur!” Anna bersungut-sungut.

“Iya, sepertinya ia menguping pembicaraan kami tempo hari. Ah, harusnya kami hajar saja dia saat itu juga,” ucapan Susi setengah berbisik tapi Malika mampu mendengarnya. Serta merta cewek itu menatap kedua sahabatnya dengan heran.

“Menguping pembicaraan kalian bagaimana?” Ia bertanya langsung.

Anna dan Susi tak segera menjawab.
“Waktu itu nggak sengaja kami sedang membicarakan soal Moreno dan terormu. Eh, nggak tahunya dia menguping. Maaf ya, Ka. Kami benar-benar nggak sengaja.” Ucapan Anna terdengar penuh penyesalan.

Malika kembali mendesah mendengar penuturan mereka. “Mampus deh kita,” desisnya.

“Biar kami beri dia pelajaran kalau nanti dia sudah masuk. Kelakuan Yeri emang terkadang menyebalkan. Dan kita nggak boleh tinggal diam,” celetuk Susi. Malika menggeleng pelan.

“Udah deh. Aku mau berhenti. Stop sampai sini aja. Aku nggak mau terlibat urusan lagi dengan Yeri, ataupun dengan Moreno. Please, aku udah cukup patah hati. Dan aku nggak mau  terluka lagi.” Kalimatnya terdengar memelas. Kedua sahabatnya menatap dengan iba.

“Maafkan kami ya. Kami nggak nyangka kalo akan melibatkanmu sejauh ini,” ucap Anna.
“Kami ikut aja keinginanmu. Kalo kamu ingin menghentikannya, oke, kita hentikan aja,” lanjutnya.

Kedua gadis itu bergerak, lalu memeluk Malika secara bersamaan.
“Maaf ya, Ka,” bisik mereka.

~ * ~

Malika menimang-nimang ponsel di tangannya dengan ragu. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan, ini akan menjadi yang terakhir kalinya ia meneror Moreno sebagai Dewi Cinta.

Setelah itu, ia ingin hidup dengan tenang.

~*~

Moreno menatap sederet nomor yang tak ia kenal dilayar ponsel. Ia sempat tersenyum simpul. Dewi Cinta!

"Hallo…"

“Dewi Cinta?” potongnya.

Suara dari seberang sana tertawa.

"Kamu hebat, Sayang. Aku baru bilang halo, kamu langsung tahu itu aku?"

Moreno berdecih. “Kan aku udah bilang, aku udah hafal setiap lekuk dari nada suaramu,” jawabnya.

Dewi Cinta tertawa.

"Maaf, akhir-akhir ini aku sibuk banget hingga nggak sempat menghubungimu. Kamu kangen padaku?"

“Kamu sendiri? Apa kamu kangen padaku?” Moreno balik bertanya cepat.

Sejenak tak ada jawaban.

"Tentu aja aku kangen sama kamu, Sayang. Bagaimana mungkin aku nggak kangen sama pacar sendiri."

“Syukurlah, kupikir kamu udah melupakanku. Kalau gitu, bertemulah denganku.”

" Ups, maaf aku nggak bisa."

“Kenapa? Sampai kapan kita akan terus kucing-kucingan seperti ini?”

Dewi Cinta tertawa.

"Oh, please. Harusnya kamu bahagia karena cewek semacam aku jadi pacarmu. Aku ‘kan baik, aku juga perhatian, oh, iya, buku yang aku kirimkan sudah kamu terima?"

“Ya, dan terima kasih. Besok, apa lagi yang ingin kamu kirimkan?”

"Cintaku."

Moreno kembali tergelak. “Aku nggak butuh cintamu. Aku cuma butuh ... kamu.”

Hening sesaat.

“Nggak berani?” Moreno menantang.

"Well, sepertinya ini akan sulit. Tapi __"

“Kita bertemu, atau ... berhentilah menggangguku.”
Moreno menutup telpon.

Tapi, selang beberapa menit kemudian, sebuah pesan baru masuk. Dari nomor yang kembali tak ia kenali.

:: Bertemulah denganku di kafe Royal, besok sore jam 5 ~ Dewi Cinta.::

Moreno tersenyum sambil menimang-nimang ponsel di tangannya.

~ * ~

Moreno menatap ketiga sahabatnya dengan bergantian.
“Dia mengajakku ketemu nanti sore di Kafe Royal jam 5. Jadi, mulai hari ini, jangan mencari identitasnya lagi. Anggaplah udah selesai.” Ia membuka suara.

“Kamu yakin dia yang akan menemuimu?” tanya Charlie.

“Entahlah, tapi semoga aja dia nggak mempermainkanku lagi.” Jawaban Moreno terdengar tak yakin.

“Haruskah kami ikut denganmu?”

“Buat apa?” Kening Moreno mengernyit.

“Tentu aja untuk memberi sedikit pelajaran pada si Dewi Cinta karena berani menerormu.”

Moreno tertawa.
“Thanks, tapi nggak usah. Yang satu ini, biar aku sendiri yang mengatasinya, oke,” jawabnya kemudian.

~ * ~

Sementara itu di rumah Malika.

Anna dan Susi membuka pintu kamar dengan keras hingga sempat membuat cewek tersebut terlonjak dari tempat tidurnya.

“Astaga, Anna! Susi! Untuk apa kalian siang-siang begini ribut? Aku sedang mau istirahat,” ucap Malika jengkel.

“Tapi ini gawat, Ka!” Anna meluncur ke ranjang Malika.

“Gawat apanya?”

Susi duduk di samping cewek tersebut.
“Apa itu benar bahwa kamu mengajak Moreno bertemu?” Ia bertanya langsung.

Malika melebarkan matanya. “Mengajak bertemu ... siapa?” Ia menatap Susi dengan bingung.

“Moreno!” Susi menjerit.

Malika melongo. Ia menggeleng pasrah.

“Enggak, emangnya kenapa?” Ia kembali bertanya.

“Tuh, kan? Tepat seperti apa yang kami duga,” tukas Anna. Kedua sahabat Malika itu saling berpandangan.

“Kenapa?” Malika tampak bingung.

“Ada orang lain yang menyamar jadi Dewi Cinta.”

“Hah?” Malika ikut menjerit.

“Tadi waktu aku sedang makan berdua dengan Anna, aku ngelihat Moreno dan teman-temannya. Jujur, kami menguping pembicaraan mereka. Dari kesempatan itu, kami bisa tahu sedikit tentang apa yang mereka bicarakan. Katanya, Dewi Cinta mengajak Moreno bertemu. Tapi kami nggak tahu mereka berjanji akan bertemu di mana.”

“Apa!?” Malika menjerit, lagi.
“But, I didn’t do it!” lanjutnya.

“Nah, itu dia. Pasti ada orang lain yang pura-pura menjadi Dewi Cinta.”

“Dan orang itu adalah___”

“Yeri!?”
Mereka berteriak hampir bersamaan.

“Astaga, kunyuk sialan ini memang harus dilempar ke jamban!” Susi bersungut-sungut.

Anna manggut-manggut mengiyakan sahabatnya.

Malika terdiam, tampak bingung. Dan perlahan ia mendesah dan kembali merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.

“Ah, udahlah. Nggak usah ngurusi hal nggak penting seperti ini lagi. Aku nggak peduli sekarang. Moreno, Yeri, hah, terserah. Aku nggak mau terlibat lagi.” Ia mengomel seraya menarik selimut dan menutupi tubuhnya.

“Tapi, Ka, Yeri berpura-pura menjadi Dewi Cinta!” Anna protes.

Malika menyingkap selimutnya lalu memutar bola matanya dengan kesal. “So whaattt?? Apa masalahnya? Dia mengaku jadi Dewi Cinta atau siapa-lah, terserah!” Malika berucap mantap.

“Tapi, Ka, Moreno ‘kan___”

“Aku nggak mau dengar lagi tentang dia. Aku ingin kembali ke kehidupanku yang semula. Tenang, nyaman, damai, sejahtera. Titik.”

Anna dan Susi menatap Malika lekat. Ingin mereka protes dan mendebat Malika, tapi urung mereka lakukan karena mereka tahu bahwa cewek itu sedang sedih dan patah hati. Sama seperti yang mereka alami beberapa waktu yang lalu ketika Moreno juga menolak mereka.

~ * ~


Manik mata Moreno menyapu seluruh ruang rumah makan. Tatapannya   singgah dari satu meja ke meja lain. Dan sesaat kemudian ia melihat seorang cewek cantik berambut panjang yang tengah duduk di meja paling pojok, melambaikan tangan ke arahnya.

“Moreno!” panggil gadis itu.

Sebenarnya Moreno urung melangkah ke arahnya, tapi toh setelah beberapa detik kemudian ia memutuskan untuk menghampirinya.

“Yeri? Sedang apa kamu di sini?” sapanya.

Yeri tersenyum. Ia mempersilakan Moreno duduk. “Duduklah dulu,” ucapnya.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Sedang apa kamu di sini?” Moreno kembali bertanya.
“Ini rumah makan, tentu aja aku ke sini untuk makan. Kamu sendiri?”

“Sama, ini rumah makan, tentu aja aku ke sini untuk makan,” jawab Moreno seraya duduk di kursi yang berada di depan Yeri dengan ogah-ogahan. Dan tatapan matanya kembali menyapu seluruh isi rumah makan.

“Sedang menunggu seseorang?” tanya Yeri sambil tersenyum.

“Begitulah,” jawab Moreno pendek.

“Dewi Cinta, kan?”

Moreno tersentak. Ia menatap Yeri dengan terkejut. “Dari mana kamu tahu?”

Yeri kembali tersenyum. “Karena aku-lah Dewi Cinta,” jawabnya.

Moreno membelalak. “Kamu... Dewi Cinta?”

Yeri mengangguk.

“Ya, akulah Dewi Cinta. Akulah orang yang senantiasa mengganggumu dengan telpon dan juga pesan-pesan singkat itu. Dan akulah orang yang senantiasa mengirimimu benda-benda kesukaanmu,” ucapnya.

Moreno terdiam. Raut mukanya sekarang kembali tenang dan datar.
“Kenapa kamu melakukan itu?” Ia bertanya kemudian.

“Karena aku mencintaimu,” jawab Yeri sambil menatap cowok di depannya dengan dalam.

“Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, Moreno. Melebihi apapun. Aku bahkan sudah mencintaimu sejak kelas satu. Kamu tahu itu dan semua siswa di sekolah pun juga sudah tahu,” jawab Yeri.

Moreno terdiam.

“Moreno, aku minta maaf kalo perbuatanku telah mengganggumu. Mungkin aku emang sedikit keterlaluan. Tapi percayalah, apa yang aku lakukan itu karena aku betul-betul suka sama kamu. Aku nggak punya cara lain. Hanya inilah satu-satunya cara untuk bisa menarik perhatianmu.” Yeri melanjutkan.

Cewek itu berujar dengan penuh harap. Moreno menarik napas panjang.

“Yeri, aku menghargai usaha kerasmu. Tapi maaf, aku udah menyukai cewek lain,” jawabnya.

Yeri tampak terkejut dengan penolakan Moreno lagi.

“Siapa dia?” Ia bertanya dengan suara berat.

Moreno tersenyum tipis. “Kamu nggak perlu tahu siapa dia. Yang jelas, dia sangat manis dan menyenangkan. Mohon maaf ya.”

Cowok itu bangkit dari tempat duduknya. Tapi sebelum itu, ia kembali berucap.

“Dan, berhentilah bersandiwara. Aku tahu, bukan kamu Dewi Cinta. Memang aku belum bertemu dia secara langsung. Tapi aku sudah hafal setiap lekuk dari nada suaranya. Aku hafal caranya berbicara, caranya tertawa, cara dia memanggil namaku, aku hafal semua. Jadi, berhentilah mempermainkanku.”

Yeri tersentak. Raut mukanya pucat.
“Moreno __”

“It’s okay. Aku nggak marah. Tapi, tolong jangan diulangi lagi. Bye.”

Moreno beranjak, meninggalkan Yeri yang terduduk lemas di kursinya.

~ * ~

Malika melangkahkan kakinya dengan gontai. Ini hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah sempat diskors.

“Kenapa? Akhir-akhir ini kamu seperti nggak punya gairah untuk hidup. Sebal kami melihatnya.” Kedua sahabatnya bertanya heran.

“Biarin,” jawab Malika ogah-ogahan.

“Hari ini ada latihan basket. Nggak ikut menemani kami?”

“Nggak. Aku mau pulang aja. Bye.” Malika ngacir sebelum kedua sahabatnya kembali bertanya hal-hal yang tak ingin ia jawab.

Ia kehilangan semangat hidup? Mungkin iya. Karena Moreno? Pastinya.

Ia ingin tak peduli, tapi tetap saja ia merasa penasaran setengah mati tentang cowok itu dan juga Yeri.

Apa kemarin mereka bertemu? Yeri menyamar jadi Dewi Cinta? Terus, apa mereka baikan?
Apa Moreno percaya kalau Yeri adalah Dewi Cinta?

Apa Moreno marah?

Atau, malah hubungan mereka menjadi semakin akrab?

Malika menggerutu.
Ah, banyak hal yang ingin ia tahu. Tapi, bukankah ia telah berjanji dengan dirinya sendiri bahwa ia ingin kembali ke kehidupannya semula? Tenang, nyaman, santai, apa adanya.
Tapi, bisakah?

Bahkan setelah ia merasa benar-benar jatuh cinta pada cowok bermata indah itu? Mustahil...

Cewek itu mendesah pelan. Ia sempat kembali menggerutu dalam hati ketika sampai di depan ruang OSIS, ia berpapasan dengan Moreno!

“Mau pulang?” Cowok itu menyapa duluan.

“Hm,” jawab Malika pendek.

“Nggak ikut menemani Anna dan Susi latihan basket?” Ia kembali bertanya.

Malika menggeleng.

“Oke, hati-hati di jalan ya. Bye,” Moreno beranjak.

Malika mengernyitkan dahi.
Lagi-lagi Moreno menyapanya? Dia bahkan menyuruhnya pulang dengan hati-hati?
Astaga, ada apa dengan cowok ini?

“Tunggu!” Malika berbalik dan memanggil cowok tersebut.

Langkah Moreno terhenti dan ia berbalik menatap ke arah makhluk mungil yang tengah memanggilnya.

“Ada sesuatu?” Ia bertanya. Kalimatnya bahkan lembut, ramah dan ... terdengar penuh perhatian.

Oh, Tuhan! Kuatkan hati hamba! Malika merapal doa dalam hati.

“Kenapa kamu melakukan ini padaku?” tanya cewek tersebut.

Moreno mengernyit. “Melakukan apa?”

“Menyapaku, tersenyum padaku, dan ... sok perhatian padaku. Kenapa kamu melakukan itu padaku?” Kepalang tanggung, daripada mati berdiri, Malika memilih untuk bertanya langsung. Masa bodoh jika nantinya cowok di hadapannya ini akan menyindirnya lagi.

Moreno tersenyum.
“Karena....” Kalimatnya terhenti sesaat. “Karena aku ingin melakukannya,” lanjutnya kemudian, seraya tersenyum.

Itu bukan senyum biasa. Itu senyum ... ah, entahlah! Malika bingung harus bagaimana menafsirkannya.

“Aku nggak bodoh, Moreno. Aku tahu perlakuanmu pada orang lain di sekolah ini. Terserah kamu ingin mengatakan bahwa aku ge-er atau bagaimana, tapi aku tahu kamu memperlakukanku dengan cara berbeda. Kamu nggak biasa menyapa, kamu juga nggak biasa menebar senyum, kamu juga nggak pernah perhatian. Tapi denganku, kenapa sikapmu berbeda?” tatapan Malika lurus ke mata Moreno. Cowok itu terkekeh.
“Woa, ternyata kamu memperhatikanku juga ya? Aku tersanjung,” jawabnya.

“Jawab aja pertanyaanku. Kenapa kamu melakukan itu padaku?” Malika kembali bertanya tegas.

Dan lagi-lagi Moreno kembali tersenyum, kali ini senyumnya tenang. “Karena aku ingin melakukannya.”

“Tapi ... kenapa?”

“Kamu nggak suka?”

“Eh?” Mata bulat Malika mengerjap.

“Kamu nggak suka kalo aku menyapamu, memperhatikanmu, tersenyum padamu?”

Pertanyaan Moreno tak mampu dijawab oleh Malika. Cewek itu hanya mematung.
“Itu ....”

“Pulanglah. Hati-hati di jalan, bye.” Moreno tersenyum, berbalik, lalu beranjak meninggalkan Malika. Tanpa menoleh kembali ke arah cewek tersebut.

“Ah, orang ini benar-benar akan membuatku gila.” Malika menggumam kesal seraya mengacak-acak rambutnya dengan gemas. Berhadapan dengan Moreno ibarat naik roller coaster. Naik, turun, berdebar, tapi ... menyenangkan.

Ah, sial...

Malika memilih untuk beranjak dan meninggalkan tempat tersebut. Dan mood-nya kembali amburadul segera setelah ia berpapasan dengan Yeri di depan pintu gerbang. Jika ada orang di dunia yang ingin ia cakar-cakar sejak kemarin, Yeri lah orangnya!

“Kelihatannya luka di wajahmu sudah sembuh. Maaf ya, waktu itu aku kalap.” Yeri membuka suara seraya menunjuk ke arah bekas luka di kening dan tulang rahang Malika. Nada suaranya tidak lebih seperti orang yang sedang menyindir.

Malika tertawa sinis.
“Sama, aku juga pengen bilang begitu. Maaf ya, waktu itu aku juga kalap hingga harus membuat rambutmu rontok lumayan banyak,” jawabnya. Ia tertawa, dibuat-buat tentunya.
Merasa sedikit punya aura kemenangan karena meskipun Yeri sempat melukai wajahnya, toh ia juga sempat membuat beberapa rambut Yeri rontok. Dan ia akan senang hati melakukannya lagi jika punya kesempatan.

“Kelak, akan kugunduli rambutmu kalo berani macam-macam lagi padaku. Aku nggak pernah takut sama kamu,” tambah Malika lagi seraya berlalu dari hadapan Yeri.

Sebenarnya ia ingin menanyakan banyak hal padanya. Tentang pertemuannya dengan Moreno beberapa waktu yang lalu, tentang kelakuannya yang mengaku-ngaku sebagai Dewi Cinta. Tapi, ia tiba-tiba malas melakukannya.

~ * ~

Malamnya....

Malika sedang bersiap untuk tidur ketika ponselnya berbunyi. Sebelum meraih ponsel di meja belajar, ia masih sempat melirik jam di dinding. Baru pukul sembilan, tapi sebenarnya ia ingin tidur lebih awal hari ini.

Cewek itu menatap sesaat ke arah layar ponsel yang berisi sederet nomor yang tak tersimpan di kontaknya.

“Halo,” ia menyapa.
Sejenak tak ada jawaban.
“Halo, selamat malam,” ia kembali menyapa.

"Selamat malam."

Terdengar suara cowok dari seberang sana. Suara yang lembut.

"Apa kabar sayang?"
Cowok itu kembali menyapa.

Malika mendelik. Sayang?

"Ah, akhir-akhir ini kamu udah nggak mau menghubungiku sama sekali ya. Ada apa denganmu? Semudah itukah kamu melupakanku, Sa-yang?"

Malika melotot. Suara itu kembali memanggilnya sayang?

“Maaf, ini siapa?” tanya Malika kemudian.

Suara dari seberang sana tertawa.

"Astaga, kamu benar-benar lupa padaku ya? Ini aku, pacarmu."

Malika melotot. Pacar!?

“Pacar?” Kata itu terulang di bibirnya yang mungil.

“Iya, pacarmu. Kita baru beberapa hari nggak berkomunikasi, dan sekarang kamu udah ngelupain aku? Ngelupain suaraku? Ya Tuhan, ada apa denganmu, sayang? Apa ada cowok lain di hatimu? Tega sekali kamu."

Malika terhenyak.

“Tunggu ___,”

"Aku merindukanmu, Dewi Cinta. Dewi paling cantik sejagat raya dan tiada duanya."

Malika membelalak. Dewi Cinta?!

“Ini___?” Cewek itu menelan ludah.
Suara dari seberang sana kembali tertawa.

"Ya, ini dari pacarmu ...   Moreno."

Jreeng!! Malika  nyaris saja terjungkal dari tempat tidurnya.

Moreno?!

"Akhirnya, aku menemukanmu, Dewi Cinta. Kucing-kucingan ini udah berakhir. Aku udah  ngedapetin kamu dan kupastikan aku nggak akan ngelepasin kamu. Kamu nggak akan pernah bisa lolos dariku. Jadi, bersiap-siaplah menerima serangan balasan dariku__ Malika.”

Bipp! Malika menutup telpon dengan gemas. Tubuhnya segera ambruk di tempat tidur.

“Malika?! Dia memanggilku MALIKA?!!” Ia memekik. “Mati aku,” desisnya.

“Emaaakkkkk...!!”

~ * ~

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro